Dikira Santri Ternyata Putra Sang Kyai

"Ish, Kang! Dina memang rindu, tapi bukan itu yang akan Dina bahas!" protes Medina, setelah mendengarkan gombalan dari Hamam.

Akan tetapi, meskipun gadis itu melontarkan protes, bibirnya menyunggingkan sebuah senyuman. Tak dipungkiri, perkataan Hamam barusan, membuat Medina serasa melayang. Tak sabar rasanya harus menunggu berjam-jam, ijab qabul akan dilaksanakan.

"Lalu?" tanya Hamam singkat.

"Video tadi. Akang udah lihat, 'kan?"

"Hem," jawab pemuda di seberang sana, seolah tak berminat menanggapi pembahasan tentang video yang dikirim Medina.

"Ih, nyebelin! Kenapa jawabnya gitu, doang?" Lagi-lagi, Medina melontarkan protesnya.

"Terus, aku harus gimana, Dik?"

"Ya, dikomentarin, lah!"

"Komentar gimana?"

"Em, misalnya gini; Enggak nyangka, ya, ternyata si Zara begitu? Atau, astaghfirullah ... itu beneran Zara, bukan? Kalau benar Zara, masak dia seperti itu?"

"Nah, tuh, udah kamu wakilin," kata Hamam.

Medina berdecak kesal karena Hamam sepele menanggapi berita yang menurutnya menggemparkan itu.

"Bener-bener ngeselin, ih, si Akang! Dina pikir, Kang Hamam akan terkejut dan enggak percaya! Eh, reaksinya malah datar aja! Nyesel Dina kasih lihat video itu! Akang jadi lihat leher jenjang si Zara yang mulus itu!"

"Kamu cemburu, Dik, aku lihat leher Zara?"

"Enggak!"

"Yang bener?"

"Iya! Ngapain cemburu?"

"Kalau aku bilang, aku pernah lihat bagian tubuh Zara yang lain, apa kamu juga enggak cemburu?"

"Lihat bagian tubuh yang lain? Maksud Kang Hamam, Akang pernah ... em, maksudku, kalian berdua pernah ...."

"Jangan menyimpulkan dulu, Dik."

"Lah, tadi 'kan, Kang Hamam sendiri yang mengatakan kalau pernah lihat bagian tubuh Zara yang lain?"

"Memang benar, Dik, tapi bukan berarti kami melakukan yang tidak-tidak."

Hamam lalu menceritakan kejadian ketika secara tak sengaja dia terpaksa melihat Zara yang hanya membalut tubuhnya dengan handuk. Saat itu, Zara menelepon Hamam dan mengatakan jika gadis itu sedang sakit, dan dari lagi belum makan. Zara minta tolong pada Hamam untuk dibelikan makanan. Sebagai sesama mahasiswa dari Indonesia, Hamam tentu saja tidak keberatan menolong Zara meski mereka berdua tidak terlalu akrab.

Hamam sudah berkali-kali mengetuk pintu apartemen Zara, tetapi tidak ada tanggapan dari dalam. Telepon Hamam pun tidak diangkat oleh Zara. Khawatir terjadi apa-apa dengan gadis yang tinggal sendirian di apartemen tersebut, Hamam berinisiatif masuk. Entah memang disengaja oleh Zara atau kebetulan, pintu tersebut tidak dikunci dari dalam.

Berulang kali Hamam memanggil Zara, tetap tak ada jawaban. Pemuda itu pun melongok ke kamar yang terbuka, Zara tidak ada di sana. Ketika Hamam hendak berbalik, bertepatan dengan Zara yang baru keluar dari kamar mandi dapur.

"Ir, kamu udah datang?"

Hamam menoleh dan pemuda itu buru-buru memalingkan wajah sambil berlalu menjauh dari Zara.

"Sepertinya, kamu baik-baik saja, Ra. Aku simpan makanan ini di meja, ya," kata Hamam.

"Tunggu, Ir! Aku masih butuh bantuanmu!"

Zara terus memanggil Hamam, tetapi pemuda itu tak menggubris. Zara bahkan sempat berteriak meminta tolong sambil mengaduh sebelum Hamam menutup rapat pintunya, tetapi pemuda itu sama sekali tak terpengaruh. Hamam tetap pergi meninggalkan apartemen Zara.

"Dik, kamu masih mendengarkan ceritaku, 'kan?"

"Iya, Kang."

"Dan itu bukan kali pertama aku melihat Zara berpenampilan seperti itu, Dik."

"Wah, Kang Hamam udah untung banyak rupanya," ledek Medina.

"Maksud kamu?"

"Ya, itu. Kang Hamam bisa cuci mata gratis, lihat yang seger-seger!"

Meskipun Medina berkata sambil tertawa kecil, tetapi nada suaranya terdengar getir. Sepertinya, gadis itu cemburu karena sang calon suami sudah pernah melihat keindahan tubuh gadis lain.

"Bukan cuci mata, Dik, tapi mengotori mata."

"Masak?"

"Bener, Dik. Kalau nanti malam, baru cuci mata beneran."

"Nanti malam?"

"Iya. Itu jika sang pemilik keindahan, memperbolehkanku untuk melihatnya," jawab Hamam, membuat pipi Medina merona.

bersambung ...