Calon suaminya direbut oleh sang kakak kandung. Ayahnya berselingkuh hingga menyebabkan ibunya lumpuh. Kejadian menyakitkan itu membuat Zara tidak lagi percaya pada cinta. Semua pria adalah brengsek di mata gadis itu.
Zara bertekad tidak ingin menjalin hubungan dengan pria mana pun, tetapi sang oma malah meminta gadis itu untuk menikah dengan dosen killernya di kampus.
Awalnya, Zara berpikir cinta tak akan hadir dalam rumah tangga tersebut. Ia seakan membuat pembatas antara dirinya dan sang suami yang mencintainya, bahkan sejak ia remaja. Namun, ketika Alif pergi jauh, barulah Zara sadar bahwa dia tidak sanggup hidup tanpa cinta pria itu.
Akan tetapi, cinta yang baru mekar tersebut kembali dihempas oleh bayang-bayang ketakutan. Ya, ketakutan akan sebuah pengkhianatan ketika sang kakak kembali hadir di tengah rumah tangganya.
Di antara cinta dan trauma, kesetiaan dan perselingkuhan, Zara berjuang untuk bahagia. Bisakah ia menemui akhir cerita seperti harapannya itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon UQies, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE #25
"Arini, kenapa kamu memanggilku ke mari?" tanya seorang pria yang baru saja masuk kamar sambil menutup pintu.
"Aku hamil."
"Ya, lalu? Kenapa kamu mengatakan itu padaku?"
"Ini anakmu!"
"Anakku? Jangan omong kosong kamu, Rin! Bagaimana bisa kamu begitu yakin mengatakan jika itu anakku?"
"Karena Arya sudah dua bulan ini sering ke luar kota untuk urusan bisnis. Kalau pun dia datang, dia tidak sempat menyentuhku, lalu kembali pergi."
Pria itu mengerutkan dahi, lalu mendekati wanita yang saat ini sedang berbaring di tempat tidur dengan rahang mengeras. "Jangan sembarang bicara kamu! Semua ini terjadi karena ulahmu!"
"Salahmu juga, Akash! Kamu tidak bisa menjaga nap*umu padahal kamu sudah memiliki Lita!"
Pembicaraan mereka tiba-tiba terpotong ketika pintu kamar dibuka dengan keras dari luar.
"Apa yang kalian katakan?" Pria dan wanita itu langsung berbalik bersamaan ketika mendengar suara seorang pria yang kini telah berdiri di ambang pintu.
.
Sebelumnya,
"Di mana istriku?" tanya seorang pria berkacamata. Gurat wajah dan rahang yang mengeras, membuatnya tampak sangat marah. Dengan tergesa-gesa, ia menghampiri satpam yang berjaga di depan rumahnya sendiri.
"Kata Ibu Arini tadi, beliau berangkat duluan ke rumah Tuan Setyo, Pak," jawab pria berseragam satpam itu.
Tanpa bersuara lagi, ia langsung berbalik dan kembali memasuki mobilnya, lalu melaju kencang membelah jalanan yang sudah mulai gelap.
Hari ini adalah hari ulang tahun Setyo Aksara, sehingga malam itu semua anak dan menantunya diundang untuk makan malam bersama. Sayangnya, tak ada yang tahu jika suasana bahagia itu hanya akan berlangsung sesaat.
Tak menunggu lama, mobil yang tadi melaju kencang kini telah tiba di halaman rumah Setyo Aksara, di mana sudah ada beberapa mobil yang lebih dulu terparkir di sana.
Pria bernama Arya itu keluar dari mobil dengan langkah lebar sambil membawa sebuah amplop di tangannya memasuki rumah. Tangannya mengepal kuat hingga menampakkan urat.
"Akhirnya, anak sulung ayah datang juga," ucap Setyo menyambut kedatangan Arya dengan penuh suka cita di ruang makan. Tampaknya, ia adalah orang terakhir yang dinantikan kedatangannya sejak tadi, selain Zara yang memang selalu menolak hadir.
Arya memeluk sang ayah, tetapi matanya mengamati semua orang yang ada di meja makan. "Di mana Arini?" tanyanya karena tak menemukan sosok sang istri.
"Dia tadi sedang istirahat di kamarmu, katanya pusing," jawab David.
"Sepertinya istrimu itu sedang hamil, Ar," ujar Lita.
Arya mengerutkan dahi, lalu menoleh menatap Lita dan kursi di sampingnya yang kosong. "Di mana suamimu, Lita?" tanyanya pada sang adik.
"Tadi ada, tapi katanya dia mau ke toilet ...." Lita menghentikan perkataannya ketika melihat Arya langsung pergi begitu saja tanpa menunggunya selesai bicara.
Semua orang kini saling bertatapan bingung melihat sikap Arya yang sedikit aneh. Tampak marah, kecewa, dan juga tergesa-gesa.
.
.
"Keluar kalian! Dasar tidak tahu malu!" teriak Arya tak lama setelah ia memasuki kamarnya. Suara pukulan pun terdengar dari dalam sana, membuat semua orang yang berada di ruang makan langsung berdiri terkejut.
Beberapa saat kemudian, Arya datang sambil menarik tangan Arini yang berderai air mata di tangan kanan dan menarik kerah baju Akash dengan bibir berdarah di tangan kiri.
"Apa yang terjadi?" tanya Lita terkejut melihat kondisi suaminya di tangan sang kakak.
"Arya, ada apa sebenarnya?" tanya Setyo. Semua orang kini sudah berdiri di depan Arya dengan wajah penuh tanda tanya.
Arya tak langsung menjawab. Ia yang masih diliputi amarah langsung mendorong Arini dan Akash bersamaan dengan kuat hingga keduanya jatuh tepat di tengah mereka semua. Tak hanya itu, pria berkacamata tersebut mengeluarkan amplop putih yang tadi sempat ia simpan di saku jasnya.
"Kalian tahu, apa yang mereka lakukan di belakang kalian?" tanya Arya dengan wajah yang sudah merah padam.
"Apa?" tanya Lita sedikit khawatir.
Arya menumpahkan beberapa foto dari amplop itu, di mana adik ipar bersama istrinya sendiri sedang bersama. "Mereka telah berselingkuh hingga hamil, Lita! Suamimu dan istriku, mereka ...." Arya tak sanggup melanjutkan perkataannya. Mata pria itu sudah merah dan berkaca-kaca berusaha menahan gejolak emosi dan kecewa yang membuncah di dadanya.
"A-apa?" Lita terduduk lemas mengetahui fakta perselingkuhan sang suami yang kesekian kalinya. Kali ini begitu menyakitkan sebab kakak iparnya sendiri kini hamil karena ulah sang suami.
Kurang sabar apa lagi dia? Selama ini ia selalu memaafkan dan memberikan kesempatan kepada Akash yang berjanji tak akan mengulanginya lagi. Namun, nyatanya semua hanya kebohongan belaka.
"Apakah benar seperti itu Akash, Arini?" Kini giliran Setyo yang bertanya. Suaranya terdengar tenang, tetapi tegas. Beberapa detik berlalu, tetapi tak ada jawaban sama sekali dari kedua menantunya itu. Bahkan sekadar memberi penjelasan pun mereka seolah tak sanggup berbicara.
"Baiklah, aku anggap diamnya kalian adalah jawaban 'iya' dari kalian." Setyo mengusap wajahnya kasar, lalu menunduk sejenak.
"Pergi kalian dari sini! Mulai detik ini aku tak lagi memiliki menantu bernama Akash dan Arini." Setyo menunjuk ke arah pintu keluar dengan tegas, memberikan kode agar mereka segera pergi.
"Satu lagi!" kata Setyo, membuat Arini dan Akash yang sudah kembali berdiri dan hendak pergi, kini berbalik ke arah pria paruh baya itu. "Semua fasilitas yang telah kuberikan kepada kalian akan kutarik, termasuk jabatanmu di kantor, Akash!" lanjutnya.
Kini suasana di rumah itu sangat buruk, apalagi Lita yang saat ini hanya bisa menangisi nasibnya yang dulu ia sangka akan bahagia, tetapi nyatanya, hanya luka yang ia terima.
Sementara itu, Setyo hanya bisa menatap sendu sang putri, tangannya mengepal kuat. Kali ini ia benar-benar mengutuk sikap menantunya itu setelah sebelumnya ia berusaha memaafkan dan menerima.
"Keterlaluan kau Akash! Kau telah menyakiti dua putriku sekaligus."
.
.
.
Di Amerika,
"Bagaimana perasaan Pak Alif, sekarang?" tanya Zara usai menemani sang suami menikmati sejuknya udara pagi hari di taman dengan mendorong kursi roda sang suami.
"Alhamdulillah, saya bahagia," jawab Alif tak pernah melepaskan senyuman samar dari wajahnya yang tentu saja tak bisa dilihat oleh Zara di belakangnya.
Sebenarnya pria itu baik-baik saja saat ini. Bahkan, ia cukup kuat untuk berjalan kaki, toh, terapi yang ia jalani saat ini hanya terapi pemulihan berupa rehabilitasi fisik, dukungan psikologis, dan pemantauan ketat untuk memastikan kondisinya. Namun, berhubung Zara datang dengan membawa perasaan, ia pun bermaksud menggunakan momen itu sebaik mungkin.
Anggaplah ia berlebihan. Bukankah memanfaatkan kesempatan emas tak ada salahnya?
"Maksud saya keadaan tubuh, Bapak," balas Zara meluruskan maksud pertanyaannya. Meski sudah saling mengungkapkan perasaan, tetap saja rasa canggung itu masih membentang di antara mereka. Bahkan, lebih besar dari sebelumnya.
"Oh, ya, Alhamdulillah baik," jawab Alif sambil berdehem menyembunyikan rasa malunya kali ini.
"Syukurlah, kalau begitu. Zara mendorong kursi roda Alif menuju kamarnya. Di sana sudah ada Dokter Gabriel yang menunggu mereka dengan seberkas hasil pemeriksaan.
"Selamat, Pak Alif, hasil pemeriksaannya sangat baik. Anda sudah bisa pulang hari ini juga," ujar Dokter Gabriel dengan bahasa Inggris.
Alif menghela napas lega, ia begitu bersyukur dan bahagia hingga tak sadar hampir berdiri. Untung saja Zara berbisik di dekat telinga pria itu pada waktu yang tepat.
"Pak, dokter itu bilang apa?" tanya Zara sambil berbisik.
Alif yang menyadari jika sang istri rupanya tidak memahami perkataan sang dokter pun langsung mengubah ekspresi wajah bahagianya menjadi datar kembali demi memanfaatkan kesempatan emasnya.
"Dia bilang, sebaiknya saya beristirahat di rumah saja. Suasana di rumah yang tenang dan nyaman lebih mendukung proses pemulihan yang lebih cepat," jawab Alif ikut berbisik.
Dahi Zara berkerut mendengar jawaban Alif yang cukup panjang. Sangat berbeda dengan perkataan dokter yang cukup singkat. Rasanya ia ingin kembali menanyakan kebenaran dari terjemahan yang dikatakan suaminya itu, tetapi ia urungkan ketika melihat Dokter Gabriel pamit pergi.
"Berarti saya sudah bisa beres-beres barang, yah, Pak?" tanya Zara, tetapi direspon dengan gelengan kepala oleh sang suami.
"Tidak perlu, biarkan asisten saya yang mengurusnya. Kamu cukup membantu saya berganti baju," jawab Alif yang tentu saja membuat Zara terdiam sejenak tak mampu berkata-kata.
"Saya ganti baju, Bapak?" tanya Zara kemudian sambil menunjuk ke arah pakaian Alif dan langsung direspon dengan anggukan mantap.
"Kenapa? Kamu tidak mau? Saya, 'kan, suami kamu, Jasmine."
"Bu-bukannya begitu, Pak. Saya hanya belum terbiasa."
"Ya, sudah. Maka dari itu biasakan dari sekarang."
Zara tak lagi mampu menolak. Ia menempatkan Alif di sofa, lalu menyiapkan pakaian ganti yang akan digunakan oleh sang suami. Dengan tangan yang sudah bergetar dan jantung yang berdetak dengan kencang, ia mulai membuka satu per satu kancing piama yang digunakan pria itu.
Alif hanya bisa mengulum senyum menatap lekat wajah sang istri yang jaraknya begitu dekat. Tak bisa ia pungkiri, hatinya benar-benar bahagia saat ini. Ia harap kebahagiaannya bisa bertahan terus walau rambut mulai memutih dan kulit mulai keriput.
Kedua mata Zara mulai terlihat gelisah ketika dada bidang dan perut berotot sang suami terlihat jelas. Antara ingin tunduk, tetapi harus tetap menatap apa yang ada di depannya agar tak membuat kesalahan. Wajah wanita itu bahkan tampak merah merona saat ini.
Perlahan Zara mengeluarkan tangan Alif dari lengan bajunya hingga tampak kembali bekas luka yang sangat tidak asing baginya. Wanita itu menatap sejenak bekas luka itu. Ia mencocokkan apa yang ia lihat saat ini dengan ingatannya dua tahun lalu.
"Ada apa, Jasmine?" tanya Alif menyadari sikap Zara yang seketika terdiam.
"Pak. Dua tahun lalu, apa Bapak pernah menyelamatkan seorang wanita yang jatuh di sungai?" tanya Zara membalas pertanyaan sang suami.
"Iya, betul," jawab Alif singkat.
"Siapa yang Bapak tolong itu?" tanya Zara lagi.
"Kamu."
.
.
.
#bersambung#