Tidak cantik, tidak menarik, tidak berdandan apik, tidak dalam keadaan ekonomi yang cukup baik. Namun, hidupnya penuh polemik. Lantas, apa yang membuat kisah hidupnya cukup menarik untuk diulik?
Tini Suketi, seorang wanita yang dijuluki sebagai legenda Desa Cokro yang melarikan diri. Kabur setelah mengacaukan pesta pernikahan kekasih dan sahabatnya.
Didorong oleh rasa sakit hati, Tini berjanji tak akan menginjak kampungnya lagi sampai ia dipersunting oleh pria yang bisa memberinya sebuah bukit. Nyaris mirip legenda, tapi sayangnya bukan.
Bisakah Tini memenuhi janjinya setelah terlena dengan ritme kehidupan kota dan menemukan keluarga barunya?
Ikuti perjalanan Tini Suketi meraih mimpi.
***
Sebuah spin off dari Novel PENGAKUAN DIJAH. Yang kembali mengangkat tentang perjuangan seorang perempuan dalam menjalani hidup dengan cara pandang dan tingkah yang tidak biasa.
***
Originally Story by juskelapa
Instagram : @juskelapa_
Facebook : Anda Juskelapa
Contact : uwicuwi@gmail.com
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32. Ternyata, Laki-laki itu.
"Hape terooooss … keluar kelen sana. Anak-anak harus banyak bergerak. Si Robin ini minta dihantam! Si Dul aja udah bosan nengok pilem di hape!"
Matahari tak lagi terlalu menyengat. Robin menyeret Dul keluar kamar setelah diberondong ibunya dengan omelan.
"Mau ke mana? Jangan jauh-jauh," pesan Dijah pada anak laki-lakinya.
"Di bawah pohon jambu aja. Gak jauh-jauh." Robin menyahuti perkataan Dijah dengan menunjuk pohon jambu di sudut halaman.
"Iya, betol! Di situ aja kelen." Mak Robin berdiri di ambang pintu seraya menunjuk pohon jambu.
"Ke luar boleh, Mak?" tanya Robin menujuk pagar.
"Jangan macam-macam kau, Robin! Banyak tukang culik-culik anak sekarang. Diculik orang, digonikan (dikarungin) kau nanti!" Kali ini Mak Robin mengacungkan tinjunya pada Robin.
"Ngeri, ya, Jah? Hidupku sehari-hari, ya, begini. Denger ibu-ibu yang mau membantai anaknya setiap saat. Kalau yang dibilangnya semua bener dilakukan, itu Robin udah lecek kayak duit kembalian angkot." Tini menoleh pada Mak Robin yang menatap sengit padanya.
"Diam muncungmu itu! Sebentar lagi, kau yang kugonikan." Mak Robin kembali menatap apa yang dikerjakan Robin dan Dul di bawah pohon jambu air.
Dijah dan Tini terkikik-kikik. Sedangkan Bara mengusap dadanya.
"Duduk sini, Mak!" panggil Dijah.
"Sebentar lagi, Jah. Banyak kali gosokan aku. Besok hari Senin. Semakin kutimbun, semakin beranak dia." Mak Robin melambaikan tangannya, kemudian kembali menghilang ke dalam kamar.
"Dilanjut lagi, Tin." Dijah menepuk lutut Tini agar melanjutkan ceritanya.
"Soal siapa?" tanya Tini.
"Soal penduduk kandang ayam, Tin!" kesal Dijah. "Ya, soal kamu. Tadi mau ngomongin Jono," ujar Dijah mengingatkan.
"Sabar, Sayang … sabar," tukas Bara, memijat lembut bahu istrinya. Ia khawatir sekali dengan nada bicara Tini dan istrinya yang selalu berada di atas rata-rata. Seakan-akan kedua wanita itu selalu siap sedia bertengkar kapan saja.
"Oke, aku lanjut." Tini mengambil kotak rokoknya yang berada di dekat kaki kursi.
"Masih ngerokok kamu," tukas Dijah.
"Masih. Kamu, kan, nggak ngerokok lagi karena udah ada roda." Tini mengambil sebatang rokok dan menyulutnya. Ia melirik Bara yang sedang berkeliling mengitari halaman dan menjenguk Dul di bawah pohon jambu.
"Roda apa, Tin?" tanya Dijah.
"Rokok daging," tukas Tini.
"Kampret! Tapi bener," sahut Dijah terkikik-kikik.
Bara yang mendengar tawa Dijah dan Tini, sontak menoleh. Ia selalu penasaran akan isi pembicaraan kedua wanita itu. Setelah tawa kedua wanita itu mereda, Bara kembali membawa langkahnya mendekati kumpulan kursi plastik.
"Si Agus ini aneh, Jah. Nanti saat aku udah lupa dan santai, aku pergi makan sama Jono. Dia gelisah. Sibuk nanya-nanya aku ke mana aja. Apa dia mau aku ini kayak dia? Enggak usah ngapa-ngapain. Padahal Jono itu juga baik. Meski ada tapinya." Tini mengembuskan asap rokoknya jauh-jauh.
"Apa tapinya?" tanya Dijah penasaran.
"Katanya suatu hubungan itu harus saling pengertian, kan?" Tini menatap Dijah lekat-lekat. Sahabatnya itu mengangguk. "Oke. Nah, masalahnya itu, kadang aku nggak ngerti apa kata Jono. Dia ngomong was-wis-wus-was-wis-wus. Aku, ya, embuh. Aku cuma bisa jawab yes, orait, oke, tengkyu, siyu. Yang lainnya embuh, Jah."
Tini menghela napas setengah putus asa. Kepalanya menggeleng pelan dan ia mencampakkan rokoknya yang sudah nyaris habis.
"Susah juga, ya, Tin," gumam Dijah.
"Jadi, kalau dibandingin, lebih yakin yang mana? Untuk masa depan dan jangka panjang." Dijah terkekeh mengatakan hal itu.
Bara kembali tiba di sebelah Dijah. Ia menarik kursi dan duduk di dekat istrinya. Mima sepertinya tak mau melanjutkan tidurnya. Bayi itu sudah membuka matanya lebar-lebar dan tertawa menatap Dijah sambil menepuk-nepuk dada ayahnya.
"Mima, kok nggak bobok lagi? Pasti mau dengerin omongannya Budhe," kata Tini menatap Mima.
Tini ingin menjawab pertanyaan Dijah, ia mengerti apa yang dimaksudkan oleh sahabatnya. Soal pria masa depan dan jangka panjang. Tapi menjawabnya segamblang itu rasanya tak mungkin jika ada Bara di dekat mereka.
"Ya … Jono." Tini melirik Bara sekilas, lalu mengembalikan pandangannya pada Dijah.
"Nek gedhe mestine Jono yo gedhe, Jah. Cok kadang ki nek nganggo katok iku sok kethok sesek, terlalu sesek ngunu. Atiku cok pengen mbebaske. Ojo krungu Mas-mu, mengko ndek'e iso semaput aku omong ngene. (Kalau besar ya Jono pasti besar, Jah. Kadang kalau pake celana itu keliatan sesak. Terlalu ketat. Hatiku jadi tergerak membebaskannya. Jangan denger Mas-mu. Nanti dia bisa pingsan aku ngomong gini.)" Tini kembali melirik wajah Bara untuk memastikan reaksi pria itu.
Dijah terkikik-kikik seraya menyandarkan kepalanya pada lengan Bara. "Ya, ampun, Nak. Budhemu ini--" Dijah kembali tertawa.
"Nek meh mbebaske yo pamit sek karo wonge,Tin. (Kalau mau dibebaskan, izin orangnya dulu, Tin.)"
Kedua wanita itu saling pandang, lalu tertawa terbahak-bahak.
"Ngomongin apa, Ibu? Ayo, tanya ibu ngomongin apa," kata Bara pada putrinya.
"Wong lanang sek mleroki awakke dewe iki, nyeseki ra, Jah? (Laki2 yang sedang melirik kita ini, menyesakkan gak Jah?)" Tini tak berani menatap bara saat mengatakan hal itu.
"Yo, jo tekon. Iri mengko kowe nek ndungu. (Ya, jangan ditanya. Iri nanti kamu dengernya.)" Dijah tertawa tertahan, kemudian menoleh suaminya.
"Nah, yang ini pasti ngomongin, Mas. Pasti," ucap Bara, mencubit pelan pipi istrinya.
"Ngomongin yang baik-baik," kata Dijah, melingkarkan tangannya memeluk Bara dan Mima. "Anak ibu nggak tidur siang hari ini. Kangen sama Budhe Tini juga, ya?" tanya Dijah, menyandarkan kepalanya pada dada Bara.
"Jah! Jah! Dari sini kalian mau ke mana?" tanya Tini tiba-tiba.
"Enggak ada. Mau pulang. Ya, kan, Mas?" tanya Dijah menatap suaminya. Ia mengatupkan mulutnya dan meletakkan telapak tangannya di pipi Bara dengan raut gemas.
"Kita mampir ke Polsek sebentar, ya. Mau nganter kunci mobil kantor ke Maradona. Besok pagi-pagi dia mau berangkat liputan. Kunci mobilnya kebawa sama Mas," sahut Bara, meraih tangan Dijah dan mengecup telapak tangan itu.
"Ya, ampun. Kalian menyiksaku. Aku ikut muter-muter, Jah. Nanti turun di roti bakar Boy. Aku mandi dulu," kata Tini, bangkit dari duduknya dan masuk ke kamar. Tak lama, ia kembali muncul dengan sebuah handuk bertengger di pundaknya.
"Mau ke mana dia? Kasian, nggak temennya." Bara memandang punggung Tini yang menghilang di belokan kamar mandi.
"Iya. Belum ketemu yang pas, Mas. Tini mau ikut jalan-jalan naik mobil. Mungkin biar nggak bosen," tukas Dijah.
"Nanti ikut sampe ke Polsek aja. Trus nanti Mas anter ke outlet Boy," kata Bara.
"Mas baik banget. Aku makin cinta," bisik Dijah, menyandari tubuh suaminya.
"Bagus kalo gitu," ucap Bara, mengangkat lengannya yang sejak tadi dipeluk Dijah. Gantian ia yang melingkari tubuh istrinya.
Dul dengan berat hati memberikan lambaian tangan pada Robin yang menatapnya sedih. Setelah dijanjikan Minggu depan kedua bocah laki-laki itu akan kembali bertemu, wajah keduanya terlihat kembali cerah.
Pukul tujuh malam mereka berduyun-duyun keluar gang menuju mobil Bara yang parkir di tepi jalan.
"Mas, nanti aku dan Tini nunggu di mini market aja. Mau beli jajanan," kata Dijah.
"Iya, nanti Mas parkir di sana aja." Bara sudah berada di belakang kemudi.
Perjalanan ke Polsek memakan waktu tak lebih dari dari dua puluh menit. Dijah dan Tini turun dari mobil bersama Dul, memasuki mini market. Mima yang tak mau lepas dari ayahnya, tetap berada di gendongan dan pergi ke Polsek mengantar kunci mobil.
Dijah dan Tini duduk di kursi mini market menghadap ke jalan raya. Dul duduk tenang di sebelah kanan Dijah sambil memakan rotinya.
Dengan sebotol minuman di tangannya, pandangan Tini menerawang ke arah jalan raya. Kedatangan Bara dari kejauhan pun, luput dari perhatiannya.
"Tunggu sebentar, Mas mau ke ATM." Bara menunjuk pintu mini market dengan dagunya. Ia lalu berjalan melintasi dua wanita untuk masuk ke dalam mini market.
Tini masih melamun. Dijah sibuk menyeka mulut Dul yang belepotan cokelat. Keduanya tak menyadari Bara keluar mini market dan melintasi mereka.
Tersadar langkahnya tak diikuti, Bara menoleh ke belakang. Mima melingkarkan tangannya di sekeliling leher Bara demi menatap ibunya.
"Jah, ayo!" ajak Bara.
"Iya, Mas." Dijah bangkit. Tiba-tiba Tini menahan lengannya.
"Kowe eling wong lanang sek pernah tak trawang? (Kamu inget soal laki-laki yang pernah aku terawang?)" tanya Tini antusias. "Waktu pertama kali kita duduk di sini malem-malem." Tini menaikkan alisnya.
Dijah mengangguk.
"Cobo delok'en! (Coba liat itu!)" pinta Tini, menolehkan pipi Dijah agar menatap Bara yang melenggang menuju mobil.
"Bunder,Tin! Podho! Jebul bojoku, trawanganmu bener! (Bulet, Tin! Sama! Ternyata suamiku! Terawanganmu bener!)" Dijah membulatkan matanya.
"Kemeja kotak-kotak. Tapi, ranselnya diganti sama bayi perempuan itu." Tini menunjuk Mima yang menatap ibunya dengan wajah bingung.
Kedua perempuan itu tertawa terbahak-bahak.
Bara menoleh ke belakang, mengernyitkan dahinya. "Perasaanku nggak enak. Kok, kayak deja vu, ya …."
To Be Continued