Rara Depina atau biasa di panggil Rara, terpaksa menggantikan ibunya yang sedang sakit sebagai Art di ruamah tuan muda Abian Abraham.
Rara bekerja tanpa sepengetahuan tuan muda Abian. Abian yang pergi kerja saat Art belum datang dan pulang saat Art sudah pergi membuat Rara bisa bekerja tanpa di ketahui Abian.
Apa jadinya saat tak sengaja Abian memergoki Rara tengah berada di apartemennya.
Dilema mulai muncul saat diam-diam Abian mulai jatuh cinta pada pembantu cantiknya itu, dan di tentang oleh keluarga besarnya yang telah memilihkan calon buat Abian.
Akankah Abian mampu mempertahankan Rara di sisinya, cuus baca kelanjutannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Septia meradang
Sudah dua jam lebih dia duduk diruang kerja Bian, menunggunya dengan penuh kesabaran, walau hatinya sudah panas mendidih oleh kelakuan Bian yang mengabaikannya sedari tadi.
Semenjak bertunangan beberapa hari lalu dia malah tak mendapat perhatian sama sekali dari Bian.
Sesekali mata indahnya menatap Bian yang tak pernah meliriknya seditpun. Mungkin dia harus memancingnya dulu baru bisa mendapat perhatian Bian.
"Malam ini aku bermalam di apartemen mu Bi," ucap Septi santai.
Bian yang tadi focus pada laptopnya seketika beralih menatap Septi yang tengah mengulum senyum di bibir merahnya.
"Aku tidak pulang malam ini, kalau kau mau di sana tanpa aku tidak apa," jawab Bian. Senyum Septi mendadak hilang berganti dengan wajah kesal.
"Bi, aku ini tunangan kamu, tidak bisakah kau pedulikan aku sedikit saja?"
"Itu kemauan keluargaku bukan aku. Kenapa tidak minta perhatian pada mereka, aku bahkan tak di libatkan dalam rencana pertunangan itu," ucap Bian Acuh.
"Tapi kita memang punya hubungan Bi,"
"Benarkah?" Tanya Bian datar.
"Jangan berlagak lupa Bi, setelah apa yang kita lakukan!" Salak Septi tak terima dengan ucapan Bian.
Bian menghela napas berat, menatap manik hitam Septi lekat. Mereka memang punya hubungan bahkan berjalan hingga empat tahun.
"Ingat, kau pernah meninggalkanku setahun lebih tanpa kabar. Saat itu aku melamarmu, memintamu menjadi pendamping hidupku, aku memintamu sepenuh hati. Tapi ternyata karir lebih penting bagimu ketimbang perasaanku,apakah kau berharap perasaanku pada mu tetap sama setelah penolakanmu saat itu," ungkit Bian dengan wajah datar.
"Kau ingin bilang kalau kau tak bahagia dengan pertunangan ini Bi?!" Sentak Septi. Bian mengangguk tegas, wajah Septi memerah seketika, amarahnya meluap tak tertahan.
"Dengar Bi, kita sudah terlanjur bertunangan, dan aku pastikan hubungan ini akan sampai pada pernikahan. Aku tidak akan mundur selangkahpun aku pastikan itu!" ucap Septi.
"Kalau begitu nikmati saja prosesnya, jangan protes dengan apa yang aku lakukan," ucap Bian masih dengan ekspresi datarnya.
"Tentu saja aku akan nikmati prosesnya Bi, aku pastikan kaulah yang memintaku menikah dengan mu pada saatnya nanti." Ancam Septi sembari beranjak berdiri, menatap penuh amarah pada Bian sebelum beranjak pergi.
Bian menghela napas Berat, kepalanya berdenyut sakit. Septi bukan wanita yang mudah di hadapi kalau dia salah langkah Ara bisa dalam bahaya. Sebelum dia bisa membuat Ara pada posisi aman dia tak kan bisa menyingkirkan Septi.
"Sandi cepat keruanganku!" Titah Bian pada Sandi melalui intercom kantornya.
"Ada apa bapak memanggil saya?"
"Duduklah," ucap Bian sembari beranjak bangkit dari kursi kerjanya menuju sofa.
Sandi duduk di depan bosnya, wajah bosnya terlihat kusut dua hari ini, tak seperti biasanya terlihat segar dan penuh semangat.
"San, cari orang yang bisa memata-matai Septi, aku yakin dia pasti mencari tahu siapa yang sedang dekat denganku saat ini. Tempatkan orang kita yang terbaik di sisi Ara, kau tau keluarga ku dan Septi seperti apa. Aku tidak mau Ara kenpa-napa."
"Baiklah pak. Menurut saya sebaiknya nyonya Ara bapak pindahkan dari apartemen, terlalu beresiko menempatkan nyonya di samping bapak." Usul Sandi, sebagai orang kepercayaan Bian dia tentu tau karakter orang-orang yang dekat dengan Bian.
"Aku juga berpikir demikian, kebetulan Ara meminta tinggal di tempat ibunya, aku tepaksa mengabulkannya demi kebaikannya. Walau karena itu aku jadi pusing tak karuan begini," ucap Bian sembari memijit kepalanya.
"Bapak benar-benar menyukai nyonya Ara?" Tanya Sandi dengan kening berkerut.
"Dia gadis special yang pernah aku kenal," ucap Bian menerawang. Sandi tersenyum simpul, ini pertama kalinya Bian membahas keistimewaan perempuan padanya.
"Kau meledekku?"
"Tidak pak, saya senang bapak menemukan orang yang istimewa di hidup bapak."
"Terimakasih," ucap Bian tulus. Ini yang di sukai Sandi, semenjak mengenal Ara Bian berubah sedikit lebih hangat.
"Ya sudah kau bisa kembali keruanganmu."
"Baik pak."
Sandi beranjak pergi dari ruang kerja Abian, mulai menjalankan tugas yang baru saja di berikan Bian.
***
Ara dan ibu sedang mengepak kue pesanan ibu-ibu pengajian. Karena acaranya pagi, malam ini ibu sudah mengepak kuenya, kalau besok pagi takkan terkejar.
Duo kembar yang ikut membantu terlihat beberapa kali terkantu-kantuk.
"Dek, tidur sana. Biar ibu sama kakak aja yang nyiapin. Tinggal dikit juga," ucap Ara sembari mengguncang tubuh Dedek yang sudah layu akibat kantuk.
"Bener gak apa kak?"
"Iya, udah sana masuk kamar."
Ara menatap duo kembar dengan senyum, lelaki kesayangan selain Bian. Oh good kenapa tiba-tiba terkenang Bian.
"Ara!"
Ara dan ibu saling pandang, mereka seperti mendengar suara Bian memanggil Ara.
"Ra bukannya itu suara tuan Bian?"
"Kayaknya buk."
"Liat gih."
"Iya buk."
Ara bergegas kedepan, berdiri sejenak di balik pintu memastikan kalau dia dan ibu tak salah dengar. Tapi mendadak suara Bian terdengar lagi di seratai ketukan halus pada pintu.
"Ara sayang, suamimu pulang!" seru Bian.
"Tuan," bisik Ara sembari membuka pintu rumahnya.
Ara terpaku di tempatnya, melihat Bian tengah duduk di lantai dengan kepala tertunduk menekuri lantai. Bau Alkohol menyengat hidung.
"Tuan." Bian Seketika menengadah menatap Ara.
"Malam sayang," sapa Bian dengan mata menyipit. Sembari berusaha bangkit dengan sempoyongan, lalu luruh kembali kelantai.
"Tuan!" Seru Ara berusaha menahan tubuh Bian.
"Maaf sayang, aku tidak bisa membawamu pulang," oceh Bian sembari bergelayut di tubuh Ara.
"Ibuk!" Seru Ara. Ibunya tergopoh menyusul Ara kedepan, betapa kagetnya dia melihat Bian tengah bergelayut di tubuh Ara dengan keadaan lemas.
"Mabuk opo pie tuan Bian Ra?"
"Iya buk, bantu mapah tubuhnya buk."
Ibuk bergegas membantu Ara memapah tubuh Bian kedalam kamar Ara. Ibu kembali kedapur merebus air, sementara Ara membuka jas dan sepatu Bian.
Bian terus saja meracau tak jelas, sesekali tangannya meraih tubuh Ara kepelukannya. Ibu membawakan air hangat yang di beri perasan jeruk nipis.
"Ini Ra kasih ke tuan Bian. kau urus aja tuan Bian Ra, biar ibuk yang nyiapin bungkusnya kan tinggal dikit lagi."
"Iya buk." untung saja bungkusannya tinggal dikit kalau gak kasihan ibuk.
Bian meneguk habis air jeruk buatan ibu. Dengan mata menyipit dia menatap wajah Ara.
"Sayang aku rindu," bisik Bian lirih. Jemari kokohnya membelai pipi Ara dengan lembut. Bau alkohol yang menyengat membuat Ara mual, apa yang terjadi pada Bian sampai mabuk begini.
Ocehannya tak berlangsung lama, pengaruh Alkohol yang begitu kuat membuat Bian tertidur dengan nyenyak. Baru sehari dia pergi keadaan Bian sudah sekusut ini.
puas memandangi wajah suaminya Ara pun ikut terlelap di sampingnya.
Ara menggeliat pelan, separuh sadar Ara merasakan sentuhan lembut di tubuhnya. Sentuhan hangat itu memaksa Ara membuka matanya, melihat si pemilik tangan kokoh yang sedang bergrilya di balik baju tidurnya.
"Tuan..." desis Ara sembari menahan jemari Bian dengan kedua tangannya. Bukannya berhenti Bian malah mengunci kedua tangan Ara dengan satu tangan. Sementara tangan satunya masih bergrilya di balik bajunya.
Ara tak bisa berbuat banyak, di tak mampu menolah segala sentuhan Bian dia tak mungkin membuat kegaduhan di rumah ibu.
Entah sudah sadar atau sedang mabuk, Bian bermain lembut malam ini, walau lembut tapi mampu menerbangkan Ara berulang kali. Ara sungguh membenci dirinya sendiri, yang tak mampu tegas terhadap Bian. Racauan Bian sebelum tidur tadi membuat hatinya terharu, Bian mengungkap segala isi hatinya walau dalam kadaan mabuk.
"Sayang maaf," bisik Bian. Entah sudah berapa kali kata maaf terucap dari bibir merah Bian. Ara cuma diam, sebab Bian sudah tertidur kembali, sementara Ara harus membersihkan diri. Suara mengaji yang berkumandang di mesjid menandakan sudah pagi. Dia harus membantu ibu mengemas pesanan ibu-ibu pengajian.
Happy reading.
Hay readers jangan lupa like and vote ya readers tercinta.