NovelToon NovelToon
Mimpi Ini Terlalu Indah

Mimpi Ini Terlalu Indah

Status: sedang berlangsung
Genre:Duniahiburan / Romansa
Popularitas:87
Nilai: 5
Nama Author: Sabana01

Ia adalah Echo bernama Jae, idol pria berwajah mirip dengan jake Enhypen. Leni terlempar kedua itu dan mencari jalan untuk pulang. Namun jika ia pulang ia tak akan bertemu si Echo dingin yang telah berhasil membuat ia jatuh cinta

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sabana01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Romansa di Tengah Krisis

Leni membawa Jae pulang dari rumah sakit tanpa mendengarkan siapa pun—bahkan Manajer Park yang terus mengeluh soal jadwal syuting yang runtuh. Begitu pintu apartemen tertutup, Leni langsung mengunci dan menuntun Jae ke kamar. Tubuh Jae masih panas, tapi bukan panas manusia yang normal—ada denyut aneh di balik kulitnya, seperti energi yang berputar tanpa arah.

Ia membaringkan Jae perlahan, menarik selimut hingga dada, lalu duduk di sisi ranjang sambil mengatur napas. Baru kali ini, setelah berhari-hari merasa marah dan bingung, ia bisa melihat Jae dengan jelas: seorang pria yang selama ini berusaha terlihat kuat, padahal tubuhnya sendiri sedang berperang.

“Aku ambil air hangat dulu,” ujar Leni pelan.

Jae hanya mengangguk—gerakan kecil yang menunjukkan betapa lemah ia sebenarnya.

Ketika Leni kembali dengan handuk dan baskom, Jae sudah setengah tertidur. Leni duduk di tepi ranjang dan menyeka dahinya dengan perlahan, gerakannya lembut, seperti seseorang yang sedang merawat sesuatu yang mudah pecah.

“Kau benar-benar bodoh, Lee Jae-Yoon,” bisiknya, tidak marah, tidak kesal—hanya lelah. “Kenapa kau pikir menahannya sendirian itu solusi?”

Jae membuka mata sedikit. Tatapannya kabur. “Aku… tidak ingin membuatmu takut.”

Leni menatapnya lama. “Yang membuatku takut justru saat kau berusaha terlihat baik-baik saja.”

Jae mencoba tersenyum, tapi terhenti oleh rasa nyeri. “Aku hanya ingin kau bahagia.”

“Kau pikir aku bahagia melihatmu seperti ini?” Leni memegang tangannya. “Kebahagiaanku bukan karena kau sempurna. Kebahagiaanku adalah… kau ada.”

Jae menutup mata, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir, ia berhenti melawan kelemahannya. Ia membiarkan Leni merawatnya tanpa protes.

Leni tidak pergi seharipun. Ia memaksa Jae minum air, memberinya obat penurun panas, menyeka wajahnya, dan—yang paling membuat Jae mengeluh kecil—menyuapinya es krim.

“Ini dingin…” protes Jae pelan.

“Justru itu gunanya,” jawab Leni, menyodorkan sendok berikutnya. “Tidak ada efek samping, tidak mengganggu… apapun yang terjadi dalam tubuhmu. Dan kau suka ini.”

Jae tertawa kecil, suara yang terdengar seperti sesuatu yang sudah lama hilang. “Terapi es krim, ya? Hanya kau yang akan memilih metode seperti itu.”

Leni duduk di sampingnya, menyentuh pipinya dengan ibu jari. “Yang penting kau stabil.” Nadanya melembut. “Dan… aku bisa memastikan kau makan sesuatu yang tidak memicu apa pun.”

Tatapan mereka bertemu. Hening. Hangat.

“Leni,” ucap Jae, suara serak. “Kau tahu… aku tidak—aku bukan—”

“Aku tahu,” potong Leni sebelum ia sempat menyelesaikan. “Aku mungkin tidak mengerti semuanya. Tapi aku tahu satu hal.”

Ia meraih wajah Jae dengan kedua tangannya.

“Aku memilihmu. Apa pun kau sebenarnya… kau tetap Jae bagiku.”

Jae berkedip, matanya memerah. “Leni…”

“Aku mencintaimu,” ucap Leni pelan, mantap. “Tanpa syarat. Tanpa syarat sedikit pun.”

Tidak ada ledakan emosi. Tidak ada drama besar. Justru pengakuan itu terasa nyata, sederhana, tapi kuat—cukup kuat untuk membuat Jae menarik napas seperti seseorang yang akhirnya bisa hidup lagi.

“Aku juga mencintaimu,” jawab Jae, hampir berbisik. “Dan aku… aku akan mencoba lebih jujur. Aku berjanji.”

Leni membungkuk dan menciumnya—ciuman yang pelan, hati-hati, seperti membalut luka yang tidak terlihat.

Jae akhirnya tertidur, tenang untuk pertama kalinya.

Leni tinggal di samping ranjang, memandang wajahnya yang lelah. Ia tidak beranjak. Tapi ia juga bukan orang yang duduk diam ketika seseorang yang ia cintai sedang dalam bahaya.

Ia mengambil laptopnya yang disimpan di meja, membuka beberapa dokumen penelitian dan catatan lama. Ia tidak bisa menjelaskan kondisi Jae ke siapa pun, tapi ia bisa mencari pola: kapan Jae makin lemah, kapan ia stabil, apa pemicunya.

Selama berjam-jam Leni mencatat, memikirkan ulang, menautkan titik-titik yang dulu ia abaikan.

Dan akhirnya ia sampai pada satu kesimpulan sederhana:

“Jae tidak boleh menahan semuanya sendiri.”

Ia menatap pria yang tertidur itu.

“Kau harus menyalurkan apa pun yang ada di dalam dirimu, Jae. Bukan menahannya.”

Ini bukan teori ilmiah sempurna—ini intuisi.

Selama ini, Jae paling kuat ketika ia berada di panggung, di depan kamera, ketika ia mengekspresikan emosi melalui seni. Mungkin… itu satu-satunya cara tubuhnya menerima dan melepas beban yang ia kumpulkan.

Ia menyentuh rambut Jae perlahan.

“Kalau kau tetap menjadi dirimu… tetap berkarya… tetap mencintai dunia ini… mungkin tubuhmu akan bertahan.”

Leni tidak tahu apakah pemikirannya benar. Tapi itu lebih masuk akal daripada membiarkan Jae perlahan hancur karena menahan sesuatu yang tidak terlihat.

Ia menarik napas panjang.

“Kalau begitu,” gumamnya, “aku akan pastikan kau bersinar. Aku akan bekerja untukmu. Aku akan pastikan kau tetap ada.”

Dalam hati, ia berjanji pada dirinya sendiri:

Mulai sekarang, bukan hanya Jae yang akan melindungi Leni.

Leni akan melindungi Jae—dengan semua yang ia punya.

...****************...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!