Membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk pengobatan orang yang sangat ia sayangi, membuat seorang Fiorella harus merelakan sebagian kebebasan dalam kehidupannya.
"Pekerjaannya hanya menjadi pengasuh serta menyiapkan semua kebutuhan dari anaknya nyonya ditempat itu, kamu tenang saja. Gajinya sangat cukup untuk kehidupan kamu."
"Pengasuh? Apakah bisa, dengan pendidikan yang aku miliki ini dapat bekerja disana bi?."
"Mereka tidak mempermasalahkan latar belakang pendidikan Dio, yang mereka lihat adalah kenerja nyata kita."
Akhirnya, Fio menyetujui ajakan dari bibi nya bekerja. Awalnya, Dio mengira jika yang akan ia asuh adalah anak-anak usia balita ataupun pra sekolah. Namun ternyata, kenyataan pahit yang harus Fio terima.
Seorang pria dewasa, dalam keadaan lumpuh sebagian dari tubuhnya dan memiliki sikap yang begitu tempramental bahkan terkesan arogan. Membuat Fio harus mendapatkan berbagai hinaan serta serangan fisik dari orang yang ia asuh.
Akankah Fio bertahan dengan pekerjaannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Era Pratiwi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PCC. 24.
Terlepas dari perdebatan mengenai apa yang sudah Elio berikan pada Fio, mereka kini sedang menjalani proses terapi untuk pria itu. Disaat Elio berada didalam ruangan terapi, Fio masih membolak balik berkas yang ia dapatkan.
"Ini tandanya, aku mendapatkan judul baru. Tempat penelitian baru, dosen pembimbing baru, judulnya pun baru?" Fio masih tidak dapat menduganya.
"Itu tandanya, anda bekerja sambil menyusun tugas akhir nona. Jarang loh, tuan mau menjadi pembimbing untuk tugas akhir mahasiswa nya." Max menyambut ucapan Fio.
"Memangnya, tuan Elio dosenkah?" Raut wajah Fio begitu penasaran.
"Ya ampun nona, anda ini kenal dengan perusahaan Satya Mega tidak sih? Ya Tuhan, perusahan besar seperti ini masih tidak ada yang tahu. Kelewatan pakek banget anda, huh." Max mencibir Fio dengan seringainya.
"Bukan tidak kenal tuan, tapi perusahaan kalian itu sudah melampaui batas pengelihatan dan pengetahuan otak saya karena sangat besarnya. Makanya saya tidak tahu, jadi ini saya mulai besok penelitian di perusahaan kan. Tapi tuan, tugas kerjaan mengurus tuan bagaimana?" Pertanyaan yang muncul ketika permasalahan satu telah selesai.
Tangan Max langsung menepuk keningnya, ia tidak habis pikir dengan apa yang ada didalam kepala Fio. Bagaimana wanita itu berpikir, membuat Max merasa geram.
"Lama-kelamaan, otak saya jadi ikutan lemot karena nona. Kalau tuan sudah berkata seperti itu, tandanya anda kerja sambil penelitian di perusahaan. Jelas." Max melebarkan kedua matanya dihadapan Fio.
"Oh, jadi begitu ya. Setahu saya, tuan Elio tidak pernah terlihat di kampus dan daftar namanya juga tidak ada dalam draf dosen." Fio masih bertanya akan hal tersebut.
"Namanya juga penanam saham terbesar dikampus itu, ya jelas saja tidak ada slama daftar dosen. Sudah ah, banyak tanya banyak mikir saya jadinya." Max sedikit menjauh dari Fio, waspada jika wanita itu akan mengeluarkan pertanyaan lagi padanya.
"Benarkah?" Fio kembali dikagetkan dengan apa yang baru ia ketahui.
"Huh! Terserah nona sajalah, otak saya sudah mentok mau menjelaskannya." Max memalingkan wajahnya dari Fio.
Keduanya saling bergelut dalam pikiran masing-masing, tanpa mereka sadari. Pintu ruangan terapi itu terbuka, terlihat salah satu perawat keluar dari sana dan menghampiri mereka berdua.
"Permisi, siapa diantara kalian bernama Fio?" Perawat itu bertanya kepada keduanya.
"Saya, suster." Fio berdiri dan menghampiri suster tersebut.
"Mari ikut saya masuk nona." Perawat itu mempersilahkan Fio untuk masuk.
Kerutan pada kening Fio bertambah, tiba-tiba dirinya diminta untuk masuk bersama perawat tersebut. Mendapati Fio yang masuk ke dalam ruangan, max pun tidak ingin ditinggalkan sendirian.
"Eh, suster. Kok dia masuk, saya tidak?" Pertanyaan itu muncul, karena dirinya sendiri berada disana menunggu.
"Maaf tuan, yang boleh masuk hanya orang yang berkepentingan saja." Tolak perawat itu pada Max yang mau ikut masuk.
"Saya ini juga orang penting loh, suster. Saya asistennya tuan Elio, masa nona itu masuk sayanya tidak. Kan tidak adil." Max masih tidak mau mengalah.
"Maaf tuan." Suster itu langsung masuk ke dalam ruangan bersama Fio dan menutup pintu, meninggalkan Max yang masih tidak mau terima ia sendirian.
Perasaan bingung itu masih menerpa Fio, ia tiba-tiba diminta untuk masuk ke dalam ruangan terapi yang dimana Elio berada. Sedangkan diluar sana, Max terus mengumpat dengan bahasanya yang sangat pedas.
"Suster, memangnya ada apa ya sampai saya disuruh masuk?" Fio berbisik kepada suster itu.
"Tuan Elio yang memintanya nona." Perawat itu mengantarkan Fio sampai ke dalam dan kembali pada tugasnya.
Berjalan perlahan, Fio melihat bagaimana pria yang meminta nya untuk masuk ke dalam ruangan itu sedang menjalani beberapa proses terapi pada kakinya. Suara keras bahkan teriakan terdengar, sebegitu sakitkah? Pertanyaan itu muncul di dalam kepalanya, karena menyaksikan Elio seperti itu.
Dan Elio, ia mendapati Fio yang sudah berada disana. Ia pun memberikan isyarat kepada wanita itu untuk mendekat, sorot mata keduanya saling bertemu. Baru saja Fio berdiri disana, tangan Elio langsung menggenggam tangan Fio dengan begitu erat.
"Tuan!" Fio kaget dan tentunya panik.
Pria itu meringis menahan rasa sakit, ketika dokter yang melakukan terapi pada kakinya. Berbagai proses tahapan untuk pemulihan itu, Fio terus mendampingi seperti biasanya. Akan tetapi, kali ini cukup berbeda karena Elio ingin dirinya berada disisinya.
Selesai proses tersebut, keringat itu membasahi tubuhnya Elio. Baju yang ia kenakan itu tidak ada bagian yang kering sedikit pun tersisa, Fio menjalankan tugasnya dengan baik. Namun ia merasakan, ada sesuatu yang berbeda dengan Elio kali ini.
Membantu bertukar pakaian dan membereskan semua peralatan yang ada, hingga Elio kini telah selesai dengan semuanya. Mereka pun hendak keluar dari ruangan tersebut, disaat Fio akan mengambil tas peralatan tersebut. Ada sesuatu hal yang membuat Fio merinding, bahkan tubuhnya tidak bisa bergerak.
"Sampai kapan ini harus aku lakukan? Sepertinya, tidak ada kemajuan apapun pada kaki ini." Elio seketika meletakan kepalanya untuk bertumpu pada tubuh Fio didepannya.
"Tuan, bisakah anda bergeser sedikit?"
"Biarkan seperti ini, kenapa aku harus melakukan ucapanmu untuk mengikuti terapi ini?" Elio terus melontarkan apa yang ia rasakan.
"Tuan tidak harus mengikuti ucapan saya, karena diri tuan sendiri yang menjadi kunci dari keberhasilan atas apa yang tuan inginkan." Hanya jawaban itu yang terlintas dalam kepala Fio.
"Tidak harus mengikuti? Tapi bodohnya, aku sudah melakukannya." Kalimat yang sangat tidak enak didengar.
Tubuh Fio sudah begitu kaku, bahkan detak jantungnya kini sudah tidak karuan. Akan tetapi, tanpa sadar. Keduanya merasakan sesuatu yang begitu bergejolak dari dalam diri masing-masing, namun mereka tidak mau mengakuinya.
"Anda memang bodoh, tuan." Atas ucapan itu, Elio menarik kepalanya dan menatap tajam pada Fio.
"Apa kamu bilang, hah? Kalau aku bodoh, mana mungkin punya perusahaan besar dan yang lainnya. Dasar tidak waras." Ketus Elio, mereka pun berdebat dengan caranya sendiri.
Mendengar pria itu berkata dengan semaunya sendiri, membuat Fio yang perlahan sudah mengerti akan sikap seorang Elio. Ia hanya bisa menghela nafasnya, dan ia hanya bisa berbicara dari dalam hatinya saja. Sedikit banyaknya, Fio juga mengetahui perjalanan hidup dan asmaranya Elio hingga ia seperti ini. Tentunya berita itu sangat terpercaya, karena Max adalah sumber nya.
...Iya sih punya perusahaan besar, sukses. Tapi bodoh dalam berpikir menangapi persoalan hati, dasar tidak sadar diri. Fio....
"Kamu mengumpatku, ya?!"
"Eh."