“Sekarang, angkat kakimu dari rumah ini! Bawa juga bayi perempuanmu yang tidak berguna itu!”
Diusir dari rumah suaminya, terlunta-lunta di tengah malam yang dingin, membuat Sulastri berakhir di rumah Petter Van Beek, Tuan Londo yang terkenal kejam.
Namun, keberadaanya di rumah Petter menimbulkan fitnah di kalangan penduduk desa. Ia di cap sebagai gundik.
Mampukah Sulastri menepis segala tuduhan penduduk desa, dan mengungkap siapa gundik sebenarnya? Berhasilkah dia menjadi tengkulak dan membalas dendam pada mantan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sulastri 3
“Jangan duduk di situ, papan itu gapuk.’’
Sulastri tersentak, matanya membelalak ketika melihat seseorang muncul dari balik gardu kayu. Ternyata mobil pickup yang terparkir di depan gardu bukan angkutan desa, tapi milik Tuan Londo, tengkulak yang dikenal kejam oleh penduduk. Seketika dia mundur selangkah, tubuhnya menegang saat Tuan Londo berjalan keluar dari arah gelap.
Tuan Londo menatap lekat wajah Sulastri yang pucat pasi, alisnya mengerut. “Mau kemana pagi buta begini, Nyonya?” tanyanya kemudian.
Sulastri bergeming sejenak, lalu memilih cepat-cepat berpindah ke sudut gardu, tempat bangku lain tersedia.
Petter Van Beek, orang desa memanggilnya Tuan Londo, tengkulak kaya keturunan Belanda. Namanya dikenal luas oleh para petani karena ketelitiannya dalam membeli hasil panen, juga dikenal sebagai Londo kejam yang memeras keringat mereka.
Dengan wajah datar, Petter menelisik wanita di depannya. Penampilannya tampak berantakan, rambutnya kusut, kebayanya tak terkancing sempurna, dan bayi yang gelisah didekapannya, membuat pria itu penasaran.
“Apa kau sedang menunggu suamimu?” tanyanya kemudian.
“Tidak,” jawab Sulastri sembari terus menenangkan bayinya.
Petter menyipitkan mata, tatapannya tak beranjak dari Sulastri yang gemetaran. “Kau mau kemana? Tempat ini terlalu berbahaya untuk perempuan.”
Sulastri menunduk, menghindari tatapan intimidasi si Tuan Londo, bibirnya gemetar sebelum berucap pelan. “Desa lereng bukit.”
Petter mengangguk pelan. “Ikut denganku, aku akan mengantarmu,” ucapnya dengan suara datar.
Sulastri menggeleng pelan sembari beringsut dari posisinya. “Tidak perlu, saya menunggu angkutan desa saja.”
“Angkutan desa sudah berangkat tengah malam tadi, kasian anakmu jika menunggu di sini,” ujar Petter kembali.
Sulastri kembali menunduk, memeluk erat bayinya di dada. Tatapannya gelisah melihat sekitar, berharap ada rumah warga yang bisa didatangi untuk meminta pertolongan, asal tidak harus pergi dengan si Londo.
Pandangan penduduk terhadap perempuan yang dekat dengan orang Belanda masih sama, begenggek atau lebih kejam lagi di anggap gundik. Tapi harapannya sia-sia, gardu itu berada di ujung desa jauh dari rumah penduduk
Petter menatap tajam, sorot matanya dingin dan menusuk. “Heh! Inlands meisje ( wanita pribumi) sebentar lagi akan turun hujan, kau dan bayimu bisa mati kedinginan di sini.”
Sulastri menggenggam ujung kebayanya erat, berusaha menenangkan bayinya yang gelisah. Pelan-pelan ia mencoba bangkit, tapi tiba-tiba nyeri menusuk perut bawahnya. Keringat dingin mengalir di pelipis, sambil menahan sakit, wanita itu menimang bayinya yang kini menangis keras.
Petter kembali mendekat, matanya seketika terbelalak saat melihat bayi mungil itu sedikit membiru. “Apa anakmu sedang sakit?”
“Tidak,” jawab sulastri singkat.
“Biar aku periksa,” ucap Petter, lalu dengan paksa menyentuh bayi Sulastri.
Sulastri menepis tangan Petter, namun pria itu lebih dulu mencekal lengannya.
Petter dengan saksama memeriksa bayi Sulastri. “Anakmu demam, ikut denganku, kita bawa dia ke dokter,’’ paniknya.
“Tidak usah, saya akan membawanya ke bidan saja,’’ sahut Sulastri ketus.
Petter menghela napas kasar, rasa tidak teganya mendengar tangisan bayi membuatnya geram. Dengan kasar laki-laki itu menarik tangan Sulastri. “Dengar, bidan desa berada lima kilometer dari tempat ini. Ikut mobilku, kalau kau tidak mau anakmu mati!” bentaknya.
Sulastri berusaha bangkit dari duduknya, namun tubuhnya tiba-tiba lemas, pandangannya menggelap, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Melihat itu, Petter sontak memapahnya masuk ke mobil.
Dengan cepat pria itu melajukan mobilnya menuju rumahnya, Petter menekan klakson berturut-turut begitu sampai gerbang utama, wajah paniknya semakin kentara saat melihat wanita di sampingnya semakin pucat pasi, juga bayi mungil yang terus menangis dan membiru.
“Panggil Anderson!” teriaknya begitu turun dari mobil.
Dengan cepat dia berlari menuju pintu penumpang.
“Mbok Sum, bawa bayi ini masuk sekarang,” perintahnya.
Tanpa pikir panjang Petter mengangkat Sulastri dalam gendongannya. Wanita itu tidak melawan hanya sesekali merintih kesakitan.
Dengan langkah tergesa laki-laki itu membawa masuk ke rumah megahnya, “Cepat periksa dia!’’ perintahnya saat pria bernama Anderson tiba.
Anderson, dokter pribadi keluarga Van Beek, seorang pria berdarah campuran Indo-Belanda yang hampir seluruh hidupnya diabdikan untuk keluarga itu. Sejak kematian Hendriks Van Beek—ayah Petter, ia diminta untuk tinggal di paviliun rumah megah itu.
Anderson dengan cekatan memeriksa Sulastri dan bayinya, alisnya mengerut saat melihat kondisi wanita itu.
“Bagaimana? Apa kita perlu membawanya ke rumah sakit di pusat kota?” sela Petter di tengah pemeriksaan.
Anderson diam sejenak, dokter paruh baya itu kemudian menarik napas panjang. “Sepertinya dia habis melahirkan, ada pendarahan, andai tidak secepatnya tertolong, kemungkinan dia akan mati,’’ sahutnya.
“Lalu bayinya?” tanya Petter tidak sabar.
“Bayinya hanya kedinginan dan haus, aku sudah meminta Mbok Sum untuk memberi susu milik anakku, tenang saja,’’ jawabnya.
Anderson menatap Petter yang masih memperhatikan Sulastri yang terbaring lemah, alisnya terangkat sebelah, “Tapi siapa wanita ini, kenapa kamu bisa membawanya?” tanyanya penasaran.
“Aku juga tidak tahu, aku menemukannya di pinggir jalan,” sahut Petter pelan.
Anderson menyipitkan matanya, menatap curiga Petter, “Kau biasanya tidak tertarik dengan wanita pribumi, kenapa tiba-tiba …?”
“Memangnya salah jika aku menolongnya? Dia sedang kesakitan di pinggir jalan,” ujar Petter sembari menggaruk kepalanya yang tak gatal.
“Dengan menidurkannya di kamarmu?” sahut Anderson, membuat Petterr merah padam seketika.
Pria itu bahkan tidak sadar membawa Sulastri ke kamarnya, padahal dia paling anti kamarnya dimasuki sembarang orang.
Anderson tertawa kecil saat melihat raut Petter yang salah tingkah, wajah seputih susu pria itu merah padam, dengan hidung kembang-kempis.
“Kenapa kau tertawa?!” protesnya saat melihat Anderson yang tersenyum nakal.
Anderson melirik sesaat, bibirnya mengulas senyum. “Tidak, aku hanya penasaran, sejak kapan Petter Van Beek peduli pada wanita, pribumi pula.”
Petter berjalan mondar-mandir, mencoba menutupi wajahnya yang gusar. “Aku hanya khawatir dengan bayinya,” kilahnya kemudian. “Ah … sudahlah. Kau rawat saja sampai keadaannya membaik.’’
Anderson menganggukkan kepala, dengan senyum yang masih terulas. “Baik, aku akan pergi ke kota untuk membeli beberapa obat-obatan dan kebutuhan bayi, beri—”
“Minta saja pada Broto, berapapun yang kau butuhkan!” sela Petter seolah mengerti maksud Anderson.
Anderson kembali tertawa samar, laki-laki itupun meninggalkan kamar Petter, sebelum keluar ia menepuk pundak anak dari sahabatnya itu, sembari membisikkan sesuatu yang membuat wajah Petter kembali memerah. “Jangan lama-lama menatapnya, kau bisa jatuh cinta nanti.’’
Petter berdecak kasar, dia kembali menatap Sulastri yang masih tertidur lemah, ‘Siapa wanita ini sebenarnya,’ batinnya.
***
Sementara itu, dalam perjalanan Dasim memacu dokarnya dengan tergesa. Dia harus sampai joglo punjer sebelum pukul enam pagi, kalau tidak mau di damprat sang Juragan. Laki-laki itu sengaja menunggu sampai Den ayunya pergi dari tempat itu. Sesampainya di punjer dia bergegas merapikan barang yang akan dijual ke kota, sebelum suara sang Juragan mengejutkannya.
“Kenapa siang sekali pulangnya, Sim?” Rasmi dengan penuh selidik menatap Dasim yang ngos-ngosan menata barang.
Dasim menyeka keringat di pelipisnya, “Anu … Ndoro, saya tadi ketiduran, waktu istirahat di mushola,” sahutnya berbohong.
Rasmi kemudian lebih mendekat pada Dasim, melihat sekeliling sesaat seolah takut seseorang mendengar apa yang akan dibicarakan.
“Apa Lastri baik-baik saja?” bisiknya kemudian. “Keluarganya menerima, ‘kan?” desak Rasmi seolah tau apa yang disembunyikan Dasim.
Dasim menelan ludah kasar, bibirnya sedikit ragu untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi.
“Ee … diterima, Ndoro.”
Rasmi menghela napas pelan, “Syukurlah, nanti setelah pasaran, kita mampir ke Lereng gunung sebentar, aku ingin menemuinya.”
Dasim kembali menelan ludahnya kasar, suaranya sedikit bergetar. “A-nu, Ndoro. Sebenarnya Den ayu tidak pulang ke Lereng Gunung.”
Rasmi tampak cemas, keningnya berkerut, napasnya pelan. “Lalu kemana dia?!’’
“S-saya kurang tau, Ndoro. Den ayu naik angkutan desa, tidak tau kemana,’’ jawab Dasim.
Sementara itu di belakang mereka seseorang sedang memperhatikan. Tangannya mengepal di samping badan, dengan rahang yang mengetat.
‘Dia tidak pulang ke Lereng Gunung, lantas kemana perginya?’ batinnya.
Bersambung.