Indira mengagumi Revan bukan hanya karena cinta, tetapi karena kehormatannya. Revan, yang kini memeluk Kristen setelah melewati krisis identitas agama, memperlakukan Indira dengan kehangatan yang tak pernah melampaui batas—ia tahu persis di mana laki-laki tidak boleh menyentuh wanita.
Namun, kelembutan itu justru menusuk hati Indira.
"Untukku, 'agamamu adalah agamamu.' Aku tidak akan mengambilmu dari Tuhan-mu," ujar Revan suatu malam, yang di mata Indira adalah kasih yang dewasa dan ironis. Lalu ia berbisik, seolah mengukir takdir mereka: "Untukmu agamamu, dan untukku agamaku."
Kalimat itu, yang diambil dari Kitab Suci milik Indira sendiri, adalah janji suci sekaligus belati. Cinta mereka berdiri tegak di atas dua pilar keyakinan yang berbeda. Revan telah menemukan kedamaiannya, tetapi Indira justru terombang-ambing, dihadapkan pada i
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blcak areng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Audit Emosi dan Kabar Kolaborasi
Aku bersandar di kepala tempat tidur, ponsel di tanganku terasa dingin. Di luar, suara mobil mewah Gus Ammar Fikri sudah lama menghilang, meninggalkan keheningan dan kelelahan mental.
Aku baru saja lolos dari dua ujian terbesar: ujian spiritual sebagai makmum di belakangnya, dan ujian emosional sebagai subjek audit porsi nasi.
Aku menghela napas. Revan, dengan segala kehangatannya, tidak pernah menanyakan porsi makanku; dia akan menyuapiku jika aku menolak makan. Ammar? Dia berjanji akan menjadikanku KPI utamanya. Perbedaan yang mencolok. Aku harus mengakui, Ammar adalah jalan yang benar. Dia adalah Garis Batas Keyakinan yang dikirim Ayahku untuk menyelamatkanku dari diriku sendiri.
Tepat ketika aku mulai berpikir betapa menyedihkannya kisah cintaku, notifikasi grup chat di ponselku berbunyi nyaring.
WhatsApp Group: Trio Sastra Gila 📚
Imel: Ra! Lo masih hidup?
Neli: Iya, Ra! Kabarin kita dong! Gimana tadi date sama Bapak CEO-Mu?
Imel: Mana ada date, Nel! Itu tadi CEO Briefing namanya. Aura dinginnya menusuk tulang.
Indira: Aku masih hidup, Guys. Agak mati rasa sedikit.
Neli: Mati rasa kenapa? Jangan bilang dia bawa lo ke gudang arsip perusahaannya terus nyuruh lo baca laporan keuangan?
Indira: Enggak. Tapi almost.
Imel: Cerita dong, Ra! Masa dia enggak romantis sama sekali? Dia enggak gombalin lo pakai pantun Islami gitu?
Indira: Enggak. Dia cuma tanya, kenapa porsi nasiku sedikit saat makan malam.
Neli: Emot tertawa
Imel: SERIUS?! Lo dikritik porsi nasi? Ya ampun, Ra! Dia itu Gus atau Dietician sih?
Indira: Dia lebih kayak Auditor Nutrisi. Dia bilang, aku harus makan banyak karena kesehatan itu Key Performance Indicator dalam rumah tangga.
Neli: HAHAHAHA. Ra, lo dapat calon suami atau Manajer Proyek, sih? Tapi at least, dia perhatian sama kesehatan lo kan?
Indira: Perhatiannya sangat fungsional, Nel. Aku merasa kayak unit yang harus dipertahankan produktivitasnya.
Imel: Waduh. Tapi dia ganteng banget lho, Ra. Mapan, dan bacaan sholatnya pasti merdu banget. Aku jadi pengen taaruf sama CEO dingin juga kalau gantengnya kayak dia.
Indira: Memang merdu, Mel. Tadi dia jadi imam kami. Dan aku baru sadar, dia memang pantas dipanggil Gus. Karisma spiritualnya luar biasa. Itu yang paling bahaya.
Neli: Jadi, lo sekarang confuse antara Gus yang bikin sebal sama Revan yang bikin terlarang?
Indira: Stop sebut nama itu! Aku sudah janji sama Ayah. Dan aku sudah sepakat dengan Ammar. Aku harus fokus pada jalan ini.
Imel: Oke, oke! Peace! Tapi, Ra, kita punya big news nih yang mungkin bikin lo super-duper sibuk.
Neli: Iya, Ra. Besok kan ada rapat besar perwakilan BEM kampus kita sama Universitas Wijaya Krama (Kampus Revan) buat launching acara kolaborasi.
Indira: Kolaborasi apa? Tumben banget kampus kita mau kolaborasi sama Wijaya Krama?
Imel: Tema acara besarnya: Jembatan Antar Perbedaan. Interfaith Dialogue gitu.
Rencananya mau launching besok di Auditorium Kampus kita.
Neli: Lo kan anak Sastra dan aktivis Dewan Mahasiswa, Ra. Lo wajib datang. Dan lo tahu kan, siapa yang memimpin BEM Wijaya Krama?
Indira: Siapa? Aku enggak terlalu peduli sama politik kampus mereka.
Imel: Tentu saja Revan Elias Nugraha.
Aku menjatuhkan ponsel di kasur. Tubuhku langsung tegang.
Revan... Ketua BEM Universitas Wijaya Krama.
Aku tidak pernah tahu Revan terlibat sedalam itu di BEM. Selama ini, aku hanya tahu dia adalah mahasiswa teologi yang sibuk dengan urusan gerejanya. Kenyataan bahwa dia adalah salah satu leading figure di kampus rival yang mengadakan acara bertema Perbedaan ini, berarti satu hal:
Aku akan bertemu dengannya lagi.
Bukan hanya bertemu, tetapi dalam sebuah acara resmi yang melibatkan dua kubu yang kini menjadi representasi konflik kami: agama dan perbedaan.
Aku segera meraih ponselku lagi.
Indira: Kalian serius? Revan akan datang?
Neli: Pasti, Ra. Dia itu yang menginisiasi kerjasama ini dari sisi mereka. Dan lo juga harus datang, Ra. Lo kan diamanahkan sama dosen buat wakilin tim Linguistik Sosial.
Imel: OMG. Ini kayak drama Sinetron, Ra! Cowok lama lo yang terlarang, ketemu di acara bertema Garis Batas.
Indira: Aku enggak tahu harus gimana. Ayah pasti enggak akan izinin aku datang kalau tahu ada Revan.
Neli: Ya jangan bilang Ayah dong! Lo udah punya bodyguard baru, Gus Ammar. Coba deh, besok lo izin ke Ayah buat acara penting kampus. Lagipula, ini official.
Aku menarik napas panjang. Ammar sudah memberiku ponselku kembali dengan satu syarat mutlak: Jangan menghubungi Revan. Tapi bagaimana jika pertemuan ini terjadi tanpa aku yang berusaha menghubunginya? Apakah itu tetap dihitung sebagai pelanggaran Garis Batas?
Aku menatap layar ponselku, melihat nama Ammar Fikri. Aku punya waktu dua tahun untuk taaruf. Tapi, ujian pertamaku pertemuan langsung dengan masa lalu datang bahkan sebelum seminggu taarufku dimulai.
Aku harus datang. Aku harus datang untuk membuktikan pada diriku sendiri bahwa setelah mendengar lantunan suci dari Gus Ammar, aku sudah cukup kuat untuk menghadapi Revan tanpa goyah.