Selena tak pernah menyangka hidupnya akan seindah sekaligus serumit ini.
Dulu, Daren adalah kakak iparnya—lelaki pendiam yang selalu menjaga jarak. Tapi sejak suaminya meninggal, hanya Daren yang tetap ada… menjaga dirinya dan Arunika dengan kesabaran yang nyaris tanpa batas.
Cinta itu datang perlahan—bukan untuk menggantikan, tapi untuk menyembuhkan.
Kini, Selena berdiri di antara kenangan masa lalu dan kebahagiaan baru yang Tuhan hadiahkan lewat seseorang yang dulu tak pernah ia bayangkan akan ia panggil suami.
“Kadang cinta kedua bukan berarti menggantikan, tapi melanjutkan doa yang pernah terhenti di tengah kehilangan.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itz_zara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31. Pergi Ke Kebun Binatang
Selena menatap jam dinding di ruang tamu. Jarum pendek sudah melewati angka dua belas, sementara jarum panjang terus bergerak tanpa belas kasihan. Tengah malam.
Namun satu hal yang belum bergerak sejak tadi adalah pintu rumah.
Daren tak kunjung pulang.
Di kamar, Arunika sudah terlelap sejak berjam-jam lalu, napasnya teratur dan damai. Tapi Selena… bahkan menutup mata pun sulit. Ada gelisah yang merambati dada, semakin kuat seiring waktu berjalan.
Daren memang bilang akan lembur.
Tapi tidak pernah sampai selama ini.
Tidak pernah membuatnya menunggu sambil mondar-mandir dari sofa ke jendela, mengecek ponsel setiap lima menit, berharap ada notifikasi masuk.
Namun ponselnya tetap hening.
Tidak ada telepon.
Tidak ada pesan.
Hanya keheningan yang terasa begitu menusuk.
Selena akhirnya duduk kembali di sofa, memeluk bantal kecil di pangkuannya.
“Tuhan… Daren kenapa sih lama banget?” gumamnya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh detak jam dinding.
Hatinya mulai diserbu pikiran buruk.
Bukan yang terlalu jauh—tapi cukup untuk membuatnya resah.
Daren bukan tipe yang tak memberi kabar.
Daren bukan tipe yang meninggalkan istrinya gelisah sampai larut malam.
Dan Daren… bukan tipe yang pulang tanpa pesan bila ada hal mendesak.
Selena meraih ponsel lagi.
Kali ini, ia mencoba menelepon.
Tu—tu—tu—
Nomor yang Anda tuju sedang tidak dapat dihubungi…
Deg.
Selena tersentak.
“Kenapa mati?” bisiknya, tangan mulai bergetar.
Ia bangkit, berjalan ke jendela. Perumahan sudah gelap, hanya beberapa lampu taman yang menyala sendu. Angin malam berembus pelan, tetapi dinginnya seperti menusuk tulang.
Selena baru ingin mencoba menelpon lagi ketika suara pintu depan berderit pelan.
Ia menoleh cepat.
Daren masuk. Rambutnya sedikit berantakan, dasi longgar di leher, wajahnya terlihat sangat lelah seperti habis berperang dengan waktu.
Selena langsung berdiri.
“Mas Daren…” suaranya pecah antara lega dan kesal.
Daren menutup pintu pelan, menatap Selena yang matanya sembab karena cemas.
“Sayang… maaf. Aku telat banget.”
“Mas kenapa baru pulang?” Selena mendekat, nada suaranya bergetar.
“Kamu nggak bisa kabarin? Ponsel kamu mati. Aku takut banget sesuatu terjadi.”
Daren menghela napas panjang, lalu memegang kedua bahu Selena lembut.
“Maafin aku. Tadi… ada meeting darurat sama beberapa investor. Aku nggak bisa tinggalin ruangan, dan ponselku lowbat sebelum aku sempat ngehubungin kamu.”
Selena menatapnya masih dengan mata berkaca-kaca.
“Aku nunggu dari jam delapan, Mas…”
Daren langsung menariknya ke pelukan.
Pelukan hangat, penuh penyesalan dan lega bercampur jadi satu.
“Aku tahu, sayang. Maaf. Aku janji nggak akan bikin kamu nunggu kayak gini lagi.”
Selena memejamkan mata.
Ada rasa lega… tapi juga sesuatu yang mengganjal.
Ia melepaskan pelukan perlahan.
“Tapi Mas… beneran nggak apa-apa? Kamu kelihatan capek banget.”
Daren mengusap wajah, mengangguk kecil.
“Capek, iya. Tapi aku baik-baik aja. Cuma… hari ini gila banget.”
Selena memperhatikan wajah suaminya.
Ada lelah.
Ada tekanan.
Dan… sesuatu yang belum ia mengerti.
Ia menggenggam tangan Daren.
“Mas mau cerita? Kalau nggak mau sekarang… nanti juga nggak apa. Tapi jangan pendam sendiri.”
Daren terdiam sejenak.
Matanya menatap dalam ke arah Selena.
Lalu ia mendekat.
“Boleh… tapi sambil mandi dulu ya? Aku bau kantor banget ini,” ujarnya mencoba mencairkan suasana.
Selena tersenyum tipis meski hatinya masih tertinggal sedikit rasa khawatir.
“Yaudah. Aku siapin air hangat.”
Daren mengangguk dan berjalan menuju kamar mandi.
Namun sebelum pintu tertutup, Selena melihatnya berhenti sejenak—menopang tangan di kusen pintu, seperti seseorang yang sedang menahan beban besar di bahunya.
Selena menatap punggung itu dengan perasaan yang kian tak nyaman.
Ada sesuatu yang terjadi hari ini.
Sesuatu yang Daren sembunyikan…
Dan ia belum tahu…
apakah itu kabar baik—atau sesuatu yang bisa mengubah hidup mereka.
---
Suasana menjelang weekend selalu menjadi waktu yang paling Daren nantikan.
Bukan karena ia ingin libur dari rutinitas kantor—melainkan karena setiap weekend, ia bisa membawa keluarga kecilnya jalan-jalan, entah sekadar makan es krim, mengunjungi taman bermain, atau mengantar Arunika ke toko buku kesayangannya.
Biasanya, hari Jumat membuat langkahnya lebih ringan.
Namun hari ini berbeda.
Daren justru memutuskan pulang lebih cepat dari biasanya.
Ia bahkan meninggalkan beberapa pekerjaan yang biasanya ia selesaikan sebelum pulang.
Semuanya karena satu hal penting: mengantar Selena cek kandungan.
Kehamilan Selena memasuki usia lima bulan, dan meski Selena terlihat kuat, Daren selalu merasa perlu memastikan semuanya baik-baik saja. Terutama setelah dua minggu terakhir Selena sering mengeluh cepat lelah dan kadang merasa perutnya mengeras tiba-tiba.
Daren tidak ingin mengambil risiko sekecil apa pun.
Ia meraih ponsel di meja kerjanya, mengirim pesan singkat:
Daren: Sayang, aku berangkat pulang ya. Siap-siap bentar lagi kita ke dokter.
Selena: Iya, Mas. Aku tunggu. Aru lagi siap-siap juga.
Daren tersenyum kecil membaca pesan itu, lalu segera mengambil jas kerjanya dan keluar dari kantor.
---
Selena sedang merapikan rambut Arunika ketika suara pintu depan terbuka.
“Ayah pulang!” seru Arunika berlari kecil menghampiri ayahnya, masih dengan pita rambut yang belum terikat sempurna.
Daren mengangkat putrinya, mencium pipinya.
“Masya Allah, cantik banget anak ayah hari ini. Udah siap ke dokter?”
Arunika mengangguk cepat. “Iya! Aru mau lihat adek lagi di TV itu!”
Selena tertawa pelan. “Di USG, sayang… bukan TV.”
Daren mendekati istrinya dan mengecup keningnya. “Kamu gimana? Perutnya masih kenceng?”
Selena menggeleng pelan. “Udah mendingan, Mas. Tadi sempat agak nyut-nyutan, tapi sekarang udah nggak.”
Namun Daren masih memperhatikannya dengan tatapan khawatir.
“Kita berangkat sekarang ya, sayang. Biar cepat dapat antrian.”
Selena mengangguk sambil merapikan tas kecilnya.
---
Mobil melaju pelan. Sambil menyetir, Daren sesekali melirik Selena yang duduk di kursi penumpang sambil mengusap lembut perutnya.
“Ada yang sakit?” tanya Daren hati-hati.
“Enggak, Mas. Cuma… rasanya penuh aja,” jawab Selena sambil tersenyum tipis.
Arunika dari kursi belakang tiba-tiba bersuara,
“Mamah, Aru boleh pilih nama buat adek nggak?”
Selena dan Daren saling pandang dan tertawa.
“Boleh banget,” jawab Selena.
Arunika tampak berpikir keras. “Kalau cowok… namanya Donut. Kalau cewek… namanya Jelly.”
Selena hampir tersedak tawa.
Daren sampai menepuk dahinya sambil menahan senyum.
“Adek bayi bukan makanan, Nak,” ucap Daren dengan sabar.
“Tapi Aru suka donut, yah…” gumam Arunika kecewa.
Selena menoleh ke belakang sambil tersenyum lembut.
“Nanti kita pikir bareng ya, sayang.”
Tawa kecil itu mencairkan rasa cemas Selena, meski dalam hatinya, ia masih menyimpan sedikit kekhawatiran yang tak ingin ia tunjukkan kepada Daren.
---
Sesampainya di rumah sakit, Daren dengan sigap membuka pintu mobil untuk Selena, bahkan memegang lengannya agar seimbang.
Selena hanya bisa menggeleng kecil melihat perhatian berlebih suaminya, tapi juga merasa hangat.
Setelah mengambil nomor antrian, mereka duduk menunggu di ruang tunggu.
Arunika duduk di pangkuan Selena, sementara Daren duduk di samping mereka sambil memijat pelan punggung istrinya.
“Mas…” Selena menyenggolnya pelan.
“Sayang banget sih sama aku hari ini. Kayak aku mau lahiran aja.”
Daren menatapnya serius.
“Kalau soal kamu sama dedek, aku emang lebay. Biarin.”
Selena tertawa kecil, tapi hatinya berdebar.
Ia mencintai lelaki ini lebih dari yang bisa ia ungkapkan.
Namun sebelum ia sempat menjawab, pintu ruang USG terbuka dan seorang perawat memanggil,
“Selena Maheswara?”
Mereka bertiga berdiri.
Daren meraih tangan Selena dan mengecupnya singkat.
“Ayo, sayang. Kita lihat dedek.”
Selena tersenyum—campuran gugup dan bahagia.
Ia tidak tahu hasilnya nanti bagaimana.
Apakah semuanya baik-baik saja?
Atau justru ada hal lain yang harus mereka perhatikan?
Namun satu hal pasti—
ia tidak sendirian.
Tangan Daren menggenggamnya erat, seolah berkata: Apa pun hasilnya, kita hadapi sama-sama.
Pemeriksaan sudah selesai dan kata dokter semuanya sehat. Untuk masalah jenis kelamin, Selena dan Daren memutuskan untuk melihatnya nanti jika kandungan Selena sudah memasuki bulan ke tujuh.
Setelah selesai mereka pulang ke rumah, tapi sebelum itu Arunika ingin mampir dulu ke kedai es krim ke sukaannya dan Daren mengizinkannya.
---
Weekend pun tiba — hari yang sejak awal minggu paling Arunika tunggu.
Dan seperti janjinya, hari ini Daren akan mengajak keluarga kecilnya pergi ke kebun binatang.
Pagi itu, rumah mereka sudah riuh oleh suara langkah kecil Arunika yang berlari ke sana kemari. Gadis kecil itu sudah tampil rapi sejak matahari baru naik. Rambutnya dikuncir dua, pipinya merona karena terlalu bersemangat.
Outfit-nya hari ini?
Dress kuning bermotif bunga kecil, dipadukan dengan jaket jeans mungil, kaus kaki warna pastel, dan sepatu putih kesayangannya.
Arunika berputar di depan cermin lalu mendekati Selena yang sedang mempersiapkan botol minuman dan camilan.
“Mamah! Aru udah cantik belum?” tanyanya sambil berkacak pinggang, meniru gaya model cilik.
Selena terkekeh pelan. “Masya Allah… cantik banget. Adek bayi di perut Mama sampai iri liatnya.”
Arunika memanyunkan bibir. “Jangan iri dong, Mah… kan nanti adek juga bisa jalan-jalan ke kebun binatang.”
Selena mengusap rambut putrinya dengan lembut.
“Kalau dedeknya udah lahir, iya.”
Tak lama, Daren turun dari lantai atas dengan kamera di tangan.
“Wah! Siapa nih princess paling cantik yang mau lihat gajah hari ini?” ucapnya sambil membuka kedua tangan.
Arunika langsung berlari memeluk ayahnya.
“Aru! Aru mau lihat gajah, singa, panda, jerapah, sama monyet! Semua!”
Daren tertawa pelan. “Ya ampun, kuat nggak kakinya keliling satu hari?”
“Aru kuat! Ayah juga harus kuat!” jawabnya sambil menunjuk dada Daren kecil-kecilan.
Selena menahan tawa melihat suaminya kalah tegas oleh anak kecil.
---
Beberapa menit kemudian, keluarga kecil itu siap berangkat.
Selena memakai cardigan tipis, perutnya yang membesar tampak jelas, dan Daren tak henti memastikan semuanya aman.
“Air minum udah?”
“Udah.”
“Cemilan?”
“Masukin sini.”
“Tisu basah?”
“Ada.”
“Sunblock buat Aru?”
“Udah kok.”
Daren mengambil napas lega, tapi Selena hanya tersenyum sambil menepuk lengannya.
“Mas, kita ke kebun binatang, bukan camping seminggu,” godanya.
Daren menggaruk tengkuk. “Ya biarin, aku nggak mau ada yang kurang.”
Selena memandangi suaminya — hangat, bertanggung jawab, dan selalu berusaha hadir sepenuhnya untuk mereka.
---
Dalam perjalanan, Arunika tak bisa duduk diam.
“Ayah, nanti kita lihat singa dulu yaaa!”
“Boleh.”
“Tapi Aru takut kalau singanya gede banget…”
“Lah… tadi mau lihat duluan?”
Arunika terdiam sebentar, lalu menjawab, “Kalau ayah gendong Aru, Aru nggak takut.”
Daren tertawa. “Oke, nanti ayah gendong.”
Selena memandang melalui kaca spion dan ikut tersenyum.
Hari itu, semuanya terasa ringan. Tidak ada ketegangan, tidak ada pikiran buruk.
Hanya mereka bertiga — Daren, Selena, dan Arunika — menikmati hari yang hangat sebelum si kecil lahir.
Selena mengusap perutnya pelan.
“Ayah, dedek juga mau diajak liat gajah nggak?” tanya Arunika tiba-tiba.
Selena terkekeh. “Gajahnya didengerin dulu dari perut Mama ya.”
Arunika menempelkan telinganya ke perut Selena.
“Dedeek… mau liat gajah nggak?”
Selena dan Daren saling pandang, lalu tertawa bersamaan.
---
Setibanya di kebun binatang, Arunika hampir tak bisa menahan diri.
Matanya membesar, langkahnya cepat, dan tangannya menarik tangan Daren kiri-kanan.
“AYAAAH! Ituuu jerapah! Tinggi banget!”
“Ayaaaah liat! Flamingo pink!!”
“Buuuu! Ada monyet joget!”
Selena berjalan pelan agar tidak terlalu lelah, sementara Daren berkali-kali mengangkat Arunika agar ia bisa melihat binatang dari dekat.
Tak jarang, para orang tua lain memandangi mereka sambil tersenyum — pasangan muda yang sangat harmonis, dengan anak kecil yang ceria.
Ketika mereka tiba di area gajah, Arunika memekik kecil.
“Gede banget yah!! Ayah liat! AYAH!”
Daren tertawa. “Iyaaa, ini gajah, bukan kucing.”
Selena berdiri di samping, memijat sedikit pinggangnya yang mulai pegal.
“Kamu capek?” tanya Daren langsung tanggap.
“Masih aman,” jawab Selena sambil tersenyum.
Daren meraih tangannya, menggenggam lembut.
“Habis ini kita cari tempat duduk ya, Sel.”
Arunika memprotes pelan.
“Tapi Aru belum liat panda…”
“Nanti,” jawab Daren sambil mengelus kepala Arunika.
“Kita istirahat dulu sebentar.”
Aru langsung mengangguk manis. “Oke. Tapi nanti ayah harus foto Aru sama panda ya!”
“Siap.”
---
Hari itu berjalan hangat, penuh tawa, penuh foto-foto lucu yang Daren abadikan.
Selena tidak hanya merasa bahagia—ia merasa aman.
Dengan Daren dan Arunika di sampingnya, dunia terasa sangat baik.
Dan tanpa mereka sadari, momen kecil seperti ini…
adalah kenangan yang suatu hari akan selalu mereka kenang sebagai hari paling sederhana, tetapi paling berharga.
---
Gimana bab hari ini? Seru gak?