NovelToon NovelToon
SHIRAYUKI SAKURA

SHIRAYUKI SAKURA

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi / Fantasi Isekai / Fantasi / Anime / Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Reinkarnasi
Popularitas:299
Nilai: 5
Nama Author: IΠD

Shirayuki Sakura adalah dunia fantasi medieval yang bangkit di bawah kepemimpinan bijaksana Araya Yuki Yamada. Kisah intinya berpusat pada Ikaeda Indra Yamada ("Death Prince") yang bergumul dengan warisan gelap klannya. Paradoks muncul saat Royal Indra (R.I.) ("Destroyer") dari semesta lain terlempar, menyadari dirinya adalah "versi lain" Ikaeda. R.I. kehilangan kekuatannya namun berperan sebagai kakak pelindung, diam-diam menjaga Ikaeda dari ancaman Lucifer dan trauma masa lalu, dibantu oleh jangkar emosional seperti Evelia Namida (setengah Gumiho) dan karakter pendukung lainnya, menggarisbawahi tema harapan, kasih sayang, dan penemuan keluarga di tengah kekacauan multidimensi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IΠD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Orion Kingdom

Di tengah hiruk pikuk ibukota Benua, Ikaeda, dengan langkah mantapnya, tiba di kantor pusat administrasi. Pikirannya kosong dari tugas-tugas harian, murni mencari ketenangan sejenak. Namun, saat ia melangkah masuk ke ruang kerja sang Pemimpin Benua, ia disambut oleh Ibunya, Araya, dan seorang wanita lain yang berdiri di sampingnya.

Wanita itu memiliki aura keanggunan yang kuat, rambut hitam panjang yang indah, dan mengenakan gaun biru-emas yang memancarkan kesan berwibawa.

"Selamat datang, Nak," sambut Araya dengan senyum lembut, menunjuk ke kursi di hadapan meja kerjanya. "Silakan duduk. Kita punya tamu istimewa."

Ikaeda mengangguk dan mengambil tempat. Ia menatap wanita di sebelah Ibunya, menunggu perkenalan resmi.

"Ini adalah Veronica," Araya melanjutkan, nadanya penuh rasa hormat. "Seorang veteran, kawan lama yang tak ternilai harganya. Dialah salah satu yang paling berjasa membantuku meruntuhkan Kerajaan tirani dan membawa kedamaian ke benua ini. Sekarang, ia mengabdikan dirinya untuk mengelola panti asuhan."

Ikaeda membungkuk hormat, sesuai etika yang diajarkan Ibunya sejak kecil. "Sebuah kehormatan bertemu dengan Anda."

Veronica membalas dengan anggukan ramah. "Terima kasih atas sambutanmu."

Setelah keheningan singkat, Veronica mengambil alih pembicaraan. "Aku ingin bertemu seseorang. Seseorang dari masa lalu yang kuharap masih ada. Namun, aku tidak tahu pasti di mana ia berada. Petunjuk terakhir yang kumiliki sangat samar."

Ikaeda merasa sedikit bingung. "Mencari seseorang? Di mana perkiraan lokasi terakhirnya?"

Araya terkekeh pelan, tawa yang lembut namun penuh makna. "Nah, di situlah letak tantangannya."

Ikaeda menyadari bahwa Ibunya sudah selangkah di depan. Araya selalu begitu; merencanakan, menganalisis, dan menyusun strategi jauh sebelum masalah muncul di permukaan.

"Aku telah mengatur agar kau membantu Veronica berlayar, Nak," ujar Araya, pandangannya beralih ke putranya. "Kau akan menuju ke suatu tempat. Jauh di balik kabut timur, sebuah tempat yang misterius. Mereka menyebutnya Orion. Sebuah kerajaan kuno yang menyimpan begitu banyak rahasia."

"Orion?" Ikaeda mengernyitkan dahi. "Tempat itu hanya ada dalam legenda kuno, Ibu. Apakah benar-benar ada?"

"Memang ada," jawab Araya, suaranya kini kembali serius. "Legenda terkadang hanya sejarah yang dibumbui."

Veronica menatap Ikaeda dengan rasa bersalah. "Semoga aku tidak membebani tugas Pemimpin Benua dengan perjalanan pribadiku ini."

Araya melambaikan tangannya dengan santai. "Tidak masalah, Veronica. Justru aku senang sekali jika dia sedikit terbebani. Itu bagus untuk pertumbuhannya." Ia tersenyum jahil, sebuah candaan khas seorang ibu.

Araya kemudian beranjak dari kursinya, berjalan mendekat ke Ikaeda dan menepuk bahunya. "Kau akan berangkat bersama Veronica besok pagi. Persiapkan dirimu, Nak. Dan jangan lupakan tugasmu sebagai utusanku."

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Setelah perbincangan usai, Ikaeda undur diri dari ruangan pribadi Ibunya. Langkahnya membawanya keluar dari lorong-lorong megah istana, menuju sebuah balkon luas yang menghadap ke pemandangan kota di bawah. Langit di atasnya terbentang biru jernih, dihiasi awan-awan putih yang berarak perlahan.

Ia menyandarkan kedua tangannya di pagar pembatas, pandangannya menerawang jauh ke horison. Hembusan angin menerpa wajahnya, sedikit mengacak-acak rambut hitamnya. Sebuah gumaman pelan meluncur dari bibirnya, lebih ditujukan pada dirinya sendiri daripada pada siapa pun.

"Orion... sebuah kerajaan misterius yang hanya ada dalam dongeng." Ia terdiam sejenak, memikirkan kembali ucapan Ibunya. "Ibuku... dia selalu punya cara untuk mengejutkanku."

Ia teringat akan aura Veronica, ketenangan yang terpancar dari wanita itu, namun juga menyimpan kekuatan tersembunyi. "Veronica... seorang veteran perang yang kini mengelola panti asuhan, mencari seseorang dari masa lalu di tempat yang tak banyak diketahui."

Ikaeda mendesah pelan. "Sebuah perjalanan yang tidak biasa. Aku bertanya-tanya, apa yang sebenarnya Ibu harapkan dariku kali ini? Apakah ini hanya sekadar membantu seorang kawan lama, atau ada tujuan lain yang lebih besar?"

Ia kemudian mengepalkan tangannya di pagar. "Apapun itu, aku akan melaksanakannya." Keyakinan terpancar di matanya. "Jika memang Orion itu ada, dan menyimpan misteri, maka aku akan mengungkapnya."

Ia mengangkat kepalanya, menatap ke arah matahari yang bersinar terang. "Besok pagi... petualangan baru menanti." Tekadnya bulat. Ia akan mempersiapkan diri untuk perjalanan ke tempat yang tak terjamah itu, sebuah tempat yang mungkin akan mengubah pandangannya tentang dunia.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Fajar menyingsing di ufuk timur, mewarnai langit dengan spektrum jingga dan emas. Di pelabuhan utama Benua, sebuah kapal layar berukuran sedang telah bersiap untuk dilepaskan dari tambatannya.

Ikaeda berdiri di geladak, mengenakan pakaian perjalanan yang ringkas namun elegan, berbeda dari setelan formalnya sehari-hari. Ia mengawasi para awak kapal yang sibuk menyesuaikan layar dan tali-temali. Di sampingnya, Veronica juga tampak siap, gaun birunya sedikit berganti dengan jubah pelayaran yang lebih praktis.

Setelah semua persiapan rampung, jangkar diangkat, dan kapal perlahan meninggalkan dermaga, didorong oleh angin pagi yang lembut.

Saat daratan mulai mengecil di kejauhan, mereka berdua duduk di buritan kapal, membiarkan deburan ombak menjadi latar belakang percakapan mereka.

"Pelayaran yang tenang sejauh ini," ujar Veronica, menatap hamparan lautan luas. "Terima kasih atas bantuanmu, Ikaeda. Aku menghargai waktumu."

"Ini adalah tugas kehormatan bagiku," jawab Ikaeda. "Lagipula, aku tidak sering mendapat kesempatan untuk berlayar ke tempat sejauh ini." Ia mengambil jeda sejenak. "Veronica, ada satu hal yang membuatku penasaran. Mengingat latar belakang Anda sebagai veteran perang, mengapa Anda memilih untuk mendirikan dan mengelola panti asuhan?"

...

...

Veronica tersenyum, senyum yang membawa sedikit rasa melankolis. "Dunia ini dibangun di atas konflik, Ikaeda. Aku telah melihat terlalu banyak darah tertumpah, terlalu banyak keluarga yang hancur. Anak-anak yang kehilangan orang tua mereka dalam perang, bahkan perang yang berujung pada kebebasan, tetaplah korban."

Ia melanjutkan, "Aku ingin memastikan bahwa generasi berikutnya, yang lahir setelah tirani berakhir, memiliki tempat yang aman untuk tumbuh. Mereka adalah harapan kita. Memberi mereka masa depan adalah cara terbaik untuk menghormati pengorbanan masa lalu."

Ikaeda mengangguk, terkesan. "Itu adalah motivasi yang sangat mulia."

Setelah beberapa saat menikmati kesunyian, Veronica ganti bertanya, "Sekarang giliranku. Engkau adalah putra dari seorang Pemimpin Benua yang telah melakukan hal-hal luar biasa. Sebagai putranya, bagaimana penilaianmu terhadap Ibumu, Araya Yuki Yamada, sebagai seorang penguasa?

Ikaeda merenung sejenak, menimbang kata-katanya. "Ibuku... dia adalah misteri yang hidup. Sebagai penguasa, dia adalah perpaduan antara kebijaksanaan dan ketegasan. Dia tidak memerintah dengan emosi, tetapi dengan perhitungan dan visi jangka panjang."

"Dia telah membawa Benua ke tingkat kemakmuran yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Rakyat menghormatinya, bahkan mungkin sedikit takut padanya, karena mereka tahu kekuatan dan rencana besarnya."

Ia menatap Veronica dengan pandangan yang dalam. "Namun, bagiku, dia adalah seorang Ibu yang selalu selangkah lebih maju. Aku sering merasa dia menyembunyikan rencananya dariku, tetapi aku tahu itu demi kebaikanku, dan mungkin, demi melindungi identitasku dari bahaya yang belum aku pahami sepenuhnya."

Veronica tersenyum tipis. "Sama seperti dulu. Dia selalu menyimpan kartunya di dekat dada. Seorang pemimpin yang hebat memang harus demikian, terutama setelah mengalahkan musuh sekuat Kerajaan tirani. Aku hanya bisa membayangkan betapa sulitnya menjaga kedamaian yang telah diperjuangkan dengan susah payah."

"Tepat," sahut Ikaeda. "Dia adalah penjaga kedamaian ini, dan aku harus bersiap untuk membantunya, dengan cara apa pun yang dia butuhkan."

Kapal terus berlayar, membelah ombak, membawa dua sosok yang berbeda namun terikat oleh masa lalu dan masa depan Benua, menuju misteri yang bernama Orion.

.

.

.

.

.

Percakapan mereka berlanjut, beralih dari urusan Benua ke hal-hal yang lebih pribadi. Veronica memandang Ikaeda, seolah mencoba memahami isi hatinya yang tersembunyi di balik sikapnya yang tenang.

"Aku perhatikan engkau adalah seorang pemuda yang sangat fokus," ujar Veronica. "Engkau memiliki tanggung jawab besar di pundakmu. Namun, aku ingin tahu, sudah berapa banyak kawan yang kau miliki dalam lingkaranmu?"

Ikaeda menatap ombak yang berkejar-kejaran di samping kapal. Ekspresinya sedikit melunak. "Aku memiliki banyak kenalan, Veronica. Anggota dewan, para bangsawan muda, bahkan beberapa pemimpin unit. Aku mengenal mereka, dan mereka mengenalku."

Ia menghela napas pelan. "Namun, untuk kawan sejati, yang memiliki ikatan tulus... aku harus jujur. Aku tidak memiliki ikatan yang dalam dengan siapa pun. Mereka hanya sekadar mengenaliku, bukan diriku yang sebenarnya. Jadi, meskipun dikelilingi banyak orang, aku sering merasa kesepian."

"Aku tidak suka dianggap sebagai 'anggota kerajaan' atau diposisikan lebih tinggi dari yang lain. Aku bahkan menolak dikawal seperti yang dilakukan anggota keluarga penguasa lainnya," tambahnya dengan nada sedikit kesal. "Aku berpikir, jika aku bertindak seperti orang biasa, mungkin aku akan mendapatkan kawan yang tulus."

"Kenyataannya, aku sama sekali tidak mendapatkannya. Mereka tetap memandangku dengan canggung, atau mengharapkan sesuatu dariku. Aku hanya ingin menjadi orang biasa, sekalipun Ibuku adalah Pemimpin Benua."

Ikaeda menunduk, matanya menatap geladak kapal. "Banyak juga yang mengatakan ekspresiku terlalu dingin. Mungkin itu yang menjauhkan mereka."

Veronica mendengarkan dengan penuh perhatian. Setelah Ikaeda selesai, ia tersenyum tipis, sebuah senyum yang hangat dan penuh pengertian, seolah melihat kembali dirinya di masa lalu. Ia kemudian perlahan-lahan mengangkat tangannya dan mengelus puncak kepala Ikaeda dengan lembut, sebuah gerakan yang mengejutkan tetapi menenangkan.

"Dengarkan aku, Ikaeda," kata Veronica dengan suara lembut namun tegas. "Engkau adalah putra Araya. Itu adalah kebenaran yang tidak dapat kau ubah. Kau telah mewarisi kekuasaan dan tanggung jawab yang besar. Mereka tidak melihatmu sebagai dirimu, tetapi sebagai cerminan dari otoritas yang kau wakili."

Ia menarik tangannya dan menatap Ikaeda lurus di mata. "Kesepian adalah harga yang harus dibayar oleh mereka yang ditakdirkan untuk memimpin, Nak. Namun, jangan biarkan itu menjadi kutukanmu."

"Engkau merasa dingin, karena engkau membangun tembok. Tembok itu melindungi kelemahanmu, tetapi juga mencegah kehangatan masuk. Kau tidak bisa memaksa orang untuk melihatmu sebagai 'orang biasa' ketika takdirmu jauh dari kata biasa."

"Alih-alih menyalahkan diri sendiri atau orang lain, terimalah fakta ini: engkau berbeda. Dan tidak apa-apa menjadi berbeda. Kawan sejati tidak dicari, Ikaeda. Mereka ditemukan, dan itu terjadi pada waktu yang paling tidak terduga, seringkali dalam kesulitan dan misi berbahaya seperti yang sedang kita hadapi ini."

"Fokuslah pada dirimu. Jadilah dirimu yang jujur, tanpa peduli bagaimana orang lain melihat statusmu. Kawan sejati akan melihat melampaui gelar 'putra Pemimpin Benua' dan menemukan 'Ikaeda' yang sebenarnya."

Ikaeda mendengarkan setiap kata. Kehangatan sentuhan dan ketulusan nasihat Veronica terasa menembus kekakuannya. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa sedikit lebih ringan.

"Terima kasih, Veronica," bisiknya, sebuah rasa hormat yang mendalam terpancar di matanya.

.

.

.

.

Veronica tersenyum tipis mendengar ucapan terima kasih Ikaeda. Ia mengangguk pelan, sebuah gumaman lirih terucap dalam benaknya.

"Meskipun ekspresinya sedingin es dan sikapnya begitu formal, ternyata dia imut juga saat sedang jujur dengan perasaannya. Araya benar, anak ini hanya butuh sedikit dorongan."

Waktu terus berjalan. Kapal mereka membelah lautan selama beberapa jam lagi, hingga siang mulai berganti sore. Langit mulai diselimuti kabut tipis yang aneh, dan udara di sekeliling kapal mendadak terasa dingin, jauh lebih menusuk daripada angin laut biasa.

Para awak kapal mulai gelisah.

"Kapten, hawa di sini aneh sekali! Apakah kita sudah mendekati batas luar Orion?" seru salah seorang pelaut.

Veronica dan Ikaeda berdiri di haluan, pandangan mereka menembus kabut. Tiba-tiba, kabut seolah tersingkap oleh kekuatan tak kasat mata, menampakkan pemandangan yang membuat napas tertahan.

Di tengah lautan yang gelap, berdiri tegak sebuah struktur megah yang tak terlukiskan: Istana Orion.

Istana itu bukan hanya bangunan, melainkan sebuah formasi batu dan menara-menara gelap yang menjulang tinggi, seolah tumbuh langsung dari dasar laut. Cahaya matahari yang redup hanya mampu menyentuh puncaknya, meninggalkan bagian bawahnya dalam bayangan yang menyeramkan. Seluruh arsitekturnya memancarkan aura kuno dan terasing, seolah tidak seharusnya berada di dunia yang mereka kenal.

Hawa dingin yang menusuk tadi kini terasa seperti cengkeraman. Dinginnya bukan hanya suhu, tetapi rasa ngeri yang merayap di kulit dan tulang.

Ikaeda, yang biasanya memancarkan ketenangan absolut, terlihat sedikit gemetar. Tanpa sadar, ia merapatkan jubahnya dan melipat kedua tangannya di dada, gerakan refleks yang menunjukkan rasa kengerian yang mendalam hanya dengan melihat wujud istana dari kejauhan.

Veronica melirik Ikaeda yang berdiri di sebelahnya. Meskipun Ikaeda berusaha menyembunyikannya, ia melihat dengan jelas bagaimana Ikaeda terlihat memeluk dirinya sendiri, seolah mencoba menahan hawa menusuk yang ia rasakan.

"Inikah... Orion?" bisik Ikaeda, suaranya sedikit tercekat, tidak seperti biasanya. "Hawa ini... terasa salah. Dinginnya bukan seperti alam."

Veronica mengangguk, matanya menajam, penuh kewaspadaan. "Ya, ini dia. Energi tempat ini berbeda, Ikaeda. Penuh dengan kekuatan kuno yang tidak dijamah oleh waktu. Jangan pernah meremehkan apa yang tersembunyi di balik legenda."

Ia menatap Ikaeda dengan ekspresi prihatin. "Bersiaplah, Nak. Kita baru saja tiba di ambang misteri. Pegang pedangmu erat-erat, dan jangan biarkan rasa dingin itu mematikan akal sehatmu."

.

.

.

.

.

Kapal perlahan merapat ke dermaga tua yang terbuat dari batu hitam di kaki Istana Orion. Dermaga itu tampak terlantar, diselimuti lumut dan terasa sangat dingin. Ketika papan titian diturunkan, keheningan mencekam menyambut mereka.

Kapten kapal, dengan wajah pucat dan mata penuh kekhawatiran, menghampiri Veronica. "Nyonya, kami hanya bisa mengantar sampai sini. Hawa di tempat ini tidak baik untuk kami. Kami akan menunggu di luar kabut terluar dan kembali menjemput sesuai perjanjian."

"Aku mengerti," jawab Veronica dengan tenang. Ia tampak tidak terpengaruh oleh suasana mencekam itu. "Keselamatan kalian adalah prioritas. Kalian boleh pergi."

Setelah mengucapkan salam perpisahan singkat, Veronica dan Ikaeda melangkah ke atas dermaga batu. Dalam beberapa menit, kapal mereka segera menjauh, menghilang kembali ditelan kabut tebal, meninggalkan mereka berdua sendirian di ambang misteri.

Veronica memandang sekeliling, matanya menelisik setiap sudut Istana Orion yang menjulang. "Keheningan ini... aku sudah terbiasa dengan tempat-tempat yang ditinggalkan oleh waktu. Keberanian datang dari pengalaman, Ikaeda. Sekarang, fokuslah pada misi kita."

"Baik, Veronica," jawab Ikaeda, berusaha keras meredam sisa-sisa kengeriannya. Ia mencengkeram gagang pedangnya.

Veronica mengangguk dan mulai berjalan memimpin jalan menuju gerbang Istana. Namun, setelah beberapa langkah, ia berhenti.

"Lihat ini," katanya, menunjuk ke tanah.

Di sepanjang bebatuan, mereka melihat sesuatu yang sangat ganjil. Tersebar di mana-mana, membentang dari gerbang istana hingga ke tepi dermaga, adalah jaringan kusut benang-benang merah yang sangat tipis. Benang-benang itu seolah merambat, seperti akar yang bergerak, membentuk pola-pola rumit di tanah.

"Benang apa ini?" tanya Ikaeda, mendekat dengan hati-hati.

Veronica berlutut, meraih salah satu benang merah itu. Ia mendekatkannya ke hidungnya. Ekspresinya mendadak berubah menjadi tegang.

"Benang ini... bukan kain biasa," gumamnya. Ia lalu menarik napas dalam-dalam. "Aku mencium... aroma darah yang samar. Ini bau yang sangat samar, Ikaeda, tetapi aku tahu betul aroma darah kering."

Ikaeda ikut mendekat, memeriksa benang tersebut dengan saksama di bawah cahaya remang-remang. Saat ia meneliti benang itu lebih dekat, ia menyadari sesuatu yang mengerikan.

"Veronica, perhatikan ini," kata Ikaeda, menunjuk ke bagian benang yang sedikit lebih tebal. "Jika diteliti, benang merah ini tampak... mengalir. Ada cairan yang bergerak di dalamnya. Seolah-olah benang ini bukan serat, melainkan... urat nadi yang sangat tipis."

Veronica memutar benang itu di antara jari-jarinya. "Engkau benar. Benang ini membawa sesuatu. Dan jika baunya adalah darah, maka benang-benang ini mungkin adalah jalur kehidupan, atau... jalur dari sesuatu yang telah dikorbankan."

Pandangan mereka kembali mengarah ke Istana Orion. Jaringan benang merah itu semuanya bermuara ke gerbang utama istana, seolah seluruh tempat itu diselimuti oleh jaring laba-laba darah.

"Istana ini... hidup dengan cara yang mengerikan," ujar Ikaeda, suaranya kembali dingin dan penuh kewaspadaan.

"Mari kita lanjutkan," kata Veronica, berdiri tegak. "Jika benang-benang ini adalah petunjuk, kita harus ikuti sumbernya. Ingat, Ikaeda, di tempat seperti ini, jangan percaya pada apa pun yang terlihat normal."

.

.

.

.

.

.

.

.

Mereka melanjutkan perjalanan singkat dari dermaga. Tak butuh waktu lama, mereka tiba di batas sebuah pemukiman yang terbentang di kaki Istana Orion. Ini adalah sebuah kota.

Namun, kota ini terasa hampa.

Struktur bangunan-bangunan di sana terbuat dari batu-batu gelap yang sama dengan istana, tetapi dengan desain yang lebih sederhana dan padat. Yang paling mencolok adalah fenomena yang mereka amati di dermaga: jaringan benang-benang merah telah merayap ke mana-mana, kini meliputi seluruh kota.

Setiap rumah, setiap bangunan, setiap batang pohon yang mati, bahkan setiap tiang lampu jalan yang terbuat dari batu, semuanya terhubung oleh benang-benang tipis yang berkelindan. Benang-benang itu melintasi udara seperti jaring-jaring laba-laba raksasa yang tak terlihat, saling menyambung dan akhirnya mengarah ke puncak Istana Orion di atas.

"Lihatlah ini," bisik Ikaeda, matanya menatap tajam ke sekeliling. "Setiap hal di sini terikat. Ini seperti... seluruh kota ini adalah sebuah organ yang terhubung."

Yang lebih aneh lagi, tidak ada tanda-tanda kehidupan. Pintu-pintu rumah tertutup, jendela-jendela gelap, dan tidak ada satu pun suara. Tidak ada pedagang, tidak ada anak-anak bermain, bahkan tidak ada binatang liar. Kota itu benar-benar kosong.

"Tidak ada penduduk," ujar Ikaeda, sedikit menaikkan kewaspadaannya. "Benang-benang ini... dan keheningan ini. Ada yang tidak beres di sini."

Veronica menghentikan langkahnya, tangannya terangkat memberikan isyarat kepada Ikaeda untuk berhenti. Wajahnya serius, matanya yang tajam meneliti setiap gerakan samar di benang-benang itu.

"Jangan pernah menyentuh benang-benang itu, Ikaeda," perintah Veronica dengan suara rendah dan tegas. "Aku tidak yakin apa fungsinya, tetapi jika mereka mengalirkan sesuatu yang berbau darah, mereka mungkin adalah sistem peringatan, atau bahkan sumber daya dari entitas yang mengendalikan tempat ini."

Ikaeda mengangguk, mundur selangkah dari benang yang melintasi jalan di hadapannya. "Baik. Aku akan berhati-hati."

Veronica kini memfokuskan pandangannya ke atas, ke arah Istana Orion yang agung dan menakutkan, tempat semua benang merah itu bermuara.

"Benang-benang ini adalah jaringan saraf kota ini, dan pusatnya ada di sana," kata Veronica, menunjuk ke istana. "Jika kita ingin menemukan orang yang kucari, atau mengungkap misteri ini, kita harus menuju ke sumbernya."

"Ini bukan hanya sebuah reruntuhan, Ikaeda. Tempat ini... diawasi. Kita harus bergerak hati-hati dan tanpa menarik perhatian apa pun."

.

.

.

.

.

.

.

Di dalam salah satu menara paling tinggi di Istana Orion, tempat semua benang merah bermuara, terdapat sebuah ruangan luas yang diterangi oleh cahaya merah remang-remang. Di sana, seorang wanita dengan rambut hitam pendek yang rapi, mengenakan pakaian gelap yang elegan dan memegang sebuah buku tebal, duduk di singgasana batu yang diukir rumit.

Wanita itu tampak anggun, tetapi tindakannya sangatlah mengerikan.

...

...

Di tangannya, ia memegang sebuah piala kristal yang berisi cairan merah pekat. Di hadapannya, berlutut seorang penduduk kota yang terlihat kuyu dan tak berdaya, matanya kosong, tetapi wajahnya menunjukkan ekspresi kesakitan yang membeku.

Wanita itu menyesap minumannya dengan gerakan yang halus.

"Sungguh rasa yang kaya," gumamnya, bibirnya membentuk senyuman lembut namun dingin. "Keterikatan yang tulus dari benang-benang ini benar-benar memberikan esensi terbaik. Jiwa yang patuh, darah yang terkendali."

Ia tertawa pelan, tawa yang merdu namun penuh keangkuhan. Tawa itu bergema pelan di dalam menara.

"Kau beruntung, wahai penduduk kota," katanya kepada sosok yang berlutut di hadapannya, suaranya seperti bisikan mematikan. "Pengorbananmu tidak sia-sia. Kau akan menjadi bagian dari jaringan yang abadi, menyokong kebangkitan yang telah lama kutunggu."

Wanita itu kemudian memeras pergelangan tangan penduduk itu, dan cairan merah kental keluar, mengalir langsung ke benang-benang merah yang terhubung ke tubuh orang itu dan merambat ke lantai.

Ia mendongak, matanya yang merah menyala menatap langit-langit, seolah melihat menembus atap Istana.

"Sedikit lagi," gumamnya pada dirinya sendiri, menikmati tetesan terakhir dari piala itu. "Sedikit lagi, dan ritualnya akan sempurna. Semua benang di kota ini akan terajut, dan aku... akan mencapai puncaknya sebagai Sang Dewi yang agung, berkuasa di atas para penguasa dunia lama."

Ia meletakkan piala kosong itu di sandaran singgasana, pandangannya beralih ke pintu masuk Istana yang sangat jauh di bawah sana. Sebuah senyum sinis muncul di wajahnya.

"Ada gangguan. Dua jiwa asing telah memasuki jaringanku. Satu terasa familiar, dan satu lagi... memiliki benih kekuatan yang menarik. Mereka akan menjadi tambahan yang bagus untuk ritual agung ini."

Sementara itu, Ikaeda dan Veronica telah melangkah lebih jauh ke dalam kota mati itu, terus mengikuti alur benang-benang merah.

"Benang-benang ini semakin padat," bisik Veronica, saat mereka melewati sebuah pasar kosong. "Tekanannya semakin kuat saat kita mendekati istana."

Ikaeda mengangguk. "Aku merasakan hawa dingin yang lebih tajam. Ini terasa seperti peringatan."

"Ini bukan peringatan, Ikaeda," koreksi Veronica, matanya menyipit penuh waspada. "Ini adalah kehadiran. Kita sudah terdeteksi. Sesuatu di istana itu tahu kita ada di sini."

Tiba-tiba, suara tawa yang lembut namun menusuk terdengar samar-samar, terbawa oleh angin dari puncak Istana. Tawa itu dipenuhi kekejaman yang tersembunyi.

Veronica segera menarik Ikaeda ke balik tembok batu. "Diam. Jangan bergerak."

"Kau dengar itu?" tanya Ikaeda, suaranya rendah.

"Ya," jawab Veronica, nadanya penuh ketegasan. "Ada seseorang di puncak menara itu. Seseorang yang sangat kuat, dan... dia sedang bermain-main dengan kita."

Veronica kini memandang Istana Orion dengan ekspresi yang sangat serius, menyadari bahwa mereka telah memasuki jebakan yang lebih berbahaya daripada yang mereka duga. Sosok yang mereka cari mungkin berada di dalam, tetapi tempat ini dikuasai oleh entitas yang jauh lebih jahat.

.

.

.

.

..

.

Di ruang menara, Sang Wanita dengan rambut hitam pendek itu tersenyum puas. Ia mengalihkan pandangannya dari pandangan jauh ke arah pintu, di mana salah satu benang merah terhubung ke sosok yang kini memasuki ruangan.

Sosok itu adalah seorang wanita yang gagah dengan rambut merah panjang berkilauan, mengenakan zirah ringan dan jubah kepahlawanan. Ia memancarkan aura kekuatan, namun matanya tampak kosong, hanya dikendalikan oleh benang merah yang terikat padanya.

Sang Wanita di singgasana mengulurkan tangan kanannya, mengelus wajah wanita berambut merah itu dengan lembut, seperti membelai boneka kesayangan.

"Kau adalah hasil karyaku yang paling sempurna, Tara," bisik Sang Wanita. "Kesetiaanmu, kekuatanmu, kini sepenuhnya milikku."

Ia kemudian menegakkan tubuhnya, mimik wajahnya menunjukkan perintah tegas.

"Pergilah, Tara. Ada dua tamu tak diundang yang sedang menjelajahi tamanku. Sambut mereka. Beri mereka pelajaran bahwa di Orion, hanya ada satu Dewi yang diakui."

Tara mengangguk tanpa ekspresi, pedang panjangnya di sampingnya. Ia berbalik dan melangkah keluar dari menara, menuju kota sunyi di bawah.

Sementara itu, Veronica dan Ikaeda baru saja keluar dari persembunyian mereka, melanjutkan langkah hati-hati menuju gerbang istana.

Tiba-tiba, dari kegelapan sebuah lorong, sesosok wanita muncul. Ia berdiri tegak, memancarkan aura pejuang yang kuat, pedang teracung di tangannya.

Melihat sosok itu, Veronica tertegun. Ekspresi terkejut dan rasa tidak percaya membanjiri wajahnya yang biasanya tenang.

"Tara..." desis Veronica, suaranya tercekat. Ia menjatuhkan kewaspadaannya, mengabaikan bahaya di sekitarnya. "Tidak mungkin... Kau masih hidup?"

Sosok berambut merah itu, Tara, hanya berdiri diam, pedangnya tetap teracung, mengarah lurus ke jantung Veronica. Matanya yang seharusnya memancarkan semangat kini hanya kosong.

Veronica melangkah maju, tangannya terulur dengan harapan. "Tara! Ini aku, Veronica! Sahabatmu! Kita pernah bertarung bahu-membahu. Kita mengira kau tewas dalam pertempuran terakhir melawan tirani. Apa yang terjadi?"

Tara tidak menjawab. Sebaliknya, pedangnya bergerak maju sedikit, sebuah gerakan mengancam tanpa emosi.

"Veronica, hati-hati!" seru Ikaeda, segera menarik pedangnya sendiri. Ia dapat merasakan bahwa aura wanita di hadapannya itu dingin dan tanpa jiwa.

Veronica mengabaikan Ikaeda, fokusnya sepenuhnya pada sosok di depannya. "Tara, kumohon sadarlah! Ingatlah janji kita! Kenapa kau mengacungkan pedangmu padaku?"

Ikaeda menoleh ke Veronica dengan cemas. "Veronica, lihat matanya! Dia tidak merespons! Ada benang merah yang tersembunyi di jubahnya! Dia sudah dikendalikan, sama seperti penduduk kota yang kita lihat!"

Veronica menggelengkan kepalanya dengan panik, air mata mulai menggenang di matanya. "Tidak! Aku tidak percaya! Ini Tara! Dia adalah pejuang terhormat, dia tidak akan pernah menyerah pada kegelapan! Pasti ada cara untuk menyadarkannya!"

"Dia sahabatku, Ikaeda! Aku tidak akan percaya dia sudah tiada! Aku harus menyentuhnya, aku harus membuatnya ingat!" ujar Veronica, melangkah maju, mengabaikan pedang yang semakin dekat.

"Jangan bodoh, Veronica! Mundur!" teriak Ikaeda, Veronica tahu bahwa sahabatnya telah lama hilang dan kini hanya menjadi boneka yang mematikan. Namun, Veronica sudah terlalu larut dalam emosi dan rasa lega yang berubah menjadi kengerian.

.

.

.

.

.

.

.

.

Tepat pada saat ketegangan mencapai puncaknya, ketika Veronica bergerak maju untuk mencoba meraih Tara, sebuah suara yang dingin namun merdu terdengar dari ketinggian, bergema di antara bangunan-bangunan kosong.

Dari salah satu balkon Istana yang menjulang, Sang Wanita yang mengenakan pakaian elegan itu muncul. Ia melangkah anggun di tepian batu, tatapannya yang tajam menembus kegelapan kota.

"Oh? Bagaimana mungkin seorang pemuda yang begitu sopan, putra dari Pemimpin Benua yang terhormat, mengatai seorang wanita dewasa dengan sebutan 'bodoh'?" Suaranya dipenuhi sindiran yang manis.

...

...

Ikaeda mendongak ke atas, matanya bertemu dengan sosok di balkon itu. Seketika, ia merasakan tekanan aura yang jauh lebih besar dan mengerikan daripada hawa dingin di seluruh kota.

Wanita itu tersenyum menyeringai, sebuah ekspresi keji yang kontras dengan parasnya yang menawan. Ia membungkuk hormat secara teatrikal dari ketinggian.

"Perkenalkan diriku. Aku adalah penguasa tempat ini, pemegang jaringan benang kehidupan dan kematian yang kalian lihat. Kalian boleh memanggilku Soyeon, Sang Dewi Kematian."

Ikaeda tertegun. Istilah 'Dewi Kematian' bukanlah sekadar gelar; aura yang dipancarkan Soyeon adalah manifestasi kekuatan ilahi yang gelap.

Di bawah, Veronica mengabaikan pengumuman Soyeon. Ia kini sibuk menangkis serangan Tara yang membabi buta. Pedang Tara, meskipun diayunkan tanpa emosi, memiliki kecepatan dan ketepatan yang mematikan.

Sihir Veronica beradu dengan pedang Tara.

...

...

"Tara! Hentikan ini!" seru Veronica, wajahnya dipenuhi kesedihan dan perlawanan. "Kau tahu ini bukan dirimu! Lawan kendali itu!"

Namun, Tara tetap diam, hanya bergerak sesuai perintah tersembunyi.

Soyeon, dari atas, mengabaikan pertempuran kecil antara kedua wanita itu. Matanya yang merah menyala tertuju sepenuhnya pada Ikaeda, seolah dialah satu-satunya yang menarik perhatian.

"Putra Araya..." gumam Soyeon, nadanya penuh ketertarikan. "Keberanianmu patut dipuji, atau lebih tepatnya, kebodohanmu. Kau memasuki jebakanku dengan sukarela."

Ikaeda menelan ludah. Keringat dingin mulai membasahi dahinya. Ia menyadari betapa parahnya situasi mereka. Aura Soyeon terasa... setara. Sama seperti energi yang ia rasakan dari Ibunya, Araya, hanya saja ini adalah versi yang hitam dan merusak.

Ia bergumam pelan, hampir tidak terdengar, hanya untuk dirinya sendiri, "Bagaimana mungkin ini terjadi... Kenapa aku harus bertemu entitas yang setara dengan Ibuku sendiri di tempat terpencil ini?"

Ikaeda segera mencengkeram gagang pedangnya lebih erat, memaksa dirinya untuk fokus di bawah tatapan mematikan Soyeon dan di tengah suara dentangan pedang antara Veronica dan sahabat lamanya. Pertarungan kini bukan hanya tentang bertahan hidup, tetapi melawan entitas yang melampaui batas kemampuan manusia biasa.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Di sisi lain kota Orion yang sunyi, jauh dari area pertempuran Veronica dan Ikaeda, dua sosok lain tengah bergerak dengan kehati-hatian yang lebih terstruktur.

Sosok wanita yang mengenakan pakaian pemanah yang praktis, dengan busur dan anak panah terpasang di punggungnya, melangkah gesit. Rambutnya disanggul rapi, matanya memancarkan fokus yang tajam, terus mengamati benang-benang merah yang menjangkiti kota.

Di belakangnya, seorang pria berambut merah menyala, mengenakan jubah panjang hitam, berjalan dengan langkah yang tampak malas dan ekspresi keheranan yang tak tersembunyi.

"Senior, kita harus bergerak lebih cepat," ujar wanita itu, Ayunda, nadanya penuh energi. "Benang-benang ini semakin tebal. Kita pasti sudah mendekati pusatnya."

Pria itu mendesah pelan. "Ayunda, bisakah kau santai sedikit? Kau berjalan seolah sedang memimpin barisan di kamp pelatihan, bukan menyusup ke kota yang dikendalikan oleh sihir darah."

Ia melihat sekeliling, raut wajahnya menunjukkan rasa tidak percaya. "Sungguh, aku masih tidak mengerti. Kenapa Araya Yuki Yamada mengirim kita berdua kemari? Aku, yang paling malas bergerak, dan kau, yang energinya bisa menghidupi seluruh Benua."

Ayunda berbalik, menatap Seniornya dengan mata memincing. "Senior, kau dikirim karena keahlianmu dalam menganalisis energi sihir gelap tidak tertandingi. Dan aku dikirim karena aku adalah pemimpin kamp pelatihan. Itu berarti aku tahu cara bertahan hidup di situasi paling buruk sekalipun, tidak sepertimu yang hanya bisa bermalas-malasan di kantor."

"Itu namanya efisiensi energi, Ayunda," balas Seniornya tanpa emosi, melipat tangannya di dada. "Lagipula, Araya jelas sekali tahu bahwa tempat ini berbahaya. Dia mengirim putranya, Ikaeda, bersama Veronica. Kenapa kita harus menjadi tim dukungan yang bergerak secara terpisah? Ini jelas-jelas pekerjaan pengintai tingkat tinggi, bukan tugas piknik."

Ayunda kembali memfokuskan pandangannya ke depan. "Senior, jangan banyak protes. Kita diperintah, maka kita laksanakan. Nyonya Pemimpin Benua pasti punya alasan. Mungkin beliau tidak ingin seluruh kekuatan terbaiknya terkonsentrasi di satu titik, berjaga-jaga jika ada musuh lain yang muncul."

Ia menunjuk ke sebuah rumah yang terikat benang merah. "Lihat benang ini, Senior. Mereka semakin gelap. Apakah kau sudah mendapatkan pola dari aliran darahnya?"

Pria itu akhirnya menghela napas, mengesampingkan keluhannya. Ia mendekat dan mengulurkan tangannya, tanpa menyentuh, merasakan aura di sekitar benang.

"Pola alirannya sangat teratur, Ayunda. Ini bukan sihir liar, melainkan sihir ritual yang terstruktur dengan sangat kompleks. Jaringan ini adalah sistem pendukung kehidupan bagi entitas di pusat Istana. Aku merasa... ada sesuatu yang sedang 'dimasak' di sana. Sesuatu yang membutuhkan banyak energi jiwa."

...

...

Ia kembali menegakkan tubuh, tatapan serius menggantikan ekspresi malasnya. "Kita harus cepat. Jika 'masakan' itu selesai, kita semua akan berada dalam masalah besar. Cari jalur yang paling tidak terhubung dengan benang-benang ini. Jangan sentuh apa pun."

"Baik, Senior," jawab Ayunda dengan semangat. Ia mengarahkan busurnya ke depan, siap memimpin jalan. "Aku sudah menduga, tempat ini tidak akan pernah semudah yang terlihat."

1
Fairuz
semangat kak jngan lupa mampir
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!