Berada di titik jenuh nya dalam pekerjaan Kania memutuskan resign dari pekerjaan dan menetap ke sebuah desa. Di mana di desa tersebut ada rumah peninggalan sang Kakek yang sudah lama Kania tinggalkan. Di desa tersebutlah Kania merasakan kedamaian dan ketenangan hati. Dan di desa itu jugalah, Kania bertemu dengan seorang, Bara.
23
Kania dan Maya berjalan santai di lantai dasar sebuah Mall yang ramai. Kania mengenakan pakaian kasual yang lebih modis dan stylish daripada saat ia berada di Desa Ranu Asri. Senyumnya kini lebih tulus dan lepas.
“Ini yang namanya surga dunia. Tas, baju, sepatu, dan alat make-up. Uwhh..cara terbaik menghabiskan uang setelah bekerja sebulan penuh.” Ujar Maya sambil memegang dua tas belanjaan.
Kania tertawa ringan. “Bener banget, cara efektif menghilangkan stress.”
Mereka berdiri di depan sebuah butik. Maya menunjuk pada sebuah gaun berwarna cerah. “Kamu harus beli itu, pasti sangat cantik jika kamu pakai.”
Kania menimbang-nimbang. “Gaun itu cantik sih, May. Tapi rasanya…mewah banget jika aku pakai, setelah beberapa bulan aku hanya pakai kaos dan celana.”
“Yaa…justru itu, sekarang kamu tidak tinggal di desa lagi, jadilah Kania yang stylish lagi.”
Kania mengangguk, menyetujui. Ia masuk ke butik itu.
Setelah lelah berbelanja masuk keluar toko, mereka sekarang berada di foodcourt, di kelilingi suara tawa dan piring berdenting.
Kania menikmati kentang goreng. “Terima kasih, ya. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa melewati ini tanpa kamu.”
“Aku hanya ingin melihatmu kembali ceria, Kani.”
Maya melihat jam di tangannya. “Baiklah, aku sekarang kita pulang. Aku ada janji kencan dengan Dion.”
Kania memasukkan sisa makanannya. Ia melihat sekeliling mall—sebuah dunia yang sangat kontras dengan ketenangan di desa Ranu Asri.
“Aku tidak lagi mendengarkan senandung hening di lembah bintang. Di sini, aku mendengarkan bisingnya kehidupan, dan suara itu mengingatkanku bahwa duniaku jauh lebih besar dari desa Ranu Asri.”
Kania dan Maya berdiri, siap kembali ke rutinitas masing-masing. Mereka meninggalkan Mall dengan langkah yang lebih ringan dan optimis.
Kania baru saja masuk ke rumah. Ia meletakkan kunci dan tas belanjanya di meja. Lampu-lampu ruangan sudah menyala, tetapi cahayanya gagal mengisi kekosongan.
Kania berjalan ke dapur. Ia tidak menyalakan televisi atau apapun. Keheningan itu mencekiknya, berbeda dengan kesunyian damai yang ia temukan di desa Ranu Asri. Di sini, keheningan berarti kesendirian.
“Pagi hingga sore,keramaian adalah obat. Tapi saat malam tiba, kota menanggalkan topengnya. Dan aku ditinggalkan bersama keheningan ini. Keheningan yang tak bisa kubagi dengan siapa pun.”
Kania berdiri di dekat jendela kaca besar, memandang lampu-lampu jalan yang berkelip. Lampu-lampu itu indah, tetapi tidak seindah langit malam di bukit bintang.
Flashback
Kania melihat ke atas. Ia melihat langit hitam pekat. Kilauan bintang-bintang tak terhingga menghiasi langit. Ia dan Bara berbaring berdampingan di bukit bintang, beralaskan jaket tebal Bara.
Bara berbisik. “Kamu bisa mendengar senandungnya, kan?”
Kania hanya mengangguk, terlalu bahagia untuk bicara.
End of flashback
Kania membuka mata, mengusap setetes air mata yang lolos.
“Kenangan itu nyata. Rasa sakit ini nyata. Pengabaiannya…juga nyata…”
Kania tahu, meskipun ia rindu dengan keheningan dan keindahan yang ia bagi bersama Bara. Ia tidak bisa kembali ke hubungan yang dibangun di atas keraguan. Keheningan rumahnya saat ini adalah harga yang harus ia bayar untuk kedamaian mentalnya.
Kania mengambil napas dalam-dalam, membuang kesedihan itu. Ia membalikkan badan dari jendela, siap menghadapi malam sendirian.
****************************************
Dini duduk di kedai, setelah dipanggil oleh Bara. Suasana di antara mereka masih canggung dan dingin, mengingat pertengkaran Dini dengan Laras yang dipicu oleh Bara.
Bara menghampirinya, membawakan dua cangkir kopi. Bara terlihat lebih sehat dari sebelumnya, tetapi serius dan tegang.
Bara meletakkan kopi di meja. “Terima kasih sudah mau datang, Din.”
“Aku hanya datang karena aku pikir kamu mau meminta maaf secara tulus atas keributan yang Laras buat.”
Bara menghela napas. “Aku juga minta maaf soal itu. Itu sepenuhnya kesalahanku. Tapi, aku memanggilmu karena hal yang lebih penting dari pada Laras.”
Bara duduk di seberang Dini, menatap matanya. “Aku akan ke kota. Secepatnya…”
Dini terdiam, lalu tertawa sinis. “Dan kamu pikir mbak Kania akan menyambutmu dengan riang gembira? Setelah mas Bara mengabaikannya, dan melihat kalian tertawa bahagia di pondok kopi?”
“Aku bahkan tidak mengharapkan nya kembali padaku. Aku hanya ingin bertemu dengannya, melihatnya dan meminta maaf. Aku ingin dia tahu bahwa aku benar benar menyesal tidak memercayainya, dan aku tahu betapa besarnya rasa bersalah yang kutanggung.”
Pandangan Dini menusuk tajam. “Apa ini tentang rasa bersalah? Atau karena kehilangan sosok yang penting”
“Ini tentang aku yang menyadari, bahwa aku tidak bisa hidup dalam damai di desa yang sepi ini tanpa dia. Aku sakit, Din. Dan yang bisa menyembuhkanku bukan obat, tapi kesadaran bahwa aku harus jujur. Aku harus berjuang untuk kepercayaannya, bukan melarikan diri darinya.”
Dini melihat ketulusan di mata Bara. Bukan lagi sosok Bara yang egois, melainkan Bara yang patah hati dan berniat memperbaiki kesalahan.
“Mas Bara, dengar baik-baik. Jika mas Bara menyakitinya lagi, jika mas Bara membuatnya ragu lagi, aku sendiri yang akan memastikan kamu tidak akan pernah mendapatkan mbak Kania kembali. Rumah mbak Kania di Jl Seruni, Jakarta Pusat. Hanya itu yang bisa aku bantu.”
Bara mengangguk lega. “Terima kasih, Din. Aku mengerti. Aku hanya butuh kesempatan untuk menunjukkan bahwa aku menyesali semuanya.”
Dini tersenyum tipis. “Aku berharap, mas Bara bisa membawa mbak Kania kembali ke desa ini.”
Bara mengangguk lagi, matanya dipenuhi tekad. Ia meminum kopinya, mungkin kopi terakhir yang diminum nya di desa untuk sementara waktu.
Di waktu pagi buta, Bara dan Radit, sahabat baiknya, berdiri di tengah barisan pohon kopi yang masih diselimuti kabut tebal.
Radit, menghela napas pelan. “Kamu yakin dengan ini, Bar? Meninggalkan kebunmu di musim panen yang mulai mendekat?”
Bara mengangguk, dan pandangannya mantap. “Aku harus, Dit. Semua urusan kedai sudah kuserahkan pada Ibu. Tapi untuk kebun ini, hanya kamu yang bisa kupercaya.”
Bara mengeluarkan sebuah kunci kecil dan selembar buku catatan dari sakunya. “Ini kunci gudang pengolahan dan ini buku catatan panen. Semua jadwal penyiraman dan pemangkasan ada di sini. Kamu tahu kebun ini daripada siapapun, Dit.”
Radit menerima kunci dan buku catatan itu. Ia menatap Bara dengan campuran rasa khawatir dan juga bangga. “Aku akan menjaganya, Bar. Tapi…apakah semua usahamu akan sepadan? Kamu meninggalkan semua yang kamu bangun di sini.”
Bara menatap deretan pohon kopi yang mulai terlihat samar di tengah kabut. “Kebun ini, akan tetap berada di sini, Dit. Tapi jika aku tidak mengejar Kania sekarang, aku akan menyesal seumur hidupku. Entah Kania mau menerimaku kembali, atau tidak—yang terpenting aku sudah berusaha, tidak akan menyesal di kemudian hari. Aku berusaha menunjukkan padanya bahwa aku serius.”
Radit tersenyum. Ia menepuk bahu Bara dengan kuat. “Itu baru Bara yang kukenal. Baiklah..Kejarlah dia. Kami semua di sini akan menunggumu kembali—bersama Nyonya Muda.”
Bara mengangguk. Ia memeluk Radit singkat, memejamkan mata sejenak, mengucapkan selamat tinggal pada desanya dan kebunnya.