Jika bukan cinta, lalu apa arti ciuman itu? apakah dirinya hanya sebuah kelinci percobaan?
Pertanyaan itu selalu muncul di benak Hanin setelah kejadian Satya, kakaknya menciumnya tiba-tiba untuk pertama kali.
Sayangnya pertanyaan itu tak pernah terjawab.
Sebuah kebenaran yang terungkap, membuat hubungan persaudaraan mereka yang indah mulai memudar. Satya berubah menjadi sosok kakak yang dingin dan acuh, bahkan memutuskan meninggalkan Hanin demi menghindarinya.
Apakah Hanin akan menyerah dengan cintanya yang tak berbalas dan memilih laki-laki lain?
Ataukah lebih mengalah dengan mempertahankan hubungan persaudaraan mereka selama ini asalkan tetap bersama dengan Satya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwi Asti A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nyaris Tenggelam
Satya sampai di rumah pukul sembilan malam, memasukkan motornya di garasi. Dari sana dia langsung menuju ruang keluarga melewati pintu samping yang terhubung dengan garasi. Suasana sudah sepi begitu Satya melangkahkan kakinya menuju ruang makan. Ia kemudian mengintip makanan di meja makan yang tampak masih utuh.
“Mengapa makanan masih utuh, Mbok, Hani sudah makan??” tanya Satya, melempar pertanyaan pada Mbok Indung yang masih sibuk menyetrika.
“Sepertinya belum, Den, dari tadi Non Hanin masih belum keluar dari kamarnya.”
Penasaran Satya pergi menuju kamar Hanin, satu tangannya sudah meraih Handle pintu. Namun, Satya tampak ragu dan mengurungkan niatnya. Satya berpikir Hanin mungkin sudah tidur, Satya tidak ingin mengganggunya, dia pun meninggalkan tempat itu menuju kamarnya sendiri.
Tiba di kamar lampu kamar masih menyala, Satya berpikir mungkin dirinya lupa mematikannya tadi pagi, atau Mbok Indung yang kelupaan. Tanpa berpikir lama Satya melempar tasnya di sofa, kemudian pergi menuju kamar mandi.
Hanya dalam waktu sepuluh menit Satya sudah keluar dari kamar mandi. Mengganti pakaiannya dan merebahkan diri, ketika dia merasakan tubuh seseorang dibalik selimut yang tak disadarinya. Satya menyingkap selimut itu, tampak Hanin tidur begitu pulas di sana.
Satya kebingungan antara harus membangunkan atau membiarkan saja. ‘Sejak kapan Hanin tidur di sini? Bukankah Mbok Indung bilang Hanin berada di kamarnya sendiri.’
Di saat memikirkan apa yang harus dia lakukan, Hanin membuka matanya.
“Kak.” Suara lembut Hanin. “Jangan marah, izinkan Hani tidur di sini,” pinta Hanin.
Satya masih tak memberikan jawabannya, terpaku menatap sepasang manik mata Hanin dan raut wajah manis yang penuh harap. Seperti seekor kucing menggemaskan yang membuatnya tidak bisa menolak, tapi tanggapan Satya kali ini berbeda.
“Tidak!” ucap Satya akhirnya dengan suara tegas sekaligus untuk menegaskan dirinya agar tidak lemah di hadapan adiknya yang manja.
Satya beranjak bangun, kemudian meminta Hanin untuk pindah ke kamarnya sendiri.
“Bangun dan tidur di kamarmu sendiri!” perintah Satya.
“Tapi Hani masih takut sendirian, Kak, kejadian hari ini membuat Hani takut sendirian.”
“Jangan beralasan.”
Ditariknya kaki Hanin hingga tubuhnya sampai di tepi ranjang di hadapan Satya. Hanin beranjak duduk. Wajahnya masih menunjukkan perasaan memelas.
“Ayolah, Kak, kali ini saja!” suara Hanin memohon. Sembari menangkupkan kedua tangannya di depan wajahnya.
“Kau sudah bukan anak kecil lagi, Hani, apa lagi tidurmu tidak beraturan membuat ranjangku jadi terasa sempit.” Alasan Satya.
“Hani janji akan jadi anak perempuan yang manis dan tidur seperti seorang putri,” rayu Hanin sembari mengedip-ngedipkan matanya.
Satya terdiam ketika tiba-tiba Hanin malah memeluk pinggangnya erat, berusaha mengontrol perasaan aneh yang muncul saat itu.
Setelah berpikir lama akhirnya Satya menyetujuinya. Dia benar-benar tidak bisa menolak permintaan gadis kecilnya itu yang selalu bisa meluluhkan hatinya dengan sikapnya yang manja dan wajah memelasnya.
Satya tidak percaya dengan janji Hanin yang akan menjadi gadis yang manis. Tetap saja tidur gadis itu tak beraturan. Kaki di atas tubuh Satya dan posisi kepalanya di tepi tempat tidur. Satya yang menyadari tidur Hanin kemudian bangun dan memperbaiki posisi tidur gadis itu.
‘Berubah apanya, tetap saja tidurmu membuatku tak nyaman.‘ Usai meletakkan tubuh Hanin pada posisi tidur yang benar, Satya mencari sesuatu di lemari pakaiannya. Mengambil selimut tebal dan menggelar karpet di lantai di dekat tempat tidurnya. Setelah itu Satya baru merasakan tidur lelap dan nyaman.
••
Suara burung bernyanyi terdengar di balkon rumah. Satya menyadari sepertinya hari sudah pagi, diapun membuka sepasang matanya yang bermanik hitam terang. Merenggangkan tangannya untuk melemaskan otot tubuhnya yang terasa kaku. Menoleh di atas ranjang sudah tak mendapati Hanin di sana.
Hari libur usai Shalat subuh, Satya memilih tiduran kembali. Malas untuk bangun cepat-cepat, dan berpikir akan bangun sampai siang.
Ketika matahari mulai meninggi, sinarnya masuk melalui celah-celah jendela di kamar Satya yang terbuka sedikit mengenai wajahnya. Pemuda itu menggeliat sesaat. Namun, masih enggan untuk bangun. Ketika pendengarannya menangkap suara-suara di luar kamar. Suara tercebur di kolam renang.
‘Hani berenang?’ Satya Menilik jam tangan yang tergeletak di atas meja nakas, masih menunjukkan pukul delapan pagi. Satya yang malas merapatkan selimutnya kembali supaya tak mendengar suara di luar kamar yang cukup mengganggunya.
‘Aku pikir tidak apa-apa dia berenang, kakinya sudah sembuh dan dia bisa berjalan.’ Namun, semenjak bangun dan mengetahui Hanin sedang berenang, perasaan Satya kembali tak tenang. Dia mencoba melupakan kekhawatiran yang selalu dianggap berlebihan dan posesif oleh orang lain dan kembali menutup wajahnya dengan selimut.
Tok ... tok ... tok ... !
Suara pintu diketuk dari luar, terdengar keras dan tidak sabaran.
“Iya sebentar ...!” sahut Satya. Ia bergegas bangun masih mengenakan setelan piama tidur berwarna hitam berjalan ke arah pintu. Menarik hendel pintu pelan. Begitu pintu dibuka tampak Mbok Indung dengan raut wajah cemas.
“Den, Non Hani dia ..., tak kelihatan di kolam renang.”
“Maksud Mbok Indung apa?”
Sebelum Mbok indung kembali memberikan penjelasan, Satya teringat akan kecemasannya. Dia bergegas meninggalkan kamar, berlari menuruni tangga langsung menuju kolam renang. Mbok Indung mengekor di belakangnya.
Tiba di kolam renang suasana terasa lengang. Tak tampak ada kegiatan di tempat itu.
“Tuh kan, Den, Non Hanin tidak muncul-muncul,” kata Mbok Indung
Byur ...!! tiba-tiba muncul Hanin dari dalam kolam di bawah kaki Satya. Hanin seketika menarik tangan Satya hingga jatuh ke air. Satya yang tengah panik dan cemas, tapi Hanin malah bercanda membuatnya terlihat kesal.
“Kau kelewatan, Hani, orang-orang mencemaskanmu kau malah bercanda seperti ini.” Kesal Satya merasa dipermainkan.
“Hani cuma mau kakak ikut berenang, ayo Kak temani, Hani!”
“Tapi bukan seperti ini caranya.” Satya menolak dan berlalu.
Hanin terdiam, dia bermaksud mengejar Satya. Namun, mendadak kakinya serasa tak bisa digerakkan, Mungkinkah kram? Hani panik, tubuhnya serasa ditarik ke bawah.
“Kak, tolong Hani! kaki Hani tak bisa digerakkan!” teriak Hanin.
“Berhenti bercanda, Hani! Sudah cukup mempermainkan kakak,” sahut Satya.
“Hani tidak bohong, Kak!”
Suara Hanin kemudian tak terdengar. Satya menoleh, dilihatnya Hanin nyaris tak terlihat hingga akhirnya benar-benar tenggelam.
“Sial!” Satya berbalik, lalu melompat ke dalam air dengan cepat ke arah posisi Hanin terakhir dilihat. Tanpa butuh terlalu lama akhirnya Satya berhasil mendapatkan tubuh Hanin yang nyaris sampai di dasar kolam. Membawanya naik menuju ke tepian. Dibaringkannya tubuh Hanin di sana.
Walaupun baru beberapa saat sepertinya air masuk ke dalam mulutnya. Satya memberikan pertolongan pertama, mengecek pernapasan dan denyut nadi.
“Tolong ambilkan pakaian hangat atau handuk Mbok!” perintah Satya pada Mbok Indung. Lalu meminta asisten laki-laki untuk tidak berada di tempat itu. Saat melakukan CPR dan memberikan nafas buatan. Awalnya terlihat ragu. Namun, memikirkan keselamatan Hanin Satya tak mempedulikan perasaannya sendiri.