Dinda tidak menyangka kalau pernikahannya bakal kandas ditengah jalan. Sekian lama Adinda sudah putus kontak sejak dirinya mengalami insiden yang mengakibatkan harus menjalani perawatan yang cukup lama. Hingga pada akhirnya, saat suaminya pulang, rupanya diceraikan oleh suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 26 Merasa terpojok
Dinda menggeleng pelan, kedua matanya bergetar menahan takut dan panik yang sejak tadi menyesakkan dada.
“Aku… aku nggak tahu harus bagaimana…” suaranya lirih, hampir hilang. “Kalian semua bertengkar karena aku. Aku takut. Aku nggak mau jadi beban siapa pun.”
“Dinda, jangan pergi—” Vikto sigap meraih lengannya.
Namun Dinda menepis dengan bingung. “Aku butuh menjauh dulu. Maaf… maafkan aku.”
Tanpa menunggu siapa pun menjawab, Dinda berbalik dan berlari keluar dari koridor rumah sakit. Air matanya jatuh satu-satu, napasnya tersengal. Riko spontan mengejar, tetapi Vikto lebih dulu melesat.
“Dinda! Jangan pergi!” teriak Vikto.
Dinda menoleh sekilas, dan saat itu juga sebuah kereta dorong alat medis didorong terburu-buru oleh perawat dari arah berlawanan.
BRAK!
Tubuh Vikto terpental keras menghantam dinding. Suara hantaman itu menggema di sepanjang lorong. Dinda membeku, seluruh darahnya seperti berhenti mengalir.
“KAK VIKTO!!!” pekiknya histeris.
Vikto jatuh tak bergerak. Pucat seketika.
Oma Hela yang baru menyusul dari belakang langsung menjerit. “Cucu Omaaa!” Tubuh renta itu goyah, lalu ambruk. Perawat yang lewat segera menangkapnya, namun wajah Oma telah miring sebelah—stroke mendadak merenggut tenaganya.
“Kita butuh tandu! Cepat!” teriak seorang perawat yang lewat.
Dinda jatuh berlutut di sisi Vikto, tangannya gemetar menyentuh pipi suaminya.
“Kak… bangun… Kak Vikto bangun…” suaranya pecah, tenggelam dalam tangis. “Jangan tinggalkan aku… tolong…”
Riko yang shock hanya berdiri mematung, tak tahu harus berbuat apa. Nyonya Wirna menjerit panik, tapi wajahnya malah berubah pucat begitu melihat suami dan ibu mertuanya tumbang bersamaan dengan putranya.
Lorong rumah sakit berubah kacau, suara langkah, teriakan dan panggilan perawat bersahut-sahutan.
Dinda memegang tangan Vikto erat-erat saat tubuh laki-laki itu diangkat ke tandu. Tangisnya tidak bisa dihentikan lagi.
“Maaf… maaf… semuanya gara-gara aku…”
Itu kalimat terakhir yang keluar dari bibirnya sebelum ia sendiri oleng dan nyaris pingsan karena syok.
Dinda berdiri terpaku di depan pintu ICU. Tangannya bergetar hebat, tubuhnya terasa seperti kehilangan tulang. Setiap detik suara monitor dari dalam ruangan menusuk telinganya, menghantam dadanya dengan rasa bersalah yang tak tertahankan.
"Kalau saja aku tidak pergi… kalau saja aku tidak membuatnya berlari mengejarku…"
Air mata Dinda mengalir tanpa henti.
Beberapa menit kemudian, langkah tergesa datang menghampiri. Nyonya Wirna muncul dengan wajah kacau, antara panik, marah, dan takut. Begitu melihat Dinda yang berdiri di depan ICU, emosinya langsung meledak.
“Ini semua salah kamu!” bentaknya tajam. “Vikto tidak akan koma kalau kamu tidak membuat dia lari! Kamu pembawa sial! Seharusnya kamu tidak pernah muncul dalam hidup anak saya!”
Dinda tersentak. Tubuhnya serasa ditampar berkali-kali.
“Maafkan saya…” Suaranya nyaris tak keluar. “Saya tidak—saya tidak bermaksud—”
Namun Nyonya Wirna tidak menghiraukan. Amarahnya pecah tak terkendali.
“Sejak awal aku sudah bilang, kamu itu bukan untuk keluarga kami! Lihat sekarang? suamiku sakit, Oma stroke, dan Vikto koma! Kamu mau apalagi menghancurkan hidup kami?!”
Dinda menutup mulutnya, menahan isak. Lututnya melemah.
Tiba-tiba—
Riko muncul dari belakang. Suaranya menggelegar.
“Cukup, Nyonya!”
Nyonya Wirna menoleh tajam.
Riko maju, berdiri di samping Dinda seperti perisai. “Jangan salahkan dia sendirian. Kalau memang keluarga Nyonya berantakan, itu bukan karena Dinda. Jangan jadikan dia kambing hitam!”
“Berani sekali kamu bicara begitu di depan saya,” balas Nyonya Wirna sinis.
“Tentu saja saya sangat berani, Nyonya,” tegas Riko. “Karena yang Nyonya lakukan sekarang bukan mencari solusi, tapi melampiaskan kemarahan pada orang yang bahkan tidak berdaya.”
Dinda menatap Riko dengan mata membesar. Ia tidak menyangka Riko akan membelanya.
Namun Nyonya Wirna semakin geram.
“Kau tidak ada hubungan lagi dengan Adinda! Jangan ikut campur!” bentaknya.
Riko mengangkat dagunya. “Saya memang bukan siapa-siapa lagi, tapi saya tahu Dinda bukan orang jahat. Dia tidak pantas disalahkan sampai seperti ini.”
Dinda akhirnya tak kuat. Ia menunduk, tubuhnya bergetar keras.
“Cukup… jangan bertengkar… aku mohon…” suaranya pecah.
Air matanya jatuh lagi dan lagi.
Setiap kali kelopak matanya menutup, yang ia lihat hanya satu hal. Bagaimana Vikto terjatuh keras, lalu tubuhnya terhempas.
Bagaimana tangan Dinda terlambat meraih.
Dan kini, suaminya terbaring tak sadarkan diri.
Dinda memeluk tubuhnya sendiri, menahan luka yang seperti menembus dada.
“Semua ini… Semua ini gara-gara aku san salahku…” bisiknya lirih. “Aku yang membuat Kak Vikto seperti itu…”
Riko memegang bahunya, lembut. “Dinda, bukan salah kamu. Ini kecelakaan…”
Tapi rasa bersalah itu menelan Dinda bulat-bulat.
Di balik jendela kaca ICU, Vikto terbaring dengan berbagai alat medis terpasang.
Dinda memandanginya dengan mata merah, suaranya nyaris tidak terdengar:
“Kak… bangun, Kak… aku mohon… jangan tinggalin aku…”
Suasana lorong rumah sakit seketika menjadi hening dan penuh ketegangan.
Di satu sisi, keluarga yang retak.
Di sisi lain, cinta yang diuji.
Dan Dinda, seorang perempuan yang terjepit di tengah semuanya, hanya bisa menunggu dengan hati yang remuk.
Riko baru saja hendak menenangkan Adinda ketika ponselnya bergetar keras. Asisten pribadinya menelepon dengan suara tergesa-gesa, “Tuan, Nyonya meminta Anda untuk kemari. Beliau mencari Anda, dan tidak mau pulang kalau bukan dengan Tuan .”
Riko menutup mata sejenak, menarik napas panjang. “Tidak bisa. Pastikan Nyonya dan Zoya dibawa pulang dengan selamat. Antar mereka sampai di dalam rumah. Jangan biarkan mereka menunggu atau kelelahan.”
“Tuan tidak ikut pulang?” tanya asistennya.
“Aku tetap di sini.” Suaranya tegas. “Ada orang yang harus aku jaga.”
Setelah panggilan ditutup, Riko menoleh ke arah Adinda yang masih meringkuk di bangku panjang depan ICU. Wajahnya pucat, tangan gemetar sejak tadi, dan matanya tak pernah lepas dari pintu kaca ICU tempat Vikto dirawat.
Adinda memeluk kedua lututnya erat-erat, seolah dunia sedang runtuh di pundaknya. “Semua salahku… Kalau saja aku tidak pergi… kalau saja aku tidak—”
“Dinda, cukup.” Riko duduk di sampingnya, dengan jarak yang tetap sopan. “Kecelakaan itu bukan salahmu. Jangan menyalahkan dirimu lagi.”
Namun air mata Adinda justru jatuh semakin deras. “Tapi Kak Vikto mengejarku… kalau aku tidak kabur, dia tidak akan terkena itu… dan Oma… aku membuat semuanya berantakan…”
Sebelum Riko sempat menjawab, Nyonya Wirna muncul dengan mata merah karena menangis, atau marah, sulit dibedakan. Begitu melihat Adinda, wajah wanita itu langsung mengeras.
“Lihat apa yang kau lakukan pada keluarga kami!” hardiknya. “Suamiku terbaring tak berdaya! Anakku koma! Ibunya jatuh stroke! Semua ini karena KAU!”
“Cukup, Nyonya.”
Riko berdiri, tubuhnya menghalangi Adinda. Nadanya dingin, tajam, dan tidak memberi ruang untuk dibantah. “Jangan jadikan Dinda pelampiasan. Dia sudah cukup hancur. Jangan tambah menyakitinya.”
“Ini urusan keluarga kami! Kamu tidak punya hak ikut campur!”
“Dia mantan istriku. Dan meski sudah bukan istri saya, saya tetap tidak akan diam melihat dia disakiti,” balas Riko, menatap tajam.
Nyonya Wirna terdiam sejenak, wajahnya memerah menahan emosi, sebelum akhirnya ia berbalik dan pergi menangis ke arah ruang tunggu lain.
Setelah wanita itu menghilang, Adinda menunduk semakin dalam.
“Jangan bela aku lagi… nanti kamu juga disalahkan…” suaranya nyaris berbisik.
Riko menggeleng pelan. “Aku di sini bukan untuk didengar orang lain. Aku di sini karena aku tidak mau kamu sendirian. Sampai kamu merasa lebih kuat, aku akan tetap di sini.”
Adinda terisak, bahunya bergetar. Untuk pertama kalinya sejak kejadian itu, ia mengizinkan dirinya menangis keras, memecah segala ketakutan dan rasa bersalah yang menyesakkan dadanya.
Riko hanya duduk di sampingnya, menjaga diam-diam. Tidak menyentuh, tidak memaksa. Hanya ada.
Di balik kaca ICU, Vikto tak bergerak sedikit pun… namun benang takdir baru saja bergeser. Dan malam panjang itu baru dimulai.
Apa keluarga nya Percaya dengan omongan Dinda nanti tentang wasiat Oma,Takutnya menuduh Dinda mengada2..Harusnya 2 orang yg masuk sebagai saksi..