Kematian seharusnya menjadi akhir. Bagi Sayyidah Yasmeen, pewaris takhta yang dikhianati, itu adalah sebuah awal.
Ia terlahir kembali dalam tubuh mungilnya yang berusia sepuluh tahun, namun dengan jiwa yang menanggung luka dan ingatan kelam akan masa depan. Ingatan akan ambisi keji ayahnya sendiri yang merenggut nyawanya, dan ingatan akan pengkhianatan dari sosok yang paling ia cintai—yang kelak menjadi algojonya.
Kini, di balik senyum polos seorang anak, tersembunyi pikiran seorang ratu yang sedang menyusun strategi. Setiap bisikan di lorong istana adalah petunjuk, setiap wajah adalah calon sekutu atau musuh tersembunyi. Ia harus meruntuhkan tirani dari dalam, menggagalkan persekongkolan sebelum terjadi, dan menulis ulang takdir dengan darah dan kecerdasan.
Namun, saat ingatan menjadi senjata paling mematikan dan musuh terbesar bersembunyi di balik kenangan manis, dapatkah Yasmeen merebut kembali mahkotanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon INeeTha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Simbol Pangeran Malik
Tariq hanya bisa mengangguk pelan. Ia memang tak paham soal uang kerajaan, tapi ia jelas mengerti satu hal:
Yasmeen baru saja menyeret dirinya dan Nayyirah ke tengah badai besar yang bernama pertarungan internal Kekaisaran.
“Dua botol penawar racun terkuat, kan?” Tariq mencoba fokus pada hal yang lebih masuk akal untuknya. “Baik. Akan kuurus. Tapi… kenapa Harith memberimu kunci ruangan Jenderal Samir? Ruangan itu sudah ditutup sebulan penuh. Kalau dia curiga soal keracunan, bukankah itu terlalu berisiko… bahkan untuknya?”
Yasmeen tertawa pelan. Tawa yang terdengar seperti bilah tipis yang menyentuh kulit.
“Harith ingin tahu seberapa jauh aku mau masuk ke sarang ular ini,” ujarnya. Mata tajamnya memantulkan cahaya determinasi.
“Dia memberi kita alasan resmi untuk masuk tanpa dicurigai. ‘Petugas kebersihan,’ katanya. Tapi di saat yang sama… dia taruh jebakan di dalam: racun, dokumen terlarang, dan tenggat waktu tiga hari.”
Tariq mengernyit gelisah. “Tiga hari untuk membongkar arsip intelijen Jenderal Samir… dan menyelidiki pergerakan dana Wazir Agung? Itu gila. Mustahil.”
Yasmeen tahu. Harith bukan pria sembarangan.
Dia tak mengharapkan aku berhasil.
Dia hanya ingin mengukur seberapa berani aku… dan apakah aku akan mencoba berkhianat, batinnya.
“Kita tidak perlu mencari racun atau jarum kecil di tumpukan debu,” kata Yasmeen, napasnya teratur. “Kita mencari pola. Samir menguasai intelijen luar negeri. Jika ada yang membunuhnya, itu karena informasi yang ia simpan.”
Dan jika pembunuh itu bekerja bersama Wazir Agung…
Dana rahasia itu pasti dipakai untuk operasi di luar istana.
Satu langkah salah, mereka bisa langsung dihukum mati.
Yasmeen memegang lengan Tariq. Sorot matanya melunak.
“Kita harus pisah tugas. Kamu bawa kunci ini dan temukan arsip Samir. Pakai kain sutra terbaik dari Nayyirah. Bawa cuka untuk bersihkan ruangan. Dan panggil dua prajurit Al-Jarrah paling kamu percaya. Jangan dari istana.”
Tariq menatapnya khawatir. “Kalau begitu Anda sendiri mau ke mana?”
“Aku akan mengunjungi Ruang Wazir yang lebih rendah,” jawabnya santai, seolah hal itu bukan ancaman nyawa. “Alasan resminya: memeriksa logistik perdagangan rempah.”
“Sayyidah… kalau Hazarah tahu—”
Yasmeen mengangkat tangan, memotong kekhawatiran itu.
“Risiko terbesar bukan dieksekusi. Risiko terbesar adalah menjadi istri Harith… berdiri sendirian tanpa kekuatan apa pun. Dan kehilangan Nayyirah lagi.”
Diam. Penegasan.
“Pergilah, Tariq. Dapatkan penawarnya dulu. Kita bertemu saat matahari terbenam.”
---
Dua jam kemudian. Kota Agung masih panas menyengat seperti bara gurun, tapi Ruang Audit terasa sejuk dan dingin seperti pisau.
Wazir Adil—paruh baya, setia tapi takut bayangannya sendiri—menatap Yasmeen gelisah.
Gadis itu duduk anggun dengan buku catatan di pangkuannya. Ia tampak seperti pelajar rajin yang tak tahu bahaya. Padahal, tiap baris yang ditulisnya adalah peluru.
“Sayyidah Yasmeen… Anda yakin tak butuh dayang? Tempat ini… penuh angka membosankan,” ujar Adil sambil mengusap keringat.
“Justru angka yang paling menarik,” jawab Yasmeen, senyum palsunya selembut mawar plastik. “Penguasa sejati tidak boleh takut pada angka.”
Wazir itu seperti diberi rayuan maut. Ia membiarkan Yasmeen menyisir lembar demi lembar dokumen internal kerajaan.
Hingga pandangan Yasmeen terpaku pada sebuah buku kecil di rak tertinggi.
“Wazir,” katanya pelan, menunjuk sampul beludru hijau tua itu. “Yang itu.”
Adil tertegun. “Ah… itu buku lama, tidak penting—”
“Kalau begitu saya ingin mempelajarinya,” senyumnya makin tipis. “Saya menghormati warisan.”
Dan Adil pun menyerah.
Saat buku itu berpindah ke tangannya, jantung Yasmeen berdegup tak karuan.
Got it.
Kunci dana rahasia yang dapat menggerakkan perang tanpa disadari Sultan—ada di sini.
Misinya di Ruang Audit selesai. Ia pamit, kembali menuju Sayap Timur.
---
Matahari mulai turun saat Yasmeen tiba di depan ruangan Jenderal Samir Al-Qamra.
Bau manis aneh—dupa mahal yang menutupi aroma kematian—menusuk hidung dari balik pintu kayu yang retak.
Tariq menunggu di sana, wajahnya kaku.
“Aku sudah dapat penawarnya,” katanya cepat. “Kita masuk berdua saja.”
Yasmeen mengambil botol kecil itu dan menenggak rasa pahit menyengatnya tanpa ragu. “Kau juga.”
Tariq membuka pintu. Engselnya menjerit, seolah memperingatkan mereka untuk kabur.
Di dalam… ruangan kecil yang nyaris tak bernyawa.
Arsip debu. Peta sobek. Meja hitam.
Ruang seorang prajurit yang mati dengan rahasia besar.
“Cari korespondensi Samir,” ujar Yasmeen berbisik. “Semua yang menyebut Wazir Agung… atau kerajaan lain.”
Ia sendiri membuka buku regulasi dari sakunya. Dua teka-teki besar ini harus cocok.
Waktu berjalan pelan dan mencekam.
Hingga Tariq berhenti.
“Sayyidah…” suaranya bergetar. Ia memegang surat dengan tinta biru kehijauan—tinta intelijen.
“Ini laporan terakhirnya… empat hari sebelum ia tewas.”
Yasmeen bergegas mendekat. Lentera bergetar di antara mereka.
Kalimat terakhir laporan itu hampir hilang tertutup noda minyak… tapi angka koordinat di bawahnya membuat Yasmeen pucat.
“Itu bukan dana untuk wabah,” bisiknya. Napas tercekat.
“Itu untuk membayar milisi Kerajaan Timur Jauh. Mereka merencanakan serangan kejutan ke wilayah Utara.”
Tariq mencengkeram surat itu lebih kuat, wajahnya ngeri.
“Kalau Harith—”
“Dia tidak tahu.”
Dan itu lebih berbahaya dari apa pun.
Ini bukan lagi soal korupsi.
Ini kudeta.
Kudeta yang akan menjadikan Harith mewarisi perang yang tidak pernah ia rencanakan.
“Kita laporkan sekarang juga—”
“Tidak.” Yasmeen mengalihkan pandangan ke rak tertinggi. “Samir pasti menyembunyikan satu hal lagi…”
Ia meraih sesuatu di sudut gelap rak:
Sebuah jurnal.
Ada lambang di halaman pertamanya.
Burung Kuntul Emas.
Yasmeen hampir menjatuhkannya.
Faksi Al-Jinn.
Pengkhianat paling berbahaya dalam hidupnya… dahulu.
Dan tepat saat kepingan terakhir itu menyatu di kepalanya—
Suara langkah berlari pelan.
Seseorang berada di luar.
“Kita tidak sendirian,” desis Tariq, menghunus belatinya.
Yasmeen merapatkan jurnal ke dadanya.
Seseorang baru saja mendengar segalanya.
Tariq menoleh ke jendela. “Sayyidah… lihat itu…”
Di ambang jendela tergeletak mawar hitam, diikat pita merah anggur.
Simbol Pangeran Malik.
Dunia Yasmeen seperti berhenti.
Malik… di sini?
Dia mendengar semuanya?