Series #1
•••Lanjutan dari novel TAWANAN PRIA PSIKOPAT (Season 1 & 2)•••
Universidad Autonoma de Madrid (UAM) menjadi tempat di mana kehidupan Maula seketika berubah drastis. Ia datang ke Spanyol untuk pendidikan namun takdir justru membawa dirinya pada hubungan rumit yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya.
Rayden Salvatore, terus berjuang untuk menjaga gadis kecilnya itu dari semua yang membahayakan. Sayangnya dia selalu kecolongan sehingga Rayden tidak diizinkan oleh ayah Maula untuk mendekati anaknya lagi.
Maula bertahan dengan dirinya, sedangkan Rayden berjuang demi cintanya. Apa keduanya mampu untuk bersatu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31 : Aroma Formalin
...•••Selamat Membaca•••...
Dari kejauhan, Maula dan Rayden diikuti oleh orang suruhan Isabella. Wanita tua itu sudah mendengar betapa pesat dan berkuasa Rayden saat ini. Ia merasa kalau posisi putra kandungnya cukup terancam, kebahagiaan Rayden membuat dia menderita.
Hari melelahkan itu dihabiskan oleh Maula dan Rayden dengan penuh suka cita, Rayden mengantarkan Maula sampai ke depan rumah, menggunakan sepeda motor yang selalu menjadi kendaraan favorite Maula ketika bersamanya.
“Karena kamu tidak akan ke mana-mana lagi, besok bisa kan kita ketemu?” Maula tampak sedikit berpikir.
“Besok jadwalku sangat padat Ray, kalau minggu depan bagaimana? Ya... aku akan coba luangkan waktu.” Rayden mengerti dengan kondisi Maula saat ini, gadisnya sudah memasuki tahun ketiga, yang mana akan lebih sibuk dari tahun-tahun sebelumnya.
“Baiklah, tapi makan malam tetap bersama kan.”
“Boleh juga, aku akan sempatkan makan malam denganmu.” Rayden mengecup singkat kening Maula lalu pergi dari kompleks perumahan elit tersebut.
Beberapa anak buah Leo yang berjaga di sana cukup awas, mereka tidak pernah mengusik Rayden sama sekali karena yang Leo inginkan hanyalah keselamatan putrinya. Dia tidak membatasi Rayden dan Maula, hanya saja dia khawatit jika anaknya dalam bahaya.
Pagi itu, Maula berdiri di ambang ruang laboratorium patologi anatomi, aroma tajam formalin langsung menyengat hidungnya. Ia sudah terbiasa dengan bau rumah sakit, darah, dan antiseptik, tapi bau formalin selalu memberikan kesan lain, seakan waktu berhenti di antara tubuh-tubuh mati yang tak lagi bicara, namun menyimpan cerita.
Ruangan itu sunyi, hanya dentingan logam dari alat bedah dan bisik-bisik mahasiswa lain yang mencoba menenangkan diri.
Di meja panjang terhampar tubuh manusia yang telah diawetkan. Tidak utuh, tapi cukup untuk menampakkan organ dalam yang telah terbuka rapi seperti : hati, ginjal, paru-paru.
Di sebelahnya, meja mikroskop sudah tertata, dengan preparat tipis yang siap dipelajari.
Dr. Marina Diaz, dosen patologi yang dikenal sangat detail dan tak segan memberi nilai rendah, membuka kuliah pagi itu dengan kalimat tajam.
“Anatomi memberi kalian bentuk. Tapi di sini, kalian akan belajar cerita yang tak bisa dilihat dengan mata telanjang yaitu penyakit. Kita akan belajar bagaimana tubuh gagal.”
Maula mencatat cepat. Hari ini, mereka akan mempelajari hepatokarsinoma, kanker hati yang sangat agresif. Di mikroskop, mereka harus membedakan sel-sel hati normal dan sel kanker. Ia memutar lensa objektif hingga gambar tampak jelas.
Sel-sel abnormal tumbuh liar, nukleus membesar, tidak teratur, membelah tanpa kendali.
“Maximillian, jelaskan slide yang kamu lihat,” perintah Dr. Diaz dengan penuh ketegasan.
Maula menarik napas. “Ini jaringan hati dengan perubahan neoplastik. Terlihat adanya pleomorfisme, nukleus hiperkromatik, dan mitosis abnormal. Ciri khas dari hepatokarsinoma.”
“Bagus,” kata Dr. Diaz. “Sekarang baca identifikasi pasiennya.”
“Maula membuka data klinis yang menyertai preparat. Namanya tertera jelas. Rosa Lujan, perempuan, 42 tahun. Diagnosis: kanker hati stadium akhir. Masih hidup.” Maula mengatakan dengan tenang dan lugas.
Tubuh Maula seketika menegang. Ini bukan sampel dari orang yang telah meninggal. Ini jaringan hasil biopsi dari seseorang yang masih berjuang hidup. Seseorang yang mungkin pagi ini masih menjalani kemoterapi, atau duduk di ruang tunggu rumah sakit, berharap mukjizat datang.
Maula menutup map data itu pelan, lalu kembali menatap mikroskop. Tiba-tiba, sel-sel kanker itu bukan lagi bentuk abstrak. Mereka adalah musuh dalam tubuh seorang perempuan nyata, seseorang yang tidak tahu bahwa puluhan mahasiswa kini sedang mempelajari tubuhnya, mencatat kerusakannya, tanpa pernah tahu wajahnya.
Setelah sesi praktikum selesai, Maula mencuci tangannya lama. Bau formalin seakan menempel sampai ke tulang. Di luar lab, ia duduk di tangga lorong belakang fakultas, memandangi halaman yang mulai dipenuhi guguran dedaunan musim gugur.
Untuk pertama kalinya sejak masuk kuliah, ia merasa gentar. Dunia kedokteran bukan hanya soal prestise, nilai sempurna, atau gelar panjang di belakang nama. Dunia ini juga penuh dengan luka, harapan yang rapuh, dan kehidupan yang terikat pada benang sangat tipis yang kadang tak bisa diselamatkan meski sudah diketahui sedetil apapun di bawah mikroskop.
Hari itu, Maula tidak membawa pulang catatan tambahan. Ia membawa pulang satu hal yang lebih dalam, yaitu kesadaran bahwa menjadi dokter bukan hanya soal memahami penyakit, tapi memahami manusia yang menanggungnya.
“Masih jalan tahun ketiga, masih ada tiga tahun lagi yang harus aku tempuh di kampus ini. Semoga apa yang aku cita-citakan bisa terwujud dan pulang membawa kebanggaan bagi Papa dan Mama.” Maula berharap penuh dengan semua mimpi yang sedang dia wujudkan.
...***...
Isabella sangat geram menerima berita mengenai kedekatan Maula dan Rayden. Dia sangat tidak suka ketika Rayden tersenyum bahagia seperti itu.
“Cukup Mom, aku tidak akan membiarkan Mommy mengusik kehidupan Victory lagi.” Archer sangat geram dengan tingkah Isabella yang terus-terusan sibuk mengusik Rayden.
“Kenapa? Apa kau takut padanya?”
“Ini bukan lagi persoalan takut, tapi mencari aman. Saat ini Victory adalah orang yang paling berkuasa di dunia bawah, dalam waktu satu tahun lebih, dia mampu melumpuhkan organisasi besar dan berhasil merebut kekuasaan. Dari dulu, dia adalah orang yang sangat licik dalam pekerjaan. Aku tidak ingin mencari masalah dengannya, bisa-bisa, kita semua akan dia hancurkan.” Archer memberi peringatan dan pengertian pada ibunya.
“Dia masih berhutang nyawa dan hidup pada kita, Archer. Setinggi apapun kekuasaannya, dia tetap berada di bawah kita.”
“Jangan remehkan dia Mom. Apa kau tidak bisa membaca pergerakannya hah? Dia yang sudah memutuskan kontak dengan para mafia, tiba-tiba terjun dan bahkan lebih gila lagi dari sebelumnya untuk masuk ke dunia bawah. Memang Mommy pikir untuk apa?” Isabella hanya menahan amarah.
“Dia melakukan semua ini demi kekasihnya, apa yang sudah Mommy lakukan waktu itu, sudah membakar semangat Victory untuk bangkit. Dia ingin melindungi Maula dari ancaman siapa pun. Dan Mommy masih ingin mengusik dia? Kita akan dibuat hancur Mom.”
“Persetan dengan semua itu, dia tidak akan pernah bahagia. Sampai kapan pun, aku akan terus membuat dia menderita hingga memohon untuk kematian. Saat waktu itu tiba, aku akan menguliti dia hidup-hidup tanpa pengampunan.” Archer tak habis pikir lagi dengan ibunya. Dia meninggalkan ruangan besar itu, memilih untuk sendiri daripada bicara dengan Isabella.
Ketika di ambang pintu, Archer memutar tubuhnya dan menatap Isabella.
“Dua bulan lagi aku akan menikah, dan tolong jangan lakukan apapun yang bisa merusak hubunganku dengan Victory. Mommy.” Archer langsung pergi setelah berkata begitu, Isabella memecahkan vas bunga besar di sampingnya saat ini lalu berteriak penuh emosi.
Wajahnya merah padam menahan amarah, “Dua bulan lagi, pertunjukan akan aku mulai. Kau akan menerima semua penderitaanmu Victory. Kau akan memohon padaku untuk diantarkan pada ibumu. Aku bersumpah.”
...•••Bersambung•••...