Nama Ethan Cross dikenal di seluruh dunia sihir sebagai legenda hidup.
Profesor pelatihan taktis di Hogwarts, mantan juara Duel Sihir Internasional, dan penerima Medali Ksatria Merlin Kelas Satu — penyihir yang mampu mengendalikan petir hanya dengan satu gerakan tongkatnya.
Bagi para murid, ia bukan sekadar guru. Ethan adalah sosok yang menakutkan dan menginspirasi sekaligus, pria yang setiap tahun memimpin latihan perang di lapangan Hogwarts, mengajarkan arti kekuatan dan pengendalian diri.
Namun jauh sebelum menjadi legenda, Ethan hanyalah penyihir muda dari Godric’s Hollow yang ingin hidup damai di tengah dunia yang diliputi ketakutan. Hingga suatu malam, petir menjawab panggilannya — dan takdir pun mulai berputar.
“Aku tidak mencari pertempuran,” katanya menatap langit yang bergemuruh.
“Tapi jika harus bertarung… aku tidak akan kalah dari siapa pun.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zikisri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 33 — Surat
Konflik antara Kementerian Sihir dan para Pelahap Maut tampaknya akan meningkat, pikir Ethan sambil menutup Daily Prophet pagi itu.
Namun, semua itu belum ada hubungannya dengannya. Tanpa kekuatan yang cukup, seseorang hanya akan bergantung pada belas kasihan orang lain — dan itu bukan sesuatu yang ingin ia alami lagi.
Ia menatap jendela asramanya yang tertutup embun, menarik napas panjang, lalu menyingkirkan koran.
Masih banyak hal yang harus ia kerjakan hari ini. Salah satunya: membalas surat dari Lily dan Sirius.
Ethan sebenarnya sudah menerima surat-surat itu beberapa hari lalu, tapi saat itu ia sedang tenggelam dalam latihan mantra pertahanan dan belum sempat membalas. Kini, setelah pikirannya tenang, ia membuka surat Sirius terlebih dahulu.
Tulisan tangan Sirius tampak tergesa dan berantakan, seperti gaya bicaranya:
"Hahaha! Ethan, kau masuk Slytherin? Sial benar nasibmu.
Kalau tak salah, kau penyihir kelahiran Muggle, bukan? Bajingan-bajingan berdarah murni di Slytherin akan menelanmu hidup-hidup.
Saat aku di Hogwarts dulu, aku sering mengerjai mereka — jadi hati-hatilah!
Jangan sampai terkena kutukan saat jalan, lalu bangun dalam keadaan telanjang di depan toilet perempuan.”
Ethan menahan tawa kecil, lalu melanjutkan membaca.
“Kalau butuh saran, aku cuma bisa bilang: jangan biarkan mereka menginjakmu.
Anak-anak Slytherin itu pengecut — mereka takut pada yang kuat.
Profesor Flitwick memang pintar, tapi terlalu baik. Slughorn juga ramah tapi tak peduli pada asramanya.
McGonagall keras, tapi kalau kau jujur padanya, dia akan melindungimu.
Oh, kabar baik — aku jadi ayah baptis anak James dan Lily! Harry benar-benar lucu.
Lily dan aku berencana mengundangmu datang setelah Natal. Aku bisa ajari beberapa trik.
Bagaimana?
Tetap hati-hati, Ethan. Akhir-akhir ini para Pelahap Maut mulai aktif lagi.
— Teman setiamu,
Sirius Black.”
Ethan menghela napas kecil.
Surat itu terasa seperti campuran antara ejekan, candaan, dan sedikit perhatian yang disembunyikan di balik gaya bicara seenaknya. Ia tahu Sirius tidak bermaksud jahat, hanya terlalu… impulsif.
Namun, Ethan tetap menulis balasan singkat malam itu juga.
Ia menulis dengan kalem, menjawab setiap ejekan Sirius dengan gurauan kecil:
“Kau benar, mereka menatapku seperti binatang langka. Tapi aku masih utuh, belum ada kutukan telanjang di toilet perempuan.”
Lalu ia menambahkan,
“Aku akan datang waktu Natal. Dan kalau aku bawa hadiah, pastikan kau tak tertawa — karena aku tidak tahu selera ayah baptis yang berisik seperti apa.”
Ia menyegel surat itu, menaruhnya di tepi meja, lalu membuka surat Lily berikutnya.
Tulisan tangan Lily rapi dan lembut, seperti kepribadiannya.
“Ethan yang terkasih,
Maaf baru membalas. Harry baru sebulan lebih sedikit, dan aku masih belajar jadi ibu baru — agak panik, jujur saja.”
Ethan tersenyum samar. Ia bisa membayangkan wajah lembut Lily di depan meja makan, menulis di sela-sela waktu menjaga bayinya.
“Soal kamu yang masuk Slytherin, jangan terlalu khawatir. Topi Seleksi pasti punya alasan.
Tiap asrama punya sisi baik dan buruknya. Dulu aku juga punya teman dari Slytherin yang baik hati.
Yang penting, tetap setia pada keyakinanmu.”
Lalu Lily menambahkan sesuatu yang membuat Ethan terdiam lama:
“Profesor Flitwick menulis padaku, katanya kamu diundang ke Klub Mantra. Hebat sekali!
Aku baru bergabung waktu tahun ketiga.
Kalau kau punya waktu, pergilah ke perpustakaan Klub Mantra dan cari Teori Pertahanan Sihir karya Wilbert Slinkard.
Di rak paling bawah, di belakang podium, aku menyimpan beberapa catatan penelitianku di sana — mungkin bisa berguna untukmu.”
Ethan menatap kalimat itu lama.
Bayangan Lily muda muncul di pikirannya, perempuan kelahiran Muggle yang menolak menyerah di tengah dunia yang memandang rendah darah campuran.
Ia tersenyum pelan.
Surat itu ditutup dengan kalimat hangat:
“James dan aku berencana mengadakan pesta kecil setelah Natal. Sirius sudah setuju datang. Kami akan sangat senang kalau kamu juga hadir.
Salam hangat,
Lily Potter.”
Ethan meletakkan surat itu perlahan. Ada sesuatu yang menekan dadanya — rasa hangat bercampur getir.
Ia tidak punya hubungan darah dengan mereka, tapi Lily memperlakukannya seperti keluarga.
Ia segera mengambil pena bulu dan mulai menulis balasan dengan tenang.
“Lily, aku berterima kasih atas suratmu. Aku akan datang saat Natal, dan aku ingin bertemu Harry.
Tolong sampaikan salamku pada James dan Sirius.
Dan berhati-hatilah, bahkan di rumah — dunia sedang tidak aman.”
Setelah menyegelnya, Ethan menaruh dua surat itu di meja, siap dikirim besok pagi lewat burung hantu sekolah.
Malam pun turun.
Ia kembali membuka buku catatan mantranya, melanjutkan penelitian yang sempat tertunda — kali ini tentang Protego Totalum, sihir perlindungan tingkat lanjut.
Keesokan harinya, setelah mengirim kedua suratnya, Ethan memutuskan untuk mengambil jeda dari semua urusan Slytherin dan Gryffindor. Ia tidak mencari Charles, tidak juga ikut campur gosip di aula.
Hari itu, pikirnya, adalah waktu yang tepat untuk menepati janji lama — mengunjungi Hagrid.
Mereka sempat bertemu di Leaky Cauldron sebelum tahun ajaran dimulai, makan hati naga panggang bersama sambil membicarakan dunia sihir.
Begitu kelas selesai sore itu, Ethan mengemas beberapa kaleng bumbu dan berangkat.
Ia menuruni tangga batu Hogwarts, melewati Clock Tower Courtyard, lalu menyeberangi jembatan beratap panjang yang mengarah ke luar kastil.
Udara sore beraroma tanah basah. Dari kejauhan, ia bisa melihat gubuk kecil di bawah bukit, dikelilingi tanaman labu yang tumbuh liar. Di sebelah kanan berdiri kandang burung hantu sekolah, dan di sisi kiri jalan, kebun kecil Hagrid yang penuh sayur-sayuran raksasa.
Setelah menuruni jalan setapak berbatu, Ethan akhirnya melihat sosok besar dengan mantel kulit binatang sedang menyalakan lentera di depan rumahnya.
Ia tersenyum kecil, melangkah lebih cepat, dan memanggil,
“Hagrid! Lama tak bertemu!”
Sosok besar itu menoleh — dan wajahnya langsung menyala cerah.