"Dunia boleh jahat sama kamu, tapi kamu tidak boleh jahat sama dunia."
Semua orang punya ceritanya masing-masing, pengalaman berharga masing-masing, dan kepahitannya masing-masing. Begitu juga yang Luna rasakan. Hidup sederhana dan merasa aman sudah cukup membuatnya bahagia. Namun, tak semudah yang ia bayangkan. Terlalu rapuh untuk dewasa, terlalu lemah untuk bertahan, terlalu cepat untuk mengerti bahwa hidup tidak selamanya baik-baik saja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
LUNA, DIA ISTIMEWA
Malam sudah larut, namun Arga belum juga bisa memejamkan mata. Lampu kamarnya hanya menyala redup, memantulkan bayangan samar di dinding. Di meja belajar, masih tergeletak buku-buku yang sejak tadi tak tersentuh. Pandangannya kosong, hanya terpaku pada jendela yang sedikit terbuka, membiarkan udara malam masuk bersama aroma hujan yang lembut.
Pikiran Arga berputar ke peristiwa sore tadi.
Ia masih bisa mengingat jelas bagaimana Luna mengantarkan bunga untuk nya dengan senyum yang tenang, sederhana, tapi entah kenapa terasa begitu tulus. Senyum itu tidak lebar, bahkan nyaris malu-malu, namun justru di sanalah letak ketulusan yang membuat Arga tak bisa berhenti memikirkannya.
Ia masih ingat bagaimana Luna berdiri di depan rumahnya, mengenakan kemeja tipis Suaranya lembut saat berkata, Pembayarannya sudah lewat transfer, ya. Lalu gadis itu menunduk sopan, seperti kebiasaannya, sebelum berbalik dan melangkah pergi sambil menuntun sepedanya.
Sekarang, di tengah sunyi malam, perasaan itu kembali muncul. Ia benar-benar tidak menyangka bahwa pertemuan sesingkat itu bisa meninggalkan kesan sedalam ini.
Di mata Arga, Luna bukan sekadar gadis yang cantik. Kecantikannya bukan dari riasan atau pakaian, melainkan dari caranya bersikap—tenang, sederhana, tapi berwibawa dalam kelembutan yang sulit dijelaskan. Ada sesuatu dalam dirinya yang memancarkan ketulusan tanpa perlu banyak bicara.
Arga melihat Luna sebagai seseorang yang hidup dengan cara berbeda dari kebanyakan orang di sekitarnya. Ia tidak banyak mengeluh, tidak sibuk mencari perhatian, namun justru menonjol karena kesederhanaannya. Senyumnya tidak dibuat-buat, tatapannya jujur, dan tutur katanya selalu sopan bahkan pada orang yang baru dikenalnya.
Namun yang paling membekas bagi Arga bukanlah kecantikannya, melainkan kemandirian yang tampak jelas dalam setiap gerak Luna.
Di usia Luna yang seharusnya diisi dengan waktu bermain, belajar di sekolah, dan bersenda gurau bersama teman-teman, gadis itu justru memilih bekerja—menanggung beban yang terlalu besar untuk pundak seusianya.
Tulisan-tulisan Luna yang Arga baca setiap hari memang menggambarkan bahwa ia lebih dari sekadar gadis biasa. Lewat kata-katanya, Arga bisa merasakan kedalaman pikirannya—perasaan, harapan, bahkan ketakutan yang kadang ia sembunyikan dari dunia.
Tulisan-tulisan itu selalu jujur dan apa adanya. Ia tidak berusaha terdengar manis atau memikat pembaca, tapi justru itulah yang membuatnya begitu nyata. Setiap kalimat yang tertulis seolah memberi Arga jendela ke dalam dunia Luna—dunia yang penuh keteguhan, kerapuhan, dan keberanian yang jarang tampak di permukaan.
Hari ini… aku capek banget. Bela, Angel, dan Raisha datang lagi ke mejaku saat jam istirahat. Kali ini mereka lebih berani. Aku bisa dengar tawa mereka sebelum mereka menatapku. Kata-kata mereka… pedih. Aku tahu mereka ingin aku takut, ingin aku menangis di depan mereka. Tapi… aku nggak mau. Aku nggak bisa tunjukkan kalau aku rapuh, karena aku nggak punya banyak pilihan. Kalau aku menyerah, besok mereka akan lebih berani lagi.
Setiap kali aku mulai merasa tenang, selalu ada hal baru yang datang dan mengguncang semuanya.Aku sudah berusaha sebaik mungkin—belajar, bekerja, bersikap baik pada orang lain—tapi entah kenapa, balasannya sering bukan kebaikan. Aku dijatuhkan, disalahpahami, bahkan dihina.
Kadang aku berpikir, apa gunanya semua ini?
Aku berjuang sekuat mungkin, tapi dunia seolah nggak pernah mau melihatku. Aku nggak punya banyak teman, nggak punya tempat buat bercerita. Yang ada cuma diam, dan air mata yang harus kutahan supaya Ayah nggak tahu.
Ayah hari ini terlihat agak lelah. Aku bisa lihat dari cara dia duduk di kursi, bahunya agak membungkuk, matanya sayu. Biasanya Ayah selalu mencoba tersenyum untukku, tapi kali ini… aku tahu ada sesuatu yang berbeda.
“Dia begitu… kuat, Ma.” Gumam Arga dalam hati, menatap bingkai foto mendiang Ibunya. "Bunga yang ku antar sore tadi pada Mama, itu kiriman dari Luna."
Arga tersenyum kemudian. Ada rasa kagum yang mendalam, bercampur iba dan kekagetan, karena gadis yang ia kenal sekilas di dunia nyata ternyata memiliki dunia yang tak sesempurna dari kebanyakan orang lainnya. Luna, dia istimewa. Bahkan, jauh dari kata istimewa...
****