"Nikah Dadakan"
Itulah yang tengah di alami oleh seorang gadis yang kerap di sapa Murni itu. Hanya karena terjebak dalam sebuah kesalahpahaman yang tak bisa dibantah, membuat Murni terpaksa menikah dengan seorang pria asing, tanpa tahu identitas bahkan nama pria yang berakhir menjadi suaminya itu.
Apakah ini takdir yang terselip berkah? Atau justru awal dari serangkaian luka?
Bagaimana kehidupan pernikahan yang tanpa diminta itu? Mampukan pasangan tersebut mempertahankan pernikahan mereka atau justru malah mengakhiri ikatan hubungan tersebut?
Cerita ini lahir dari rasa penasaran sang penulis tentang pernikahan yang hadir bukan dari cinta, tapi karena keadaan. Happy reading dan semoga para readers suka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Imelda Savitri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kepergok II
"ASTAGHFIRULLAHALAZIM!”
Suara berat dan penuh otoritas itu memecah keheningan, membuat keduanya tersentak. Dengan mata melebar, mereka berdua spontan menoleh ke belakang secara bersamaan.
Di ambang pintu, berdiri Pak Haji, sosok yang paling disegani di kampung ini. Jubah putihnya berkibar ketika ia bergerak masuk ke dalam kamar, ditambah dengan sorot matanya yang tajam ketika menatap mereka berdua, berhasil membuat bulu kuduk Murni meremang.
Wajah Murni langsung terlihat pucat. Sama hal nya dengan pria asing itu yang tampak membeku, tak paham apa yang sedang terjadi.
Tak butuh waktu lama, suara langkah cepat dan riuh mulai mendekat. Ibu-ibu kampung yang terkejut dan penasaran dengan teriakan tiba-tiba dari pak Ustadz pun langsung bergerombol di depan pintu, ekpresi wajah mereka tampak dipenuhi dengan ekspresi kaget, kepo, dan ada juga yang terlihat... sudah siap menyebar informasi tersebut dengan rapi sebagai bahan bergosip nanti.
"Ya Allah, Murni! Kau ngapain di dalam kamar sama laki-laki?!” Suara Bu Lastri terdengar nyaring seperti alarm subuh, membuat situasi tersebut semakin runyam.
Murni panik, dan buru-buru mengangkat tangannya.
“Ndak! Ndak seperti yang ibu pikirkan!”
Bu Lastri langsung mengelus dadanya sendiri.
“Astaga! Baru juga ceramah pak haji tadi bilang jauhi zina, ini malah kejadian di depan mata!”
Ibu-ibu lain langsung berbisik heboh.
“Ya Allah, di rumah pengantin pula!”
“Kok bisa-bisanya mereka ini!”
"Kalian udah ngapain aja di dalam hah?! Duh...! bikin malu keluarga pengantin!” Seru Bu Lastri sembari memegangi kedua kepalanya, disertai ekspresi frustasi yang terpampang di wajahnya.
Murni hampir menangis ketika semua orang mulai menuduhnya melakukan hal-hal yang tidak-tidak.
“Bu, Pak Haji, ini cuma kesalahpahaman.”
Pak Haji menghela nafas panjang, lalu menggeleng-gelengkan kepala dengan sorot mata penuh kekecewaan.
“Murni... Murni... Kenapa kau lakukan ini? Kau itu perempuan baik-baik. Tapi sekarang malah berdua-duaan di kamar dengan lelaki asing?”
Pria asing itu tampak semakin bingung dengan situasi ini. Dengan aksen khasnya, ia mencoba menjelaskan.
“No no, kami tidak melakukan hal buruk! Hanya... gelang yang menyangkut!” Dia menunjuk gelang di tangan Murni yang masih tersampir di kancing kemejanya.
Bu Lastri menyipitkan matanya, menatap keduanya dengan ekspresi penuh curiga.
“Gelang? Halah, alasan saja itu! Kau pikir kami bodoh? Kau pikir kami ini bakal percaya begitu saja?!”
Rasanya Murni ingin menangis, ketika semua orang mulai mempercayai kesalahpahaman itu menjadi sebuah kebenaran.
“Sungguh, bu! Murni juga nggak mau begini, tadi gelang Murni nyangkut di kancing kemejanya.”
Pak Haji menghela nafas dalam, lalu menatap mereka berdua dengan tajam.
“Tidak ada asap kalau tidak ada api, nak Murni. Kalau kau menjaga diri, tidak mungkin ada kejadian seperti ini."
Ibu-ibu lain mulai berbisik makin heboh.
“Benar, Pak Haji! Ini pasti ada apa-apanya.”
“Kalau cuma gelang, masa sampai dalam kamar berdua begini?”
"Aduh, kasihan orang tua Murni kalau sampai tahu!”
Murni merasa dunianya runtuh ketika mendengar kalimat-kalimat yang memojokkan dirinya. Dia tahu, sekali gosip ini menyebar, maka nama baiknya maupun keluarganya pasti akan hancur.
Pria itu masih terlihat panik, lalu dengan bahasa Indonesia terbata-bata, ia berkata, “Tunggu! Saya... saya bisa jelaskan! Ini... misunderstanding. Salah paham.”
Tapi Bu Lastri sudah mengibaskan tangannya.
“Sudah cukup! Kami tidak mau dengar alasan macam-macam!”
Murni semakin panik. “Bu, Pak Haji, tolong! Murni ndak bersalah!”
"Sudah! Keluar kalian berdua!” Suara Pak Haji menggema tegas.
Murni dan pria itu buru-buru melepas kaitan gelangnya yang pada akhirnya berhasil terlepas dengan sedikit usaha. Mereka berdua bangkit, lalu keluar dari kamar diiringi tatapan penuh kecurigaan dari ibu-ibu yang sudah mengerubungi pintu.
Begitu mereka keluar dari kamar tersebut, suara bisik-bisik para ibu-ibu semakin membesar.
“Ya Allah, kasihan orang tua Murni...”
“Kukira dia anak baek-baek... Eh tau nya gini...ck, ck.” Gumam seorang ibu-ibu menggeleng sembari melipat tangannya di depan dada.
Tak lama kemudian, suara langkah cepat terdengar dari arah luar rumah.
Seorang wanita paruh baya dengan wajah panik muncul di tengah kerumunan. Nafasnya tersengal-sengal, sementara satu tangannya tampak tengah menahan degupan dadanya yang berdebar kencang.
Mita, ibu Murni, tampak nyaris jatuh saking gemetarnya ketika mendengar berita gempar mengenai putrinya.
Di belakangnya, seorang pria paruh baya bercambang, yang merupakan ayah Murni, ikut menyusul istrinya dengan ekspresi memasang tegang.
Begitu melihat putrinya duduk bersimpuh di lantai dengan kepala tertunduk, Mita langsung meluruhkan dirinya dan duduk bersimpuh di hadapan sang putri.
Matanya yang berlinang air mata menatap putrinya dengan penuh kesedihan, sampai pada akhirnya, ia tak kuasa lagi menahan tangis, akhirnya tangisannya pun pecah.
“Murni... Astaghfirullah... Kenapa, Nak?! Kenapa kau lakukan ini?!” Suara Miya bergetar hebat, menyiratkan hatinya yang dipenuhi dengan duka.
Murni mengangkat wajahnya dengan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya.
“Mak... Murni ndak ngelakuin apa-apa! Murni bersumpah, mak! Murni ndak seperti yang mereka bilang!”
Tapi sebelum Murni bisa menjelaskan lebih lanjut, suara nyaring Bu Lastri langsung menyergah.
“Ih, jangan banyak alasan, Murni! Orang-orang udah lihat dengan mata kepala sendiri!” Matanya menyipit tajam, sambil berkacak pinggang.
Seorang ibu-ibu lain mengangguk setuju. “Benar! Kalian berdua keluar dari kamar, berduaan! Mau alasan apapun, tetap saja itu nggak bisa diterima!”
“Apa lagi yang mau dibantah, hah?” Tambah seorang ibu lainnya dengan sinis.
Mita menatap putrinya dengan tatapan mata yang hancur. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menangis tersedu-sedu.
“Ya Allah, Murni... Kau ini anak baik-baik! Kenapa begini, Nak? Ibu sudah mendidikmu dengan benar... kenapa kau tega mencoreng nama baik keluarga kita?!” Mita mengguncang tubuh Murni sekuat tenaga, namun putrinya itu hanya bisa menunduk diam.
Murni menggigit bibirnya, berusaha menahan tangis yang makin deras.
“Mak... Murni ndak seperti itu! Tolong percaya sama Murni mak, ini semua hanya sebuah kesalahpahaman.”
Tapi Bu Lastri malah mendecak keras.
“Oh, jadi semua ini hanya kebetulan? Gelangmu nyangkut di kancing dia, terus kalian masuk kamar berdua? Apa nggak aneh itu?”
Beberapa ibu lain mulai mengangguk, tanda setuju.
"Kalau memang ndak ada apa-apa, kenapa harus di dalam kamar?”
“Iya! Kenapa ndak dilepas di luar aja?”
Pak Haji menghela nafas panjang, lalu menatap Murni dan pria asing itu dengan dalam.
"Baiklah. Karena ini menyangkut nama baik keluarga dan masyarakat, maka kita harus segera mencari solusi yang terbaik-”
B**UG**!
Sebuah tinju dalam sekejap melayang begitu cepat, dan langsung menghantam wajah pria asing itu.
“BAJINGAN KAU!!”
ga cocok msk ke circle kaan. 😅😅😅
aq plg ga suka sm tokoh pajangan yg bermodal baik hati & cantik aja tp ga pny kontribusi apa2 di alur cerita. 🤣🤣🤣