Dekapan Hangat Mantan Mafia
Sadewa berlari sekencang yang dia bisa. Napasnya memburu, kakinya bergetar, tetapi ketakutan jauh lebih besar daripada rasa lelah yang mulai mendera tubuhnya. Di belakang, suara langkah kaki para suruhan ayahnya semakin dekat. Mereka tak henti meneriakkan namanya dan memaksanya berhenti.
"Tuan muda! Jangan lari! Ini perintah Ayah Anda!"
Ayah, kata itu terasa begitu asing baginya. Pria itu hanya orang yang mengklaim darah mereka sama. Ayahnya adalah sosok yang tak pernah dia kenal secara utuh, kecuali dari cerita ibunya yang kini sudah tiada. Ya, ibunya hanyalah wanita simpanan yang tidak diakui, begitu juga keberadaannya. Setelah ibunya meninggal, pria itu tiba-tiba muncul, menuntutnya untuk bersamanya menjadi penerus dunia hitam.
Dia tidak ingin menjadi seperti pria itu. Dia tidak ingin hidup dalam kekejaman.
Jalanan di depannya ramai. Lampu lalu lintas berganti hijau, tetapi dia tidak peduli. Yang ada dalam pikirannya hanyalah kabur.
Sadewa berlari menyeberang jalan tanpa melihat ke kiri atau kanan. Namun, saat itulah dia mendengar bunyi klakson panjang yang memekakkan telinga. Sebuah mobil melaju cepat ke arahnya.
Brak!
Mobil itu membanting stir ke kanan, kehilangan kendali, dan menabrak kontainer dari arah berlawanan. Suara benturan keras menggema, diikuti suara kaca pecah dan dentuman logam menghantam aspal. Mobil itu terguling dan berhenti dalam keadaan terbalik, kapnya ringsek. Asap mengepul dari mesin yang hancur.
Sadewa membeku. Dia baru saja menjadi penyebab kecelakaan itu. Dengan tangan gemetar, dia mendekati mobil yang hancur. Di dalamnya, dia melihat dua orang yang terjepit di depan dan seorang gadis seumurannya dengan kerudung bermotif bunga yang sudah ternoda darah. Tubuhnya setengah keluar dari jendela yang pecah dan wajahnya berlumuran darah.
Mata gadis itu menatapnya seolah ingin mengatakan sesuatu. Lalu, kelopak matanya perlahan tertutup.
Sadewa merasa dunianya berhenti. Bukan dirinya yang terluka, tetapi dadanya terasa seperti dihantam berkali-kali.
Suara langkah kaki dari belakang menyadarkannya. Para suruhan ayahnya masih mengejarnya. Tapi kini, matanya tak bisa lepas dari gadis itu. Dia harus melakukan sesuatu.
Tanpa peduli lagi pada keselamatannya sendiri, Sadewa mengulurkan tangan ke dalam mobil yang remuk dan berusaha menarik tubuh gadis itu keluar tapi tidak bisa.
Akhirnya pria-pria yang mengejarnya mendekat dan menyeretnya menjauh dari mobil ringsek itu.
Sadewa tidak bisa melawan saat tangan-tangan kasar itu mencengkeramnya. Tubuhnya diseret ke trotoar.
Di belakangnya, suara sirene ambulans dan mobil polisi menggema seperti menusuk telinga. Lampu-lampu merah dan biru berkedip di antara gelapnya malam, menerangi kekacauan yang baru saja terjadi.
Tatapan terakhir gadis itu sebelum memejamkan mata terus terputar di benak Sadewa seperti sebuah hukuman.
Entah siapa saja yang ada di dalam mobil itu dan entah berapa nyawa yang mungkin hilang malam itu. Semua karena dirinya.
Seharusnya mobil itu menabraknya saja dan membiarkannya mati karena dia sungguh tidak ingin hidup seperti sekarang.
"Jangan coba-coba kabur lagi!" Salah satu anak buah ayahnya memaksanya masuk ke dalam mobil jeep dan tanpa menunggu lama, mobil itu melaju dengan kencang menuju rumah Martin, ayah kandung Sadewa.
...***...
Pria yang membawa Sadewa mendorongnya masuk ke dalam ruangan hingga membuatnya terjatuh keras di lantai marmer yang dingin. Napasnya tersengal karena amarah yang mendidih dalam dadanya. Di hadapannya, berdiri pria yang ingin menghancurkan hidupnya.
Ruangan itu luas dan mewah, dengan lampu kristal menggantung di langit-langit. Tapi bagi Sadewa, tempat itu tak lebih dari sebuah penjara emas.
Martin menatapnya dengan seringai penuh kemenangan. "Kamu sudah lulus SMA, Sadewa. Sudah saatnya kamu mewarisi kekuatan dan juga kekayaanku, karena kamu adalah satu-satunya anak laki-lakiku."
Sadewa menggertakkan giginya. Dia tak butuh kekayaan dan juga kekuatan. Jika harga dari semua itu adalah menjadi monster seperti ayahnya, dia lebih baik mati.
Dengan sisa tenaga, dia bangkit, mengepalkan tangannya, dan melesatkan pukulan ke arah pria itu. Namun sebelum tinjunya mengenai wajah Martin, tangan-tangan kuat mencengkeram lengannya dari belakang. Anak buah ayahnya menahannya, memaksanya berlutut kembali di hadapan pria yang akan membelenggu hidupnya.
Martin tertawa kecil, seolah menikmati rasa putus asa yang terpancar dari mata putranya. "Lawan dia," ujarnya, memberi isyarat pada salah satu pria bertubuh besar di sudut ruangan. "Jika kamu menang, aku akan melepaskanmu."
Pria itu maju, tinjunya sekeras batu. Sadewa tahu dia tak punya peluang, tapi dia tak peduli dan mencoba melawan.
Satu pukulan menghantam perutnya.
Dua pukulan lagi mendarat di rahangnya.
Darah mengalir dari sudut bibirnya, tetapi Sadewa tetap berdiri, meskipun tubuhnya mulai limbung. Dia ingin menunjukkan bahwa dia tak akan tunduk pada pria itu, meskipun nyawanya menjadi taruhannya.
Martin menghela napas, mendekati Sadewa yang babak belur. Dia berjongkok dan menatap langsung ke dalam matanya.
"Kamu pikir, Ayah kejam?" Martin menyeringai. "Iya, Ayah memang kejam. Dan kamu akan menjadi seperti Ayah."
Sadewa mendesis dengan mata yang penuh kebencian.
Martin mengusap darah yang mengalir dari pelipis anaknya dengan ibu jarinya, lalu menunjukkan darah itu di hadapan Sadewa. "Darah ini adalah darahku yang mengalir deras di tubuhmu. Tatapan penuh kebencianmu itulah yang akan menjadikanmu kuat melawan siapa pun."
Sadewa menepis tangan ayahnya dengan sisa tenaganya. "Aku tidak akan pernah menjadi sepertimu!"
Martin hanya terkekeh. "Kita lihat saja nanti, anakku."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar🦉
siapa gadis itu 🥺
2025-04-14
0