Tari Sukma Dara (24 Tahun) tidak tahu kalau sebuah kunjungan dari seseorang akan merubah nasibnya. Kehidupannya di Bandung sangat tenang dan damai, Ia tinggal di rumah tua dan membuka “Toko Bunga Dara”. Namun hari itu semua berubah, seorang perempuan bernama Tirtamarta Kertanegara mengatakan bahwa Ia adalah cucu kandungnya. Ia harus ikut ke Jakarta dan belajar dengan pamannya untuk menjadi penerusnya.
Gilang Adiyaksa (30 Tahun) tentu saja marah saat Tirtamarta yang Ia anggap seperti Ibunya sendiri mengatakan telah menemukan darah dagingnya. Tapi Ia tak bisa melakukan apapun, Ia hanya seorang anak angkat dan sekarang Gilang membimbing Tari agar menjadi cukup pantas dan apabila Tari tak cukup pantas maka Gilang akan menjadi penerus Kertanegara Beauty. Gilang membuat rencana membuat Tari percaya padanya lalu membuatnya hancur.
Hanya satu yang Gilang tidak rencanakan, bahwa Ia jatuh cinta pada keponakannya itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24 – Di Balik Tawa dan Pandangan
Pagi itu kantor terasa biasa aja. Sama seperti hari-hari sebelumnya. Orang-orang lalu lalang di lorong, suara keyboard bersahutan, dan wangi kopi dari pantry mulai mengisi udara. Tapi buat Tari, ada sesuatu yang berubah. Atau lebih tepatnya, seseorang yang berubah.
Gilang.
Ia masih pakai kemeja yang rapi dan sepatu hitam mengilap. Tapi caranya menyapa, cara dia sesekali nyari sosok Tari di tengah ruangan, itu nggak bisa disembunyikan. Ada semacam hangat yang pelan-pelan jadi candu buat Tari.
Kadang saat mereka berpapasan di lorong, Gilang hanya mengangguk kecil. Tapi di bawah meja ruang meeting, lutut mereka saling bersentuhan. Sekilas. Tapi cukup buat bikin dada Tari berdebar.
Dan mereka mulai punya semacam ritual kecil.
Jam sebelas siang, Gilang selalu kirim pesan pendek lewat chat internal:
Gilang: Kopi?
Tari: Pantry sebelah baris belakang. 5 menit.
Mereka nggak pernah pergi bareng. Tapi selalu "ketemu tanpa sengaja". Kadang cuma ngobrol sebentar sambil aduk kopi, kadang saling curi pandang dari balik rak mug. Dan kadang, jari Gilang menyentuh jari Tari pas ngambil gula.
Kecil.
Diam-diam.
Tapi manis banget.
Tapi di balik senyum dan tatapan-tatapan itu, ada sesuatu yang mulai terasa janggal buat Gilang.
Ia makin jarang diajak rapat internal bareng divisi direksi. Ada beberapa laporan yang dulu biasanya mampir dulu ke meja dia, sekarang langsung dilempar ke Tari. Bahkan ada satu sore saat ia datang ke ruang Bu Tirta dan melihat Tari duduk di sana, ngobrol serius. Dan Bu Tirta... terlihat sangat nyaman.
Lebih nyaman dari biasanya.
Gilang berdiri di balik pintu sebentar, lalu mengetuk pelan. Saat masuk, Tari menoleh dan senyum, tapi Bu Tirta cuma bilang, "Kita lanjutin lagi nanti ya, Tar."
"Iya, Eyang."
Eyang.
Kata itu masih terdengar asing di telinga Gilang, walau sudah berkali-kali ia dengar dari mulut Tari. Tapi hari itu... rasanya beda. Ada semacam pengingat pelan bahwa dia, Gilang, bukan siapa-siapa dalam urusan darah.
Dan itu pelan-pelan bikin hatinya ngilu.
Malamnya, mereka makan malam bareng di sebuah restoran Jepang kecil dekat kantor. Tempatnya tenang, lampunya temaram, dan makanan datang tanpa suara.
"Hari ini rame ya?" tanya Tari sambil menyeruput miso soup.
"Iya, agak padat. Tapi kamu kelihatan enjoy banget di ruang Eyang tadi."
Tari mengangkat alis. "Kamu denger kita ngobrol?"
"Kebetulan lewat," jawab Gilang sambil senyum tipis.
Tari meletakkan sumpitnya. "Gilang... kamu ngerasa tergantikan ya?"
Gilang terdiam. Lama.
"Aku nggak tahu, Tar. Mungkin iya. Mungkin enggak. Aku senang kamu berkembang. Aku bangga. Tapi jujur... kadang aku ngerasa kayak cuma penggembira sekarang."
Tari meraih tangannya di atas meja. "Kamu nggak pernah cuma jadi penggembira. Kamu selalu orang pertama yang aku cari saat aku bingung."
"Tapi kamu nggak bisa selamanya nyari aku, kan?"
"Tapi aku bisa milih buat tetap butuh kamu. Bukan karena nggak bisa sendiri. Tapi karena aku percaya kamu."
Gilang mengangguk pelan. Tapi matanya tetap berat. Ada banyak hal di pikirannya. Tentang posisi. Tentang rasa. Tentang kenyataan bahwa makin dekat ia dengan Tari, makin ia ditinggalkan secara sistematis oleh lingkungan yang selama ini ia lindungi.
Hari berikutnya, suasana kantor makin nggak nyaman. Ada gosip beredar bahwa Tari akan jadi salah satu direktur baru. Bahkan sebelum rapat resmi diumumkan. Beberapa pegawai mulai bisik-bisik. Bahkan ada yang secara terang-terangan menghindari ngobrol dengan Gilang.
"Pak Gilang masih deket sama Mbak Tari?" tanya salah satu manajer secara setengah berbisik.
Gilang cuma senyum. "Kami kerja bareng."
"Hati-hati, Pal. Dunia ini cepat banget muter."
Gilang ngerti maksudnya. Dan ia juga nggak bisa menyangkal, ada semacam tarik-ulur yang membuatnya makin gelisah. Semakin ia ingin mendekat ke Tari, semakin keras dunia menariknya mundur.
Tapi... lalu Tari mengetuk ruangannya sore itu. Membawa dua gelas kopi kaleng dan senyum kecil.
"Break dulu, yuk."
Dan semua keraguan itu, seketika runtuh.
Bukan karena Tari membuat semuanya mudah.
Tapi karena Tari membuat semuanya... layak diperjuangkan.