Elena hanya seorang gadis biasa di sebuah desa yang terletak di pelosok. Namun, siapa sangka identitasnya lebih dari pada itu.
Berbekal pada ingatannya tentang masa depan dunia ini dan juga kekuatan bawaannya, ia berjuang keras mengubah nasibnya dan orang di sekitarnya.
Dapatkah Elena mengubah nasibnya dan orang tercintanya? Ataukah semuanya hanya akan berakhir lebih buruk dari yang seharusnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahael, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31: Janji Perlindungan
Di hutan, tepatnya di belakang istana. Kedua anak yang masih terbilang pra-remaja sedang berlari di tengah gelapnya hutan hanya bermodalkan tekad.
Suara jangkrik mengalun untuk menemani setiap langkah mereka di hutan.
Napas yang memburu terdengar namun, sedetik pun tangan yang berpegangan itu tidak terlepas.
Elena memimpin jalan untuk keluar dari hutan sembari menggandeng Ellios.
Rambut hitamnya sekarang berayun-ayun mengikuti angin, sedangkan Ellios mengeratkan pegangannya pada tudung jubahnya.
Sesampainya mereka diluar hutan, mereka dapat melihat cahaya gemerlap dari kota.
"Tuan muda, kita sudah keluar dari hutan," ucap Elena sembari mengatur napasnya.
Mereka terdiam sejenak disana. Ellios yang baru pertama kali keluar dari istana saat malam hari merasa begitu takjub.
Ia seakan melihat bintang-bintang berada di atas tanah. Gemerlapnya membuat Ellios terpaku beberapa detik.
"Tuan muda, ayo kita pergi. Paman Galeon menyuruh kita menunggu di kedai yang ia pinta." Ellios yang mendengar itu mengangguk kecil.
Akhirnya mereka melanjutkan perjalanan dengan berjalan lebih santai daripada saat di hutan. Tidak memerlukan banyak waktu untuk mereka sampai di kota.
Sesaat mata Ellios tidak bisa lepas dari berbagai hal yang baru pertama kali ia lihat. Elena yang melihat itu merasa geli dan terkekeh pelan.
"Apa anda ingin membeli sate?" tawar Elena. Ia menunjuk kecil ke arah penjual sate daging di dekat mereka.
"Sate?" Ellios mengerutkan keningnya dan mengikuti arah tunjuk Elena. Namun, ia merasa ragu dan menggelengkan kepalanya.
Elena merasa sedikit kecewa, tapi ia tidak mengambil pusing tentang penolakan Ellios.
Mereka tetap melanjutkan perjalanan mereka sembari berbaur di kerumunan orang.
Tubuh mereka yang kecil sedikit kesulitan saat bertabrakan dengan beberapa orang. Namun, Elena mencoba untuk bertahan hingga mereka menemukan kedai yang disebutkan Galeon.
"Kita sampai, Tuan muda," bisik Elena pada Ellios.
Saat pintu kedai itu dibuka, suara gemerincing bel pintu terdengar. Bau makanan lezat langsung menerpa penciuman mereka, dan keributan dari berbagai orang yang berkumpul membuat suasana kedai itu terasa asing dan aneh bagi Ellios.
Ellios terus memperhatikan orang-orang yang makan dengan begitu bahagia tanpa mempedulikan tata krama di meja. Entah mengapa, bagi Ellios mereka terlihat begitu bebas. Seperti burung yang terbang bebas sesuai keinginan mereka.
"Tuan muda, kita duduk disini sembari menunggu paman Galeon datang," bisik Elena untuk kedua kalinya.
Elena memilih meja kosong yang berada di pojok ruangan. Namun, tidak berselang lama mereka di datangi oleh pelayan kedai.
"Oh, nak? Apa yang kamu lakukan di kedai seperti ini dengan adikmu?" tanya pelayan itu dengan nada begitu semangat.
"Eh? A-adik...?" Elena sedikit melirik ke arah Ellios yang duduk di seberangnya, lalu kembali menatap pelayan itu dengan senyum yang dipaksakan. "A-ah... Iya, dia adik saya." Elena menggaruk lehernya dengan canggung.
"Apa yang dilakukan anak-anak di kedai pada malam hari? Dimana orang tua kalian?" tanya pelayan itu lagi.
"O-oh... Kami sedang menunggu mereka disini. Apa kamu boleh menunggu disini?" tanya Elena dengan sopan.
"Tentu. Tapi, aku menyarankan untuk tidak berkeliaran disini. Siapa yang tahu, mungkin ada yang ingin menculik anak-anak manis ini~" ucapnya dengan nada bercanda. Elena hanya membalasnya dengan tertawa canggung.
Setelahnya pelayan itu pergi meninggalkan mereka berdua. Elena langsung menoleh ke arah Ellios dan berkata, "Maaf, Tuan muda! Saya tidak bermaksud kasar dengan mengatakan anda adik saya!" Elena berbicara dengan nada begitu pelan hingga hanya mereka berdua saja yang dapat mendengarnya.
Ellios sedari tadi memperhatikan apa yang dilakukan oleh Elena. Entah mengapa itu menarik perhatiannya. "Aku tidak keberatan. Itu agar mereka tidak curiga dengan identitas ku, kan?" tuturnya dengan wajah di palingkan.
Ellios masih belum bisa membuka hati pada pelayannya ini. Tidak. Bukan belum. Tapi tidak ingin.
Memberi kepercayaan akan hanya memberi luka baru.
Dengan malas, akhirnya Ellios hanya menatap di sekeliling mereka sambil menumpukan kepalanya di atas tangannya.
Ellios melihat berbagai warna yang belum pernah ia lihat selama ia di istana. Warna yang begitu banyak bercampur menjadi sebuah simfoni baru, yang entah mengapa membuat Ellios merasa lega.
Ternyata begitu banyak warna yang memancarkan kehangatan diluar sana.
Selama ini Ellios terus meneliti kekuatan yang bisa melihat aura dari orang lain, dan ia mendapat kesimpulan bahwa aura yang dikeluarkan oleh pelayannya sangat mencurigakan karena terus bercampur. Namun, setelah ia turun ke kota, ia baru mengetahui bahwa bukan pelayannya yang aneh. Melainkan orang-orang di istana yang aneh.
Tak berselang lama akhirnya pintu kedai kembali berbunyi dan Galeon muncul. Ia mengitarkan pandangannya dan menyadari keberadaan Elena dan Ellios.
Ia berjalan dengan begitu santai seakan ini adalah tempat yang begitu familiar baginya.
"Sudah lama menunggu?" tanya Galeon dengan begitu santai. Ia langsung duduk tepat di samping Elena.
"Tidak begitu lama, paman."
Galeon mengangguk lalu mengangkat tangannya untuk memesan segelas minuman.
"Guru, bagaimana rencananya? Kamu bilang akan mengurus masalah kepergian." Ellios bertanya dengan tidak sabaran. Ia mengernyitkan dahinya dengan wajah yang tertutup oleh tudung.
Sebelum mereka berpisah di jalan tikus itu, Galeon menawarkan diri untuk mencari alternatif agar mereka bisa berpergian tanpa ketahuan, dan sekarang disinilah mereka berakhir.
"Saya sudah menghubungi kenalan saya yang bisa mengantar kita ke tujuan anda. Mungkin kita bisa berangkat saat subuh, Pangeran," jelasnya sambil tersenyum lebar.
"...." Ellios sedikit kecewa namun, ia juga tidak bisa berbuat banyak.
"Paman, jangan memanggil Tuan muda seperti itu! Bagaimana jika ada yang mendengarnya?!" Elena menyikut pinggang Galeon sambil berbisik sedikit keras.
"Oh! Maafkan saya. Lalu, saya harus memanggil anda apa saat diluar?" tanya Galeon pada Ellios.
Ellios berpikir sejenak lalu berkata, "Panggil Ellios saja. Setidaknya nama itu terlihat pasaran, bukan?"
Galeon dan Elena terlihat terkejut ketika Ellios mempersilahkan mereka memanggilnya nama dengan begitu santai.
Galeon langsung tertawa, sedangkan Elena hanya bisa terdiam dengan mata melebar.
"Anda sangat murah hati! Bagaimana bisa anda menyuruh kami memanggil anda seperti itu?" Tawa Galeon sedikit keras hingga membuat beberapa orang menoleh kearah mereka.
"Astaga, Tuan muda ...." Sedangkan Elena menunduk bingung.
Sedikit kekacauan itu membuat Ellios menghela napas. Namun, untunglah semuanya dapat dikendalikan kembali.
Pada akhirnya Galeon memesan dua kamar yang ada di kedai itu untuk mereka menginap hingga subuh.
Satu kamar khusus untuk Ellios, dan satu kamar untuk Galeon dan Elena.
Lalu, karena kebiasaan barunya yang selalu merapihkan tempat tidur yang akan digunakan oleh Ellios, akhirnya membuat Elena melakukan apapun sembari menunggu Ellios kembali dari kamar mandi.
Ketika bunyi klik terdengar, Elena langsung menolehkan kepalanya dan mendapati Ellios yang kembali dengan memakai baju yang begitu sederhana.
"Tuan muda, tempat tidur anda sudah siap."
Ellios menatap Elena dan berkata, "Sudah kubilang panggil Ellios saja. Bagaiman jika kamu keceplosan memanggilku seperti itu diluar sana?" Ellios berkata sembari bersedekap dada.
"Ta-tapi, Tuan muda ...."
"Ellios!" tegasnya kembali.
"Ba-baiklah ...." Elena menunduk dengan wajah sedikit canggung.
"Keluar. Aku ingin istirahat. Bangunkan aku saat waktunya tiba," perintah Ellios.
Elena menganggukkan kepalanya dan berkata, "Selamat beristirahat ... Ellios ...." Nadanya begitu canggung namun, Ellios Tidka mempedulikannya.
Setelah itu, Elena akhirnya keluar dari kamar Ellios. Namun, langkahnya dicegat oleh Galeon.
"Pangeran sudah tidur?" tanyanya.
Elena mengangguk. "Dia terlihat kelelahan."
"Tentu saja. Tubuh kecil seperti itu berniat untuk pergi ke pinggiran daerah sendirian. Kamu juga!" Galeon menunjuk dahi Elena dan berkata, "Bagaimana bisa kamu malah mendukung niatnya?" lanjutnya.
"...." Elena memundurkan kepalanya dan berkata, "Aku hanya ... Berpikir lebih baik bertemu, karena kita tidak tahu apakah itu pertemuan terakhir atau bukan ...." lirihnya. Elena kembali teringat akan Delia yang sudah tidak bisa ia temui lagi.
Kehidupan singkat bersama ibu terbaik yang pernah ia miliki di dalam hidupnya membuat ia senang sekaligus sedih. Namun, ia tidak bisa berlarut dalam kesedihan. Ibunya pun tidak akan suka melihat Elena putus asa seperti saat itu.
Tiba-tiba sebuah tangan menyentuh kepala Elena dan mengusap rambutnya dengan kasar. "Kamu mengalami hidup yang berat, El. Aku tidak tahu apa yang sudah kamu alami. Tapi, kamu hebat sudah bertahan hingga saat ini," ucap Galeon dengan senyum lebarnya.
Wajah Elena seketika tidak bisa ditahan untuk tidak terharu.
Benar. Ia sudah bertahan. Ia bertahan dari alur cerita yang begitu menyesakkan dirinya.
Dengan itu, Elena menganggukkan kepalanya kecil. Ada sedikit jejak air mata yang langsung Elena usap, dan itu membuat Galeon terkekeh kecil melihatnya.
"Kamu masih anak-anak tapi sudah bersikap dewasa. Jadilah seperti anak-anak, biar paman saja yang melindungi kalian!" Galeon menunjuk dirinya menggunakan ibu jarinya dengan begitu percaya diri.
Elena terkekeh geli dan berkata, "Lalu, apakah Paman akan melindungi kami jika kami diserang?" tanyanya dengan iseng.
"Tentu saja! Paman akan memasang badan untuk kalian jika saat itu tiba!!"
"Bahkan jika yang menyerang ada tujuh orang atau bahkan sepuluh?"
"Jangan meremehkan gelar kesatria terbaik yang aku emban!" jawabnya dengan sangat percaya diri hingga membuat Elena tak kuasa menahan rasa gelinya.
"Baiklah, kalau begitu mohon bantuannya, Paman!"
To Be Continued: