Nadira Elvarani yakin hidup pahitnya akan berakhir setelah menerima lamaran Galendra, lelaki mapan yang memberinya harapan baru.
Tapi segalanya berubah ketika ia terlibat skandal dengan Rakha Mahendra—anak bos yang diam-diam menginginkannya—menghancurkan semua rencana indah itu.
Di antara cinta, obsesi, dan rahasia, Nadira harus memilih: hati atau masa depan yang sudah dirancang rapi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon itsclairbae, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26 — Harga Diri yang Hilang, dan yang Takut Kehilangan
Rakha menghentikan mobilnya di depan gedung perusahaan berlantai empat dengan tulisan Astera Fashion House terpampang di fasad depan. Gedung itu milik keluarga Wiranegara dan kini dipimpin langsung oleh pewaris tunggalnya, Galendra Wiranegara.
Rakha datang bukan untuk menyatakan bahwa dirinya menang, atau memberi tahu bahwa Nadira telah menjadi istrinya. Ia datang untuk mengurus sesuatu yang bersifat pribadi di antara mereka—bukan untuk menyombongkan diri.
Rakha tahu, di balik pernikahan yang batal setelah persiapan nyaris rampung seratus persen, Galendra bukan hanya dirugikan secara perasaan. Ia juga kehilangan secara finansial, nama baik, dan harga diri. Terlebih, Galendra sendiri mengakui bahwa kegagalan itu disebabkan oleh kesalahannya—membiarkan masa lalunya mencium dirinya di hadapan calon istri, bahkan membiarkan perempuan itu mendatangi calon istrinya dan memintanya mundur.
Ketika Rakha hendak masuk, secara kebetulan Galendra keluar dari gedung itu. Jika dipikir-pikir, posisi mereka seperti mencerminkan tempat mereka dalam hidup Nadira—yang satu masuk, yang lain keluar.
Galendra yang melihat Rakha langsung mempersilakan lelaki itu masuk. Ia tahu, kedatangan Rakha ke sana tentu bukan tanpa alasan. Pasti ada sesuatu yang ingin dibicarakan.
“Kamu duluan saja. Saya ada urusan sebentar,” ucap Galendra kepada perempuan yang berjalan di belakangnya—yang diyakininya sebagai sekretaris.
Perempuan itu mengangguk patuh dan segera pamit. Sementara itu, Galendra mempersilakan Rakha untuk masuk.
“Kita bicara di dalam,” ujar Galendra, lalu melangkah lebih dulu memasuki gedung perusahaannya.
Rakha mengikuti Galendra dari belakang. Ia sedikit tidak menyangka Galendra masih bisa bersikap tenang saat menghadapinya, setelah semua yang terjadi—setelah ia tinggal satu vila dengan calon istri lelaki itu. Salah satu hal yang membuat Rakha merasa inferior adalah sikap Galendra yang lebih dewasa dan tenang dalam menyikapi berbagai hal.
Kini, keduanya berada di sebuah ruangan privat—ruangan yang hanya berisi mereka berdua, tempat yang mustahil bagi siapa pun untuk mencuri dengar percakapan mereka.
"Ada apa?" tanya Galendra langsung ke pokok persoalan. Ia memiliki pekerjaan setelah ini dan ingin segera menyelesaikan pembicaraan mereka.
Sikapnya yang tampak tergesa bukan karena marah kepada pria yang pernah tinggal satu vila dengan Nadira, melainkan karena memang ada urusan penting yang hanya bisa ia tangani sendiri.
"Berapa biaya yang sudah Anda keluarkan untuk pernikahan itu? Aku akan menggantinya," ucap Rakha. Urusan yang dimaksud lelaki itu memang soal kekacauan yang pernah ia buat.
Gagalnya pernikahan Galendra dan Nadira memang bukan sepenuhnya kesalahannya, tetapi ia ikut andil dalam kegagalan itu—bahkan diam-diam, ia yang paling berharap pernikahan itu tidak terjadi. Kini, ia merasa harus mengganti kerugian yang ditanggung Galendra.
Galendra mengetukkan jarinya di atas meja. Ia tidak memperlihatkan bahwa dirinya tersinggung oleh ucapan Rakha—meskipun jelas, ia tersinggung.
“Tidak perlu. Lagipula, kegagalan itu bukan karena ulah Anda, melainkan karena saya tahu Nadira masih butuh waktu untuk percaya. Dan saya akan menunggu waktu itu,” ucap Galendra.
Ia tidak tahu bahwa kesempatan itu sebenarnya sudah tertutup rapat—bahkan secuil celah pun tidak tersisa. Lelaki di hadapannya kini telah menjadi suami Nadira.
Bahkan, sebelum Rakha datang menemuinya, ia dan Nadira sudah tidur bersama. Dan satu hal yang membuat harapan Galendra sepenuhnya mustahil: Nadira tengah mengandung anak Rakha.
“Jadi, Anda masih berharap bisa memperbaiki semuanya dengan Nadira?” tanya Rakha, rahangnya mengeras.
Galendra masih mampu bersikap tenang meski mendengar pertanyaan yang menyinggung dari Rakha. Namun sebaliknya, Rakha tidak bisa bersikap tenang ketika tahu Galendra masih menyimpan harapan terhadap Nadira—perempuan yang kini menjadi istrinya.
“Itu ranah pribadi saya. Anda tidak perlu tahu,” ucap Galendra tetap tenang, meskipun lelaki di depannya mulai tampak tersulut emosi.
“Saya tahu Anda mencintai Nadira. Tapi apa pun yang terjadi antara saya dan Nadira, biarkan itu menjadi urusan kami,” tambah Galendra. Bukan bermaksud menyulut emosi Rakha, hanya saja ia merasa lelaki itu tidak perlu ikut campur.
Memang benar ia telah mengeluarkan banyak uang untuk pernikahan yang akhirnya batal. Tapi ia memilih menganggap semua itu sebagai pelajaran—bukan kerugian.
“Baik, kalau begitu.” Rakha berdiri dari kursinya. Emosinya sudah tidak bisa dibendung. Tanpa sepatah kata pamit, ia pergi begitu saja meninggalkan ruangan.
Galendra tidak mempersoalkannya. Ia paham, di usia seperti Rakha, mengendalikan sikap dan perasaan bukan hal yang mudah. Maka, ia memilih untuk memakluminya.
***
Mobil Rakha telah terparkir di area parkir apartemen Nadira, tetapi ia tidak kunjung turun. Ia takut emosinya saat ini justru akan melukai Nadira dan calon anak mereka.
Ia ingin bersikap tidak peduli pada kenyataan bahwa Galendra masih mengharapkan Nadira—namun, perasaannya sendiri sulit dikendalikan. Ia dihantui ketakutan: bagaimana jika Nadira benar-benar kembali kepada Galendra?
Rakha mencoba menenangkan diri dengan mengingat kedekatannya dengan Nadira—saat mereka berciuman, saat tubuh mereka menyatu, saat tangan Nadira membelai wajahnya, bahkan saat jemari perempuan itu menyentuh dadanya dengan lembut. Namun, kenangan itu tidak mampu menenangkan gejolak dalam dirinya. Semua itu tetap tidak menjamin bahwa Nadira tidak akan pergi meninggalkannya.
Jika perempuan itu orang lain, mungkin ia bisa lebih percaya diri. Ia lebih kaya dari Galendra. Tapi ini Nadira—perempuan yang tidak akan silau pada uang atau status, karena Nadira mampu berdiri di atas kakinya sendiri. Meskipun kini sedang tidak bekerja secara formal, Nadira bisa tetap menghasilkan uang dengan caranya.
Rakha mengecek ponselnya, berharap ada pesan dari Nadira yang mungkin mengkhawatirkannya karena belum juga pulang hingga hampir tengah malam. Namun, tidak ada satu pun pesan masuk. Padahal, ia sangat berharap Nadira memberinya kabar.
Ia terdiam lebih lama di dalam mobil, sampai akhirnya mengingat satu hal: Nadira bahkan telah membuang kartu SIM ponselnya, dan ponselnya pun entah di mana. Mungkin bukan karena Nadira tidak khawatir padanya, melainkan karena benar-benar tidak tahu bagaimana cara menghubunginya.
Tanpa berpikir panjang, Rakha segera keluar dari mobil. Ia setengah berlari menuju lantai tempat apartemen Nadira berada.
Di dalam lift, Rakha bersandar ke dinding logam yang dingin. Napasnya memburu, bukan karena kelelahan, tapi karena amarah yang masih mengendap dan rasa bersalah yang makin menghantam.
Kalimat Nadira kembali terngiang di benaknya—
“Tidak apa-apa, asal ingat pulang.”
Sederhana. Tapi justru karena kesederhanaan itulah, kalimat itu menghujam. Nadira tidak meminta banyak. Hanya kehadirannya.
“Sial,” desis Rakha, menekan wajahnya dengan telapak tangan. Ia merasa brengsek sudah membiarkan Nadira menunggu, tanpa kabar.
Begitu pintu lift terbuka dan ia tiba di lantai tempat apartemen Nadira berada, ia segera melangkah cepat menuju unit apartemen istrinya itu.
Tepat saat ia membuka pintu dan masuk ke dalam, sorot mata Nadira—yang sejak tadi menunggunya—membuat rasa bersalah dalam dirinya memuncak. Rasa itu jauh lebih besar daripada emosinya saat mengetahui Galendra masih menyimpan harapan terhadap Nadira.