Karena sebidang tanah, Emilia harus berurusan dengan pemilik salah satu peternakan terbesar di Oxfordshire, yaitu Hardin Rogers. Dia rela melakukan apa pun, agar ibu mertuanya dapat mempertahankan tanah tersebut dari incaran Hardin.
Hardin yang merupakan pengusaha cerdas, menawarkan kesepakatan kepada Emilia, setelah mengetahui sisi kelam wanita itu. Hardin mengambil kesempatan agar bisa menguasai keadaan.
Kesepakatan seperti apakah yang Hardin tawarkan? Apakah itu akan membuat Emilia luluh dan mengalah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 6 : Stacey (Lagi)
Hardin meletakkan cerutu di asbak, lalu mengeluarkan kotak kertas berisi roti kering dari sana. Roti yang biasa dirinya beli untuk sarapan, atau saat bersantai sambil menikmati secangkir teh hangat.
“Jadi, roti ini buatanmu, Emilia?” gumam Hardin, seraya memperhatikan makanan di hadapannya. "Konyol,” gumam pria itu lagi, seraya bersandar pada kursi.
Pikiran Hardin menerawang pada kejadian tadi pagi, ketika menemui Emilia di kediamannya. Sang pemilik Rogers Farm itu tersenyum samar, saat bayangan paras cantik Emilia menari-nari di pelupuk mata.
Namun, tiba-tiba senyum itu memudar, ketika Hardin teringat akan sesuatu. Dia langsung beranjak dari duduk. “Astaga! Stacey!” Hardin teringat pada cacing tanah yang diberikan Blossom. Dia jadi kebingungan karena lupa meletakkan hewan itu di mana. “Ya, ampun.”
Tanpa membuang waktu, Hardin bergegas keluar dari ruang kerja. Tak dipedulikannya cerutu yang masih menyala, begitu juga dengan roti di meja. Hardin harus menemukan kembali cacing tanah tersebut.
“Tuan,” sapa Albert, yang sengaja datang menghadap untuk memberikan laporan. Dia keheranan melihat sang majikan yang berjalan terburu-buru.
“Apakah Anda akan pergi, Tuan?” tanya Albert, tak jadi masuk ke ruang kerja. Dia justru mengikuti Hardin yang entah akan ke mana.
“Aku sedang sibuk. Lain kali saja.”
“Aku ingin melaporkan tentang suplai pupuk ….” Albert tak melanjutkan kalimatnya. Dia ikut menghentikan langkah, saat Hardin tertegun, lalu menoleh.
“Apa kau bisa membantuku?” tanya Hardin, seraya menatap aneh sang mandor, yang berusia beberapa tahun lebih muda darinya,
“Membantu apa, Tuan?” tanya Albert cukup tegang, berhubung melihat raut wajah serta tatapan Hardin yang begitu serius.
“Aku kehilangan sesuatu.”
“Apa, Tuan?” tanya Albert penasaran.
“Stacey,” jawab Hardin yakin.
“Stacey?” ulang Albert. “Seperti apa ciri-cirinya?” Dia bertanya seperti itu sambil membayangkan sosok wanita cantik bertubuh sintal, dengan dada membusung indah. Albert tersenyum nakal.
“Astaga." Hardin merasa konyol. Dia menyugar rambut cokelat gelapnya yang sedikit acak-acakan. “Ini bukan Stacey yang seperti itu,” ucap Hardin agak pelan. “Lupakan.”
Tak ingin mendapat pertanyaan aneh dari Albert, Hardin memilih meninggalkan sang mandor. Dia akan mencari Stacey seorang diri.
Namun, Albert sudah telanjur penasaran. Dia langsung menyusul sang majikan. “Biar kubantu mencari Stacey, Tuan,” ujarnya antusias.
Hardin yang berjalan sedikit tergesa-gesa, kembali tertegun.
“Jangan khawatir, Tuan. Aku tidak akan bicara pada siapa pun tentang Stacey."
Mendengar itu, Hardin sadar betul ke mana maksud ucapan Albert. Dia menoleh. menatap sang mandor dengan sorot tak dapat diartikan. “Baiklah. Carikan Stacey di sekitar peternakan. Cari sebanyak mungkin,” titahnya.
Seketika, Albert menautkan alis tak mengerti. “Memangnya, Anda membutuhkan berapa Stacey, Tuan? Aku tidak yakin bisa menemukan banyak gadis cantik di sekitar peternakan,” gumamnya ragu.
“Sudah kukatakan. Aku tidak mencari Stacey seperti yang kau bayangkan. Stacey adalah …. Astaga. Ini sangat konyol. Carikan aku cacing tanah!”
Bukannya melakukan tugas yang Hardin berikan, Albert justru hanya terpaku sambil menatap aneh. Dia tidak mengerti dengan ucapan sang majikan.
“Bukankah kau ingin membantuku mencari Stacey? Cepatlah! Carikan aku cacing tanah terbaik, lalu masukkan ke wadah. Pastikan hewan itu tetap hidup dan merasa nyaman.”
“I-iya, Tuan. Tapi, aku tidak bisa bahasa cacing. Bagaimana caranya mengetahui bahwa Stacey merasa nyaman?” Bukan hanya Hardin. Kali ini, Albert pun ikut terbawa konyol gara-gara Stacey.
“Terserah bagaimanapun caranya. Jika sudah, antarkan ke ruang kerjaku.” Berhubung tugas mencari Stacey sudah diambil Albert, Hardin bisa melakukan pekerjaan lain yang lebih masuk akal. Dia berlalu meninggalkan sang mandor, yang masih kebingungan.
Selang dua hari, Hardin memutuskan kembali menemui Emilia. Dengan dalih ingin membahas urusan tanah, sang pemilik Rogers Farm tersebut mengabaikan egonya.
Selama tinggal di London, Hardin tidak pernah dipusingkan oleh wanita. Dengan pesona yang dimilikinya, Hardin bisa memikat wanita manapun. Mereka kerap menuruti semua yang pria itu inginkan, tanpa harus bersusah payah.
“Aku memberikan Stacey rumah yang bagus,” ucap Hardin, ketika sudah berhadapan langsung dengan Emilia.
“Aku tidak yakin kau mau mengurusi hal kecil seperti itu,” ucap Emilia ragu.
“Putrimu menitipkan Stacey padaku. Jadi, aku harus menjaganya dengan baik.”
“Aku tidak yakin kau merawat Stacey yang sama.” Emilia kembali menanggapi ragu ucapan Hardin.
“Tentu tidak, Nyonya. Gerakannya sama persis seperti cacing yang putrimu berikan padaku,” ujar Hardin.
Seketika, raut wajah Emilia berubah. Ucapan Hardin membuatnya kembali teringat pada ocehan Blossom. Emilia jadi salah tingkah. Namun, wanita cantik 25 tahun ter#ebut berusaha menyembunyikan rasa kikuknya.
“Semua cacing bergerak sama, Tuan Rogers,” ucap Emilia cukup pelan.
“Mungkin. Aku jarang memperhatikan, meski sekarang mulai tertarik dengan itu.”
“Lupakan apa yang putriku katakan. Dia hanya mengada-ada.” Emilia ingin segera mengakhiri perbincangan konyol itu. Terlebih karena apa yang mereka bahas membuatnya malu di hadapan Hardin.
“Tentang apa, Nyonya?” Hardin menatap aneh, lalu tersenyum samar melihat ekspresi tak nyaman yang Emilia tunjukkan. “Baiklah, Nyonya. Lagi pula, maksud kedatanganku kemari bukan untuk membahas Stacey. Ada urusan yang belum selesai di antara kita.”
“Oh, tidak. Bagiku sudah cukup jelas, Tuan Rogers,” tolak Emilia.
“Mari bicarakan lagi secara baik-baik, Nyonya. Aku tidak akan merugikanmu ataupun Nyonya Meredith Olsen. Kupastikan itu.”
Emilia menggeleng pelan diiringi senyum agak sinis, sebagai pertanda ketidakpercayaannya akan ucapan Hardin. “Mulut pengusaha sepertimu sangat manis, Tuan Rogers.”
“Kau belum merasakannya, Nyonya,” celetuk Hardin asal. Sesaat kemudian, pria tampan bermata abu-abu itu menyadari ucapannya yang terkesan tidak sopan. “Maaf. Aku tidak bermaksud ….”
Emilia tidak menanggapi. Dia hanya menatap tak suka. Emilia melayangkan protes lewat sorot dingin, terhadap pengusaha asal London yang berdiri di hadapannya.
“Tim arsitek sudah merancang bangunan yang akan kudirikan di sini. Begitu juga dengan para pekerja. Aku ingin semua selesai sebelum musim dingin tiba. Jadi, tolong bekerja samalah, Nyonya,” bujuk Hardin sungguh-sungguh.
“Biasanya, aku tidak pernah turun tangan secara langsung untuk mengurusi masalah seperti ini. Entah kau dan ibu mertuamu merasa menang atau bagaimana. Satu yang pasti, aku mengabaikan segala hal untuk bicara dan membujuk kalian.”
“Kami sudah memberikan keputusan. Tidak ada yang memaksamu untuk terus datang dan membujuk seperti ini. Jika apa yang kau lakukan sekarang dianggap telah membuatmu kehilangan harga diri, maka berhentilah memaksa kami. Sampai kapan pun, ibu mertuaku tidak akan melepas harta peninggalan mendiang suaminya. Jadi, daripada kau terus membuang waktu, sebaiknya ….”
“Tuan Rogers! Berikan pekerjaan untuk putriku. Dia cantik dan bisa diandalkan." Tiba-tiba, Barbara O’Neal menghampiri Hardin dan Emilia.
Aku mikirnya jauh ya
upss..kok cacingan sih..