Seorang perempuan bernama Zainab Rahayu Fadillah memutuskan menikah dengan seorang pria bernama Hasan Bahri. Dia menerima pinangan itu, dikarenakan keluarga sang suami adalah keluarga dari turunan turunan seorang tuan guru di sebuah kota.
Zainab dan keluarga, jika mereka adalah dari keturunan baik, maka sikapnya juga akan baik. Namun kenyataannya bertolak belakang. Dunia telah menghukum Zainab dalam sebuah pernikahan yang penuh neraka.
Tidak seperti yang mereka pikirkan, justru suami selalu membuat huru hara. Mereka hampir setiap hari bertengkar. Zainab selalu dipandang rendah oleh keluarga suami. Suami tidak mau bekerja, kerjanya makan tidur dirumah. Namun penderitaan itu belum selesai, adik ipar dan juga ponakannya juga sering numpang makan di rumah mereka, tanpa mau membantu dari segi uang dan tenaga. Zainab harus berjuang sendiri mencari uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miftahur Rahmi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Harga diri
Pagi itu, wali dari Vino sudah datang kesekolah. Ia bukan orang tua Vino, melainkan paman dan bibinya.
Selama ia, sekolah di Bagan Siapi-api Ini, ia tinggal bersama pamannya.
“Mana guru yang bertanggung jawab atas kejadian ini? Anak saya dipukuli, dan kalian diam saja hah? Ini sekolah atau hutan.” tanya bibi Vino memasuki ruangan. Ia nampak marah.
Disampingnya berdiri sang suami dan juga Vino dengan senyum tipis mengukir diwajahnya.
“Ibu, tolong tenang... Kita bisa bicarakan baik-baik...” ucap kepala sekolah.
“Gimana mau tenang, pulang-pulang melihat anak saya babak belur...” jawabnya dengan geram
“Kami bisa jelaskan semuanya... Saat kami selidiki, Fatur memang sering menjadi korban perundungan dari teman-temannya. Kami khawatir, masalah ini mempengaruhi mental dan semangat belajarnya...” jelas Pak Haris.
“Apa kami, peduli dengan mental dia... Yang terpenting saat ini adalah keselamatan anak saya... Dia tidak pantas melakukan hal itu pada anak saya...” desis Bu Salma, menunjuk wajah Fatur yang masih terlihat babak belur.
Saat kemarin ia pulang, keluarga Bu Lina bertanya-tanya pada Fatur, kenapa wajahnya sampai babak belur seperti itu. Ia hanya menjawab, tidak sengaja terjatuh. Namun Fahri, tidak mudah percaya dengan kata-kata Fatur, ia bisa membedakan luka diakibatkan terjatuh, sama yang diakibatkan oleh pukulan seseorang.
Fatur mendesis pelan. “Apa perlakuan anak ibu pantas? Menghina anak orang?”
Mata Bu Salma membulat. “Hei kau, sudah salah malah melawan. Hormat sama orang yang lebih tua...” hardik Bu Salma.
“Saya diajarkan sopan santun sama orang yang lebih tua... Tapi tidak takut dengan orang yang lebih tua...” jawabnya dengan dingin.
Bu Salma terkekeh. “Apa yang, bisa dilakukan oleh orang miskin sepertimu?”
“Mempertahankan harga diri...” jawab Fatur tanpa rasa takut.
Bu Salma mendelik. “Saya minta anak ini dikeluarkan, ia tidak pantas bersekolah disini... Orang miskin sepertinya, hanya tahu buat huru hara... Jika tidak, saya akan bawa kejalur hukum. Dia akan dipenjara, karena telah memukul anak saya...”
Fatur terkekeh. “Lalu, bagaimana dengan anak anda yang memukul saya? Apa itu tidak bisa di proses?” tanya Fatur tersenyum dingin.
“Disini kau yang salah...” bentak Bu Salma.
“Kenapa saya yang salah?” sahut Fatur.
Suasana menjadi memanas.
“Kalau bisa, kita damai saja bu...” ujar Pak Haris selaku guru Bk.
“Jika anak ini bisa membayar 3 juta, maka masalah sampai disini saja...” ujarnya dengan sinis.
“Kenapa, ujung-ujungnya meminta uang sama orang miskin Bu? Gak malu, sama emas banyak yang ibu pake?” timpal Fatur.
“Kamu, mau masalah ini selesai nggak?” teriak Bu Salma emosi.
Fatur menatap Bu Salma dengan tenang, tanpa rasa takut sedikit pun. Lagi pula, ia sudah mendapat serangan sejenis ini. Ia sudah kebal.
“Masalah ini akan selesai, jika adil... Saya tidak akan membayar sepeser pun, karena saya tidak salah...”
“Lalu bagaimana cara menyelesaikannya?” tantang Bu Salma.
“Apakah semua masalah harus selesai dengan uang bu?” tanya Fatur dengan tenang, ia mencoba mempermainkan emosi Bu Salma.
Dengan bersikap tenang, kamu bisa mengendalikan situasi.
Bu Salma mendesah kasar. “Lalu, apa yang kau inginkan?” tanyanya lagi dengan suara semakin meningi.
“Dia tidak mengusikku lagi... Atau mayat dia yang akan keluar dari sekolah ini...”
Bu Salma membulatkan matanya. “Apa kau sedang mengancam kami hah? Kau tidak tahu siapa kami hah? Kau benar-benar mau dipenjara?”
“Saya tidak perlu tahu tentang anda ibu... Kita sama-sama manusia, sama-sama makan nasi juga, kenapa harus takut dengan anda?”
“Ibu tidak bisa meminta kami mengeluarkan Fatur, tanpa mempertimbangkan semuanya. Apalagi, keduanya saling memukul. Jadi keduanya salah...” jelas Pak Haris.
“Pokoknya saya mau dia dihukum. Saya tidak rela, anak saya dipukuli tanpa hukuman...” putus Bu Salma.
“Jika saya dihukum, anak anda juga harus dihukum. Itu baru adil. Jika mengharuskan saya harus bayar tiga juta, anda juga harus bayar pada saya sebanyak tiga juga pula...”
“Kau memeras saya?” bentak Bu Salma nampak tidak sabar menghadapi Fatur.
“Bukankah, sedari awal anda yang memerasa saya bu?” tanya Fatur lagi.
Pak Haris menarik napas panjang, begitupun kepala sekolah yang nampak mengurut keningnya.
“Saya tegaskan lagi pada Ibu, kami tidak bisa memutuskan suatu hukuman tanpa sesuai aturan sekolah. Kami tidak akan bertindak hanya karena tekanan dari pihak tertentu. Setiap tindakkan kami akan menentukan nama baik sekolah. Jadi, kami harus bertindak tegas dan adil. Lagi pula, kami juga harus mempertimbangkan mental anak-anak. Jangan sampai, sekolah ini malah menjadi tempat terganggunya mental anak-anak...” ucap kepala sekolah dengan tegas.
“Apa kalian sedang membela anak desa ini?” tanya Bu Salma dengan wajah memerah menahan marah.
“Tidak, kami hanya bersikap sesuai apa yang kami lihat dan kami dengar. Vino selalu melakukan perundungan terhadap Fatur. Jadi dua-duanya salah. Jadi tidak usah malah menyalahkan sepihak saja. Itu namanya tidak adil.” jawab Pak Haris dengan cepat.
“Saya tidak mau tahu, saya akan lapor polisi sekarang...” ancam Bu Salma mengambil ponsel dari dalam tasnya.
Kepala sekolah dan Pak Haris berusaha mencegah, namun Fatur melarangnya.
“Biarkan saya pak, saya mau lihat seperti apa polisi yang beliau panggil...” kekeh Fatur meremehkan Bu Salsa.
“Kau meremehkan saya?” tanya Bu Salsa, yang kini mau mengambil ponsel dari dalam tasnya, menjadi tidak jadi. Ia menatap Fatur sinis.
“Kau, benar-benar menguji kesabaran saya ya...” sinis Bu Salsa.
“Saya hanya, memberikan kesempatan untuk ibu membuktikan bahwa ibu bisa mendatangkan polisi disini.” kekeh Fatur yang harga diri Bu Salsa seperti tercabik-cabik.
Eva dan As ada disana. Kedua wanita itu memandang kagum Fatur yang berani melawan Bu Salsa. Bahkan ia datang kesekolah tanpa walinya. Ia datang sendiri. Sungguh mental yang hebat.
“Saya, akan tetap lapor polisi... Polisi akan datang menangkapmu...” ujar Bu Salsa menunjuk wajah Fatur. Fatur tertawa dengan keras.
“Berapa, hari yang dibutuhkan bu memanggil polisi? Saya, akan tetap menunggu polisi itu datang...” tanya Fatur dengan nada mengejek. As tersenyum puas melihat Bu Salsa semakin terpojokkan.
“Dan yang harus ibu tahu juga, Fatur Hasan Bahri itu memiliki teman seperti saya, yang siap membayar pengacara dan polisi untuk menangkap balik keluarga ibu dan anak ibu itu...” sahut As dengan nada menantang.
Sedari tadi, ia berdiri dibelakang Fatur mendengar semua apa yang mereka debatkan.
“Kau dan sama teman-temanmu sama saja. Sama-sama tidak memiliki sopan santun...” desis Bu Salsa. As terkekeh.
“Mending ajarin dulu bu, anak ibu tentang sopan santun, baru mengatai anak orang...”
Seketika tawa As meledak, diikuti tawa teman-temannya yang lain, yang juga berpihak padannya dan Fatur.
“Awas kalian ya... Polisi bakal datang menangkap kalian...” ketusnya sambil meninggalkan ruangan itu.
“Kami tunggu bu...” sahut As dengan tengil.
salam kenal ya, jgn lupa mampir di 'aku akan mencintaimu suamiku' 🤗🤗
aku akan datang kalo udh UP lagi 😉
jangan lupa untuk mampir juga yaaa makasihhh