NovelToon NovelToon
Legenda Kaisar Roh

Legenda Kaisar Roh

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi Timur / Spiritual / Reinkarnasi / Roh Supernatural / Light Novel
Popularitas:792
Nilai: 5
Nama Author: Hinjeki No Yuri

Di tepi Hutan Perak, pemuda desa bernama Liang Feng tanpa sengaja melepaskan Tianlong Mark yang merupakan tanda darah naga Kuno, ketika ia menyelamatkan roh rubah sakti bernama Bai Xue. Bersama, mereka dihadapkan pada ancaman bangkitnya Gerbang Utama, celah yang menghubungkan dunia manusia dan alam roh.

Dibimbing oleh sang bijak Nenek Li, Liang Feng dan Bai Xue menapaki perjalanan berbahaya seperti menetralkan Cawan Arus Roh di Celah Pertapa, mendaki lereng curam ke reruntuhan Kuil Naga, dan berjuang melawan roh "Koru" yang menghalangi segel suci.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hinjeki No Yuri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Menjalani Hari di Desa dan Menyembuhkan Luka Raga dan Jiwa

Mentari pagi yang menyelinap masuk melalui celah atap ilalang Desa Bayangan. Tetesan air dari pancuran bambu di halaman berpadu dengan kicauan burung hutan di kejauhan, kesunyian yang kontras dengan kekacauan di reruntuhan Kuil Naga. Di beranda gubuk sederhana Nenek Li, Liang Feng duduk bersila, dia terlihat hati-hati membalut lengan kiri yang masih memerah dengan kain linen bersih. Di bawah perban, bekas cakaran Roh yang masih menganga akibat pertempuran sengit kemarin, membentuk garis-garis tajam di kulitnya. Di sampingnya, Bai Xue terbaring di atas tikar jerami, bulu peraknya kusam, tertutup debu dan serpihan sisik gelap.

Nenek Li muncul dari dalam gubuk, membawa mangkuk kayu lakir berisi rebusan akar kelinci yang mengepul dengan aroma kayu dan rempah-rempah hutan yang menenangkan indera semua orang yang menghirupnya. Di tangan lain, ia menggenggam gulungan kain sutra murni yang telah dicampuri salep penyembuh berkristal dan sepotong kristal halus yang dapat menyembuhkan luka. “Minumlah ini, Nak.” suaranya lembut, menenangkan seperti angin pagi. Ia menepuk bahu Liang Feng dengan jari-jari keriputnya namun dengan hati-hati. “Tubuhmu butuh energi, sedangkan hatimu butuh ketenangan.”

Liang Feng mengangkat mangkuk dengan kedua tangan. Kehangatan cairan menyusup hingga telapak tangan sebelum hingga ke bibirnya. Aroma akar kelinci yang manis dan siraman sari-sarinya mengalir ke kerongkongan ya, mengendurkan nyeri otot dan tulang. Ia menutup mata sejenak, menikmati setiap tegukan. Matanya kemudian melirik ke arah Bai Xue, yang mengedipkan matanya perlahan, dia terlihat jelas kelelahan dari sorot matanya.

“Apa kabarmu, sahabatku?” tanyanya pelan, nada suaranya mengandung perhati­an dan rasa syukur.

Bai Xue mengangkat kepalanya, bulu-bulunya bergoyang saat ia menoleh. Sekali sentakan ekor, ia seolah menjawab: “Aku baik… namun luka di jiwaku masih terasa sakit.” Lewat bisikan telepati, ia berbagi ingatan soal pertempuran, pengkhianatan Shen Wu, dan beban tanggung jawab yang semakin berat.

Di dalam gubuk, Nenek Li menata beberapa piring keramik kecil di atas meja yang berukuran pendek terdapat beberapa ramuan penyembuhan disana yang sudah disiapkan oleh Nenek Li seperti bubuk esensi perak, distilat kelopak teratai dan serbuk air mata ambar. Ia mencelupkan potongan kain sutra ke dalam campuran perak pucat sebelum melilitnya di sayap Bai Xue. Setiap lapisan salep berpendar samar-samar, memancarkan kehangatan yang meresap, menyatukan bulu yang terkoyak dan menenangkan jiwa yang terluka. Pernapasan Bai Xue melambat saat energi penyembuh menyebar ke tulang dan bulunya.

Di beranda, dua relawan desa berlutut di sisi Liang Feng, secara lembut memijat salep cendana ke lekuk-lekuk bekas cakaran Roh jahat dalam pertempuran sebelumnya. Salah satu relawan yaitu seorang pemuda berpandangan tulus bertanya dengan suara bergetar, “Liang Feng, akankah koru di alam roh benar-benar memudar suatu hari nanti?” Kata-katanya menengadah pada ingatan pertempuran.

Liang Feng terdiam sejenak, membiarkan aroma cendana menenangkan pikirannya. Ia menawari senyum meski nyeri masih mengintai di balik tulang iganya. “Kita tidak boleh meremehkan kekuatan roh yang terkorusi.” ujarnya. “Namun kita juga tak boleh lupa bahwa cahaya dapat menembus kegelapan terdalam. Setiap luka yang kita sembuhkan menguatkan kita untuk ujian-ujian berikutnya.”

Seorang anak kecil mencongkel di ujung beranda, menirukan sikap perisai naga dengan setumpuk jerami. Suaranya parau saat ia berkacak pinggang dan berseru, “Aku, Pejuang Perisai Naga, melindungi desa!” Pemandangan itu mengundang senyum tipis di bibir Liang Feng. Ia terkekeh, teringat masa kecilnya sebelum takdir menuntunnya menjadi pejuang roh, bermain di tepi sungai dengan pedang kayu sederhana.

Setelah makan siang sederhana berupa kue ketan, sayuran pegunungan asin dan sisa rebusan penyembuh, para relawan berkumpul di meja pendek. Nenek Li memimpin meditasi singkat dengan kondisi mata terpejam, hati terpusat, setiap penduduk membayangkan energi murni mengalir melalui tubuh mereka seperti cahaya cair. Liang Feng bergabung, memusatkan perhatian pada aliran napas. Di benaknya bergulung gambaran reruntuhan kuil, kilatan pedang Shen Wu dan jeritan sunyi roh yang dikalahkannya. Dengan setiap hembusan napas, ia melepaskan ingatan menyakitkan ke dalam gema mantra lembut Nenek Li.

Saat mereka membuka mata, Bai Xue merapat ke pangkuannya, bulunya bergesekan pelan. Ia menekan kepalanya ke dada Liang Feng dan mengirimkan gelombang kehangatan melalui ikatan mereka. “Kita telah menahan kegelapan.” bisik telepati-nya, “dan kita akan bangkit lebih kuat.” Liang Feng mengelus bulu di kepalanya, jari-jarinya meraba helai yang masih terasa sejuk. Ia merasakan gelombang syukur yang mendalam untuk sahabat setianya itu, dia roh yang menjahit jiwanya sekuat salep mana pun.

Menjelang sore, Liang Feng dan Bai Xue berjalan di sepanjang jalur sempit di tepi sungai. Airnya begitu jernih hingga kerikil halus dan ikan-ikan kecil tampak jelas, sementara sinar matahari senja mengubah permukaan menjadi lahar keemasan. Tanpa sepatah kata, Bai Xue meloncat maju, bulu peraknya menangkap cahaya, lalu berlari kembali padanya, ekornya menyapu memberi isyarat. Liang Feng tertawa, mengejarnya, ketegangan pertempuran dan pengkhianatan terlarut dalam kegembiraan mereka. Tawa mereka berpadu dengan gemerisik rumput dan teriakan bangau di kejauhan.

Di bawah pohon willow raksasa, cabangnya merunduk hingga mengusap sungai, Liang Feng berlutut dan membelai bulu lembut di sekitar paruh Bai Xue. “Terima kasih.” katanya, suaranya parau namun tulus. “Karena telah menyelamatkanku dan mengingatkanku mengapa aku bertarung. Bukan untuk balas dendam… melainkan untuk harapan.”

Bai Xue menundukkan kepala, menyentuhkan paruhnya ke telapak tangannya, mengirimkan gelombang kehangatan lagi. Dalam keheningan komunikasi itu, manusia dan roh meneguhkan ikatan mereka yang terbentuk dalam konflik dan ditempa oleh kepercayaan tak tergoyahkan.

Saat senja berganti malam, mereka kembali ke gubuk Nenek Li. Di atas meja kayu pendek di samping alat tenunnya, teko porselen mengepul. Nenek Li menuang dua cangkir teh bunga sakura yang dipermanis madu hutan. Cairan merah muda itu berkilau di cahaya lampu minyak. “Minumlah ini setiap malam,” sarannya, matanya yang lelah memantulkan sinar lampu. “Hati yang tenang adalah perisai terkuat yang bisa kau bawa.”

Liang Feng memegang cangkir hangat dengan kedua tangan, menghirup harum bunga. Di meja tergeletak buku catatannya tentang mantra roh dan upacara suci. Ia membukanya, meninjau catatan dengan isi mantra yang diperbarui, simbol pelindung dan cara memurnikan energi yang tercemar. Bai Xue melompat di sampingnya, mengetuk-ngetuk ekornya di atas halaman terbuka seolah menjaga rencana mereka.

Ia tersenyum, melacak tinta pudar dengan ujung jari, merasakan tujuan yang memenuhi dadanya. Meskipun bekas luka tajam yang tampak dan yang tersembunyi mengiringi mereka, ia dan Bai Xue telah menemukan penyembuhan di desa sederhana ini. Tubuh mereka yang pernah terkoyak oleh roh pengacau, hati mereka yang terluka oleh pengkhianatan, dimana keduanya kini dalam proses pemulihan.

Di luar, kunang-kunang memulai tarian malam, berkedip bagaikan lentera kecil di kegelapan hutan. Penduduk desa telah kembali ke rumah masing-masing dan keheningan tengah malam menyelimuti Desa Bayangan. Dalam cahaya lampu remang-remang, dua penjaga yaitu daging dan roh saling duduk tegak, merawat luka dan merajut harapan.

1
Oertapa jaman dulu
Menarik dan berbeda dg cerita lainya
Awal cukup menarik... 👍👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!