Jangan main HP malam hari!!!
Itu adalah satu larangan yang harus dipatuhi di kota Ravenswood.
Rahasia apa yang disembunyikan dibalik larangan itu? Apakah ada bahaya yang mengintai atau larangan itu untuk sesuatu yang lain?
Varania secara tidak sengaja mengaktifkan ponselnya, lalu teror aneh mulai mendatanginya.
*
Cerita ini murni ide penulis dan fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, dan latar itu hanyalah karangan penulis, tidak ada hubungannya dengan dunia nyata.
follow dulu Ig : @aca_0325
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mapple_Aurora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23 : Ada yang mati lagi
Malam ini langit cerah, bulan setengah lingkaran menyendiri diantara ribuan bintang yang mengelilinginya.
Di halaman belakang rumah Varania, ada taman bunga sederhana, ayunan kayu yang di pasang pada dua batang pohon jambu. Gadis itu duduk diatas ayunan sembari menulis sesuatu dalam buku kecilnya.
Ia menulis banyak hal, kenangan bersama ibunya, Celine, lalu kenangan saat masih sekolah. Semuanya sangat berarti. Semakin ia mengingatnya lalu menuangkan dalam bait-bait aksara semua itu terasa sangat jauh.
“Seharusnya aku tidak menyalakan ponsel malam itu. Sudah beberapa hari, tapi masih belum ada kabar dari pihak kampus.” Varania merenung sendirian sambil menatap bulan.
“Ayah…jika ayah ada disini, akankah ayah memberiku solusi yang lebih baik?” Tanya Varania tersenyum getir. Wajah ayahnya yang sudah pergi bertahun-tahun, terbayang kembali dalam kepala. Pria yang selalu menatapnya hangat dan penuh kasih sayang.
Ayahnya berbeda dari ibunya. Matilda terkadang tampak sebagai orang asing, terkadang juga masih sama dengan sosok ibunya. Tapi, ayahnya, selalu sama, tak pernah berubah bahkan sampai kematian menjemputnya.
Dan perubahan ibunya semakin terlihat setelah ia melanggar larangan kota. Varania merasa takut saat ibunya terlihat dingin.
Kriettt!
Pintu belakang terbuka lebar, lalu Matilda berdiri di ambang pintu dengan pakaian hitam dan ikat kepala yang senada.
Varania mengernyit, bingung. Ada yang meninggal?
“Vara, ayo ikut ibu ke rumah duka.” Kata Matilda menghampiri Varania yang kebingungan.
“Ada yang meninggal, Bu?” Tanya Varania.
“Iya, kita harus cepat. Ganti baju sekarang, ibu tunggu di depan.” Perintah Matilda.
“Iya, Bu.”
Varania bergegas masuk. Tak mau membuat ibunya murka, Varania memakai baju dan ikat kepala asal-asalan.
Ia hendak langsung keluar, tapi saat melihat ke cermin, kulitnya bertambah pucat. Tidak bisa! Ia tidak bisa keluar seperti ini, ibunya bisa curiga.
Dengan cekatan Varania memakai make up, tak lupa kacamata hitam untuk menyembunyikan matanya yang redup.
Setelah itu, Varania keluar dan mendapati ibunya di dekat pagar sedang mengobrol dengan Paman Boyd.
“Selamat malam, Paman.” Sapa Varania.
“Malam, Vara. Kamu tidak keberatan kan kalau aku berjalan bersama kalian ke rumah duka?” Paman Boyd membalas dengan ramah, tak lupa mengajukan pertanyaan setengah bercanda.
“Tidak-”
“Kita harus bergegas,” kata Matilda memotong omongan Varania.
Senyum Varania langsung luntur, ia mengikuti dari belakang. Ibunya kembali dingin. Ya, sudah biasa sebenarnya. Kebanyakan orang di kota ini akan bersikap dingin saat ada yang meninggal. Hanya beberapa orang yang tidak, salah satunya ia dan yang lainnya mungkin Paman Boyd.
Varania penasaran siapa yang meninggal, dan kenapa jenazahnya di urus tengah malam? Biasanya selalu di lakukan di siang hari.
Saat tiba di rumah duka, sudah banyak orang yang datang. Varania mengedarkan pandangannya, ia melihat Fardan duduk bersama Celine. Keduanya menatap fokus ke depan dan tidak menyadari kedatangan Varania.
Varania bersama ibunya dan Paman Boyd duduk di kursi di belakang Fardan.
'Mungkin malam ini aku harus memeriksa beberapa pintu di rumah panjang.’ kata Varania dalam hati. Ia tidak punya banyak waktu, ia harus secepatnya menemukan makam leluhur kota.
Varania mengamati ruangan. Anehnya, bayangan itu bisa menampakkan diri di manapun, tapi, dia tidak pernah menampakkan diri dalam ruangan ini.
Setengah jam kemudian, pintu putih terbuka, Birsha keluar menuntun seorang pria paruh baya yang sudah di mandikan dan di pakaikan pakaian terbaik.
Itu bapak yang tadi!
Varania membelalakkan mata. Terkejut. Bapak itu adalah orang yang ia temui di perbatasan, orang itu juga yang memberitahunya rumah Nenek berambut merah.
‘Bagaimana mungkin? Dia tadi sangat sehat.’ bisik batin Varania. Sangat aneh.
Kematian memang bisa datang kapan saja, namun untuk yang satu ini Varania yakin ada yang tidak beres dengan kematiannya.
Nenek Elizabeth,
Samuel,
Nenek berambut merah,
Lalu, sekarang bapak ini.
Naluri Varania mengatakan keempat orang ini memiliki sebuah kesamaan, atau mungkin semacam hubungan.
‘Sambil mencari makam leluhur, aku juga akan mencari tahu apa hubungan antara keempat orang ini.’
Birsha melewati tempat duduk Varania, ia memperhatikan jenazah itu dengan seksama. Wajahnya pucat pasi, bibirnya sedikit menghitam.
Bibirnya menghitam.
Varania mengingat-ingat kembali jenazah Nenek Elizabeth, apakah saat itu bibirnya juga menghitam? Varania menggeleng, Nenek Elizabeth adalah kematian paling normal. Namun, juga memiliki kejanggalan, saat itu jarinya bergerak ketika duduk di kursi depan.
Samuel juga tidak. Dia juga seperti orang mati pada umumnya, hanya saja kematiannya terlalu aneh. Varania juga mendapatkan pesan mengerikan tentang pria itu.
Varania terus melihat Birsha menuntun jenazah itu kembali ke depan, bahkan sampai mayat itu duduk, ia masih belum percaya bahwa bapak yang tadi sore bertemu dengannya telah meninggal dunia.
...***...