Prolog:
Claretta Fredelina Beryl adalah seorang wanita dewasa yang belum juga menikah di usianya yang ke 28 tahun.
Dan karena itu Letta sering kali di teror dengan pertanyaan "kapan nikah?" Bahkan keluarga besarnya sampai mengatur sebuah perjodohan dan kencan buta untuknya, tapi dengan tegas Letta menolaknya namun tetap saja keluarganya menjodoh-jodohkannya.
Tanpa keluarga Letta ketahui, sebenarnya Letta mencintai seorang pria namun sayangnya pria itu bukanlah pria yang berstatus lajang. Yah, Letta mencintai seorang pria yang sudah menjadi seorang suami. Meskipun Letta mencintai pria itu Letta tidak pernah memiliki niat untuk menjadi orang ketiga dalam hubungan pria itu.
Lalu bagaimana jika tiba-tiba Letta berubah pikiran? Apa yang menyebabkan Letta berani menjadi orang ketiga di rumah tangga yang harmonis itu? Yuk simak ceritanya!
Selamat Membaca Guy's!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leo.Nuna_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 06 (Di Antara Dua Masa)
Happy Reading (。•̀ᴗ-)✧
⋇⋆✦⋆⋇
Kini Letta telah berada di kantor cabang perusahaan Beryl Escapes di daerah A. Setelah pertemuan tak terduga dengan Zidan di lokasi proyek, ia langsung meminta Etan untuk mengantarnya ke kantor, meskipun agenda peninjauan proyek pembangunan hotel belum sepenuhnya selesai.
Begitu tiba, Letta langsung menuju ruangan kerja yang telah disiapkan untuknya. Ia melangkah masuk dengan langkah pelan, lalu duduk di kursi kerja yang menghadap ke jendela besar. Namun, alih-alih membuka laptop atau meninjau dokumen, Letta hanya terdiam.
Pandangannya kosong menatap ke luar jendela, tetapi pikirannya sibuk memutar kembali kejadian pagi tadi — saat matanya secara tak sengaja menangkap sosok yang begitu dikenalnya, sosok yang telah lama terkubur dalam ingatan: Zidan Ardiansyah.
Tanpa sadar, Letta mengangkat tangan kanannya dan meletakkannya di dada, tepat di atas jantung yang berdetak tak beraturan.
“Sepuluh tahun berlalu… tapi rasanya masih sama,” gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan pada diri sendiri.
Perasaan lama yang sempat ia kira telah terkubur rapat, perlahan muncul kembali — membawa serta luka, tanya, dan sisa-sisa kenangan yang belum benar-benar usai.
Tok... tok...
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Letta. Ia segera menetralkan ekspresinya dan menjawab dengan tenang, "Masuk."
Pintu terbuka, menampilkan sosok Etan yang masuk sambil membawa beberapa berkas di tangannya.
"Ini beberapa laporan yang Nona minta," ucap Etan sambil meletakkan dokumen-dokumen itu di atas meja kerja Letta.
Letta mengangguk pelan tanpa berkata apa-apa.
"Ada lagi yang Nona butuhkan?" tanya Etan sopan, sebelum berbalik untuk pergi.
Letta menggeleng ringan. "Tidak, terima kasih."
Etan memberi hormat kecil, lalu berbalik menuju pintu. Namun baru beberapa langkah, suara Letta kembali terdengar, menghentikan langkahnya.
"Etan," panggil Letta pelan namun tegas.
Etan menoleh, menunggu instruksi. "Tolong berikan aku daftar lengkap para pekerja yang terlibat dalam proyek pembangunan hotel."
Etan sempat terlihat bingung mendengar permintaan itu. Biasanya, Letta tidak pernah turun langsung sampai ke hal-hal teknis seperti ini. Tapi ia tahu, jika Nonanya sudah meminta, maka tak ada ruang untuk bertanya terlalu banyak.
"Baik, Nona. Akan segera saya siapkan," jawabnya singkat, lalu kembali melanjutkan langkahnya keluar dari ruangan.
Letta kembali bersandar di kursinya. Kali ini matanya tak lagi memandangi jendela, tapi tertuju pada dokumen di mejanya.
Meskipun pikirannya masih tertinggal di lapangan proyek tadi—di sosok Zidan, yang kini kembali hadir di dunia nyata setelah sekian lama hanya hidup dalam ingatan.
Di tempat lain, sama seperti Letta, Zidan tengah menikmati waktu istirahatnya. Namun pikirannya tak bisa lepas dari pertemuan tak terduga pagi tadi.
Sosok Letta—gadis yang dulu sering muncul tanpa aba-aba di hidupnya—kembali hadir, membangkitkan kenangan masa putih abu-abu yang sudah lama ia kubur dalam-dalam.
Meski tidak ada kisah manis di antara mereka, masa-masa itu tetap membekas — seperti noda samar yang tak pernah benar-benar hilang.
Zidan menghela napas pelan. Tanpa sadar ia mulai membandingkan Letta masa lalu dengan Letta yang baru saja ia temui. Letta yang dulu ceria, penuh semangat, dan selalu tampil memukau di antara keramaian... kini tumbuh menjadi wanita dewasa yang anggun dan mempesona. Tetap cantik, tapi dengan aura yang lebih tenang dan elegan.
Terlalu larut dalam pikirannya sendiri, Zidan tidak menyadari kehadiran seorang wanita yang sejak tadi melangkah mendekatinya. Wanita itu tampil mencolok—berpakaian modis, dengan riasan yang tampak mewah, meski Zidan tahu betul bahwa kenyataan hidupnya tak seindah penampilannya.
"Mas!" panggil wanita itu.
Panggilan itu sontak menyadarkan Zidan dari lamunannya. Beberapa rekan kerja yang duduk tak jauh darinya ikut menoleh ke arah sumber suara.
Zidan menoleh dengan alis sedikit terangkat, tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. "Felicia..." gumamnya lirih.
Tanpa pikir panjang, Zidan segera menghampiri wanita itu—Delina Felicia, istrinya. Wanita yang dinikahinya lima tahun lalu, dan satu-satunya alasan mengapa dulu ia menolak perasaan Letta.
"Kamu ngapain ke sini, sayang?" tanya Zidan lembut, menatap wajah wanita yang masih mengisi hatinya hingga kini.
Alih-alih menjawab, Felicia langsung menyodorkan tangannya ke arah Zidan. "Aku mau minta uang," ujarnya ringan, tanpa ragu.
Zidan mengerutkan dahi. “Uang? Bukannya aku sudah kasih uang belanja buat sebulan penuh?” tanyanya bingung, karena sejauh yang ia tahu, semua uang yang ia punya memang sudah diberikan kepada istrinya.
Felicia mendengus pelan. “Ck, uang itu nggak cukup. Hari ini aku ada acara arisan bareng teman-teman. Aku butuh uang tambahan.”
Zidan menatapnya sejenak, mencoba menahan kecewa yang mulai merayap. "Sayang, kamu tahu sendiri mas baru kerja beberapa hari di sini. Mas nggak pegang uang lebih sekarang."
Felicia menyilangkan tangan di dada, wajahnya berubah masam. “Jadi mas nggak mau kasih aku uang?”
“Bukan nggak mau...” Zidan mencoba menjelaskan dengan sabar. “Tapi memang sekarang mas bener-bener nggak ada uang lagi. Nanti kalau gajian, mas pasti langsung kasih.”
Felicia mendengus kesal, matanya menyipit, sementara rekan kerja Zidan yang sempat melirik kini kembali sibuk dengan urusan masing-masing, pura-pura tak mendengar percakapan pasangan itu.
"Selalu begitu. Alasan klasik: 'Nggak ada uang'," sindir Felicia tajam, suaranya menyisakan luka lebih dalam dari yang bisa ditampakkan Zidan di wajah.
“Aku tuh capek, Mas,” lanjutnya dengan suara meninggi. “Capek hidup susah terus. Teman-temanku bisa ke salon tiap minggu, beli tas baru tiap bulan. Sedangkan aku? Harus nunggu kamu gajian cuma buat beli lipstik!”
Zidan terdiam. Kepalanya sedikit menunduk, menahan gejolak dalam dada yang makin sesak. Bukan hanya karena kata-kata Felicia yang menusuk, tapi karena ia tahu, tak ada penjelasan logis yang bisa meredakan kemarahan seperti itu.
Ia mencintai Felicia sepenuh hati, namun tuntutan demi tuntutan yang terus datang tanpa jeda mulai membuat hatinya lelah.
“Maaf,” ucapnya lirih, suaranya nyaris tenggelam dalam bising sekitar. "Mas janji, setelah ini mas bakal berusaha lebih keras lagi. Tapi untuk sekarang... sabar dulu, ya?”
Felicia tidak menjawab. Ia hanya mendengus pelan, lalu berbalik tanpa sepatah kata pun. Langkahnya cepat dan penuh amarah, meninggalkan jejak aroma parfum mewah yang menyengat—dan menyisakan rasa getir yang menyesak di dada Zidan.
Zidan berdiri mematung, menatap punggung istrinya yang menjauh. Hatinya berat. Ini bukan pertama kalinya mereka bersitegang karena hal serupa, dan entah kenapa, setiap pertengkaran terasa lebih menyakitkan dari sebelumnya.
TBC...