Follow IG 👉 Salsabilagresya
Follow FB 👉 Gresya Salsabila
"Aku tidak bisa meninggalkan dia, tapi aku juga tidak mau berpisah denganmu. Aku mencintai kalian, aku ingin kita bertiga hidup bersama. Kau dan dia menjadi istriku."
Maurena Alexandra dihadapkan pada kenyataan pahit, suami yang sangat dicintai berkhianat dan menawarkan poligami. Lebih parahnya lagi, wanita yang akan menjadi madu adalah sahabatnya sendiri—Elsabila Zaqia.
Akan tetapi, Mauren bukan wanita lemah yang tunduk dengan cinta. Daripada poligami, dia lebih memilih membuang suami. Dia juga berjanji akan membuat dua pengkhianat itu merasakan sakit yang berkali lipat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tertangkap Basah
Elsa tak menghabiskan waktu lama di kamar mandi, hanya beberapa menit saja. Lantas, dia keluar dan menemui Ezra yang saat itu sudah bertelanjang dada.
Dengan senyuman dan kerlingan nakal, Elsa menghampiri Ezra. Dia duduk di pangkuan lelaki itu sambil mengalungkan tangan di lehernya.
"Hmm, sangat wangi. Benar-benar menggoda," puji Ezra ketika meraih jemari Elsa dan menciumnya.
"Biar kamu senang harus selalu wangi, 'kan?" Elsa mendekatkan wajahnya, hingga nyaris tak ada jarak di antara mereka.
"Iya, kamu benar. Tapi ... apa aku pun sudah menyenangkan kamu?" tanya Ezra sambil menatap dalam-dalam.
"Tentu saja. Bersama kamu aku sangat senang." Elsa tersenyum lebar.
"Benarkah?" Ezra mengulurkan tangan dan mengusap lembut ujung bibir Elsa. "Jika dibandingkan Jeevan, lebih menyenangkan mana?" sambungnya.
"Haruskah aku jujur?"
"Iya."
"Lebih menyenangkan kamu. Kemampuannya tidak ada separuh kemampuanmu. Kamu luar biasa, Ezra," jawab Elsa.
Dia mengutarakan sanjungan yang tidak sepenuhnya benar. Dalam hal intim, Jeevan memang kalah jauh. Namun, dalam hal lain tetap Jeevan yang paling unggul. Elsa pun lebih nyaman bersama Jeevan. Hanya saja dia sedang bekerja sebagai simpanan, sudah sepatutnya menyenangkan pasangan yang sekarang. Terlebih lagi, Ezra akan memberikan uang tambahan. Elsa akan memanfaatkan kesempatan itu untuk mendulang rupiah yang lebih banyak.
"Kamu merayuku, Sayang?" ujar Ezra diiringi embusan napas berat, seolah menahan sesuatu yang siap meledak.
"Tidak, aku hanya___" Elsa sengaja menggantung kalimatnya dan malah meneruskannya dengan sentuhan bibir.
Perlakukan Elsa membuat hasrat Ezra makin menggebu. Aliran darah di tubuhnya memanas seiring detak jantung yang berpacu cepat. Kesadaran Ezra mulai dikuasi hawa na*su.
"Sayang___"
"Ssst," pungkas Elsa seraya menempelkan telunjuk di bibir Ezra. Lalu, dia mendorong pelan tubuh Ezra hingga telentang di ranjang.
Di antara embusan napas yang berbaur bebas, Elsa dan Ezra saling membentangkan jalan untuk menuju nirwana cinta. Namun, ketika keduanya siap melangkah tiba-tiba pintu kamar diketuk kasar dari luar.
"Bi Rini apaan sih, ganggu orang aja," gerutu Ezra. "Sayang, tolong bilangin dia dong, aku telanjur gini."
Elsa mengangguk dan menuruti perintah Ezra. Dia bangkit dan berjalan menuju pintu sambil membetulkan dress yang sudah berantakan.
"Pembantu aja belagu banget!" batin Elsa ketika seseorang di luar mengetuk pintu dengan lebih keras.
Sembari memutar bola mata, Elsa membuka pintu kamar dengan kasar.
"Bisa sop___"
Elsa melangkah mundur. Lidahnya terasa kelu dan tak bisa lagi mengucap kaca. Jantung berdetak melebihi batas normal dan keringat dingin pun turut membasah di kening.
Seseorang yang sebelumnya disangka ART, ternyata adalah wanita cantik sempurna dengan penampilan modisnya. Dia adalah Alzenna Tamara—istri sah Ezra Aliensky.
"Ternyata benar apa yang dikatakan Bibi, ada jala*g di rumah ini!" geram Zenna.
Mendengar suara sang istri, Ezra bergegas bangkit dan membelalak tak percaya. Dia salah tingkah dan tidak tahu harus bagaimana menjelaskannya.
"Sayang, kok kamu ... kamu___"
"Apa, Mas!" potong Zenna dengan penuh emosi. "Kamu menyuruhku lama di sana, ternyata ini alasannya! Kamu selingkuh dengan wanita murahan yang dulu sudah kamu buang, Mas! Hilang otak kamu, ya!" sambungnya dengan intonasi tinggi.
"Sayang ini nggak begitu, ini___"
"Diam!" Zenna kembali membentak Ezra, lalu beralih menatap Elsa. "Kamu! Belum lama kudengar kamu selingkuh dengan Jeevan, sekarang ganti dengan Mas Ezra. Apa memang pekerjaanmu itu menjual diri, hah? Berapa hargamu semalam, biar aku yang beli! Biar nanti kucakar habis wajahmu yang penuh mekap ini!" teriaknya.
Elsa makin mundur dan mendekat ke arah Ezra. Dia merasa khawatir dengan sikap Zenna yang barbar.
"Zra, tolong aku," pintanya sambil menggenggam tangan Ezra.
"Kamu masih berani minta tolong padanya, bahkan menyentuh tangannya! Benar-benar jala*ng kamu!" Zenna membentak sambil berjalan ke arah Elsa.
Spontan, Elsa langsung bersembunyi di balik punggung Ezra.
"Sayang, tolong tenang. Kita selesaikan baik-baik, jangan begini." Ezra berusaha menenangkan istrinya.
"Baik gimana, Mas? Aku ke luar negeri untuk kerja, bukan liburan. Tapi, kamu di rumah malah kayak gini! Istri mana yang nggak akan marah, Mas?" teriak Zenna.
"Aku tahu aku salah, Sayang. Tapi___"
"Nggak ada tapi, Mas! Lepaskan dia dan biarkan aku mencakarnya. Aku tidak mau berbaik hati pada pelakor!" potong Zenna masih dengan nada tinggi.
"Sayang, jangan sembarangan! Kalau kamu menyakitinya, kamu bisa kena sanksi. Rugi sendiri nanti. Sudah, kamu tenang dulu. Kita bicara baik-baik. Beri aku kesempatan untuk menjelaskan." Ezra bicara tenang dan sambil menatap lekat, berharap Zenna mau mengerti dengan ucapannya.
"Apa lagi yang dijelaskan, Mas? Kamu dan dia tinggal satu kamar, masihkah ada alasan lain selain 'itu'? Jika yang ingin kamu jabarkan adalah gaya dan durasi, simpan saja untuk dirimu sendiri. Aku nggak mau mendengar itu. Di sini sakit, Mas! Kamu tahu nggak, sakit!" Zenna berucap sambil menunjuk-nunjuk dadanya sendiri. Intonasi suara sudah menurun, tetapi air mata malah mengalir deras. Zenna terlihat kecewa dengan kejadian itu.
"Sayang."
"Bawa dia pergi, jangan ada satu barang pun yang tertinggal, aku nggak sudi! Setelah itu, kita bicara!" ucap Zenna dengan tegas. Lantas, dia pergi keluar dengan langkah cepat.
Sepeninggalan Zenna, Elsa mulai melayangkan protes. Dia tahu kejadian barusan membawa dampak buruk bagi dirinya dan juga Ezra sendiri.
"Katamu dia pergi satu bulan, tapi kok sekarang udah balik? Terus ini gimana, Zra?"
Ezra menghela napas panjang, "Kemasi barang-barangmu, setelah itu kupesankan taxi. Kamu pulang aja."
"Tapi, Zra."
"Bayaranmu nggak akan kupotong," ucap Ezra.
"Bukan tentang bayaran, tapi ... hubunganmu sama dia. Apa nggak apa-apa?" tanya Elsa.
Ezra tersenyum masam, "Jangan pikirkan itu. Soal Zenna, biar aku sendiri yang urus. Yang penting sekarang kamu pergi sebelum dia marah lagi."
"Baiklah. Aku akan berkemas, sekalian ganti baju."
Sekitar dua puluh menit kemudian, Elsa sudah siap. Barang-barangnya sudah dikemas rapi dalam tas dan tubuhnya pun sudah dibalut jeans panjang dan blouse.
"Elsa," panggil Ezra sebelum mereka keluar kamar.
"Iya." Elsa menoleh.
Ezra tak langsung menjawab, malah memeluk Elsa dengan erat. Tak lupa tangannya membelai lembut rambut Elsa, yang saat itu dibiarkan tergerai dan meriap di sekitar bahu.
"Kamu harus bahagia," bisik Ezra.
"Iya."
Setelah cukup lama berpelukan, mereka keluar bersama dan berjalan menuruni anak tangga. Entah di mana Zenna saat ini, Ezra sama sekali tak melihatnya meski sekarang sudah tiba di ruang tamu.
"Aku sudah pesan taxi, sebentar lagi akan datang," ucap Ezra.
"Iya." Elsa mengangguk. "Mmm, Zra, dia ke mana?" sambungnya.
"Mungkin di kamar," jawab Ezra sambil tersenyum masam, seakan-akan ragu dengan jawabannya sendiri.
Beberapa saat kemudian, Ezra membuka pintu utama dan mengajak Elsa ke halaman. Niat hati menanti taxi, tetapi yang datang malah mobil pribadi.
Elsa terpaku di tempatnya. Dia sangat tahu dengan sang pemilik mobil.
Bersambung...