Setelah Lita putus asa mencari keberadaan Tian, suaminya yang tidak pulang tanpa kabar, Lita tidak tahu harus kemana dan bagaimana agar bisa mencukupi kebutuhan hidup karena tidak bisa bekerja dalam kondisi hamil, tetapi juga tidak bisa melihat anak sulungnya kelaparan.
Di ujung keputusasaan, Lita bertemu Adrian, pria yang sangat ia takuti karena rasa sakit dan kekecewaan di masa lalu hingga membuatnya tidak mau bertemu lagi. Tetapi, Adrian justru bahagia bisa bertemu kembali dengan wanita yang bertahun-tahun ia cari karena masih sangat mencintainya.
Adrian berharap pertemuan ini bisa membuat ia dan Lita kembali menjalin hubungan yang dulu berakhir tanpa sebab, sehingga ia memutuskan untuk mendekati Lita.
Namun, apa yang Adrian pikirkan ternyata tidak seindah dengan apa yang terjadi ketika mengetahui Lita sudah bersuami dan sedang mencari keberadaan suaminya.
"Lita, jika aku harus menjadi suami ke-duamu, aku akan lakukan, asalkan aku bisa tetap bersamamu," ucap Adrian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HM_14, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Wanita Sewaan
Begitu tiba di kamar, Adrian langsung menurunkan Lita ke tempat tidur, tapi Lita malah memeluk semakin erat.
"Tuan tidak boleh pergi. Tuan harus tetap di sini," pinta Lita masih dengan ketakutan.
"Iya, aku tidak akan pergi ke mana pun," ucap Adrian lembut, tapi pelukan Lita tetap tidak mengendur.
Ingatan saat rambut dijambak lalu diseret sampai ke luar rumah, tamparan berkali-kali, hingga perut yang diinjak dan ditendangi terus terlintas di pikiran Lita hingga ia tidak mengendurkan pelukan sedikit pun pada leher Adrian.
"Om, Mama kenapa?" tanya Dava ingin tahu karena ia tidak pernah melihat Lita seperti ini.
Adrian kesulitan menoleh karena Lita memeluk terlalu erat hingga ia menjawab pertanyaan Dava tanpa menghadapnya. "Mamamu tidak apa-apa. Dia sedang ingin memeluk aku saja," bohongnya.
Dava langsung menaiki tempat tidur lalu duduk di sebelah Lita untuk ikut memeluk. Ia berpikir dengan ikut memeluk, Lita akan bisa lebih tenang.
•••••
"Sudah setengah jam lebih kita di sini, ke Napa temanmu belum datang juga?" gerutu Melly pada Alicia.
"CK!" Alicia berdecak sebal karena panggilan telepon yang ke-lima kalinya tidak juga mendapat jawaban dari Adrian.
Bahkan, karena rasa kesal itu, Alicia tidak menanggapi ungkapan kekesalan Melly.
"Jika bukan bayaran yang dijanjikan, aku tidak akan mau menunggu seperti ini," gerutu Melly membatin.
Alicia kembali menelepon untuk yang ke-enam kalinya dan berharap panggilan telepon kali ini bisa mendapat jawaban.
"Ada apa terus meneleponku?"
Alicia langsung menoleh ke samping karena suara Adrian bukan dari HP yang masih menempel di telinganya.
"Kenapa Mas Adrian tidak menjawab teleponku?" tanya Alicia kesal sambil menaruh HP-nya di meja.
Melly langsung tersenyum ketika melihat Adrian berjalan menghampiri, tapi senyum itu tidak direspon sedikit pun oleh Adrian karena tatapannya hanya fokus pada Alicia.
"Karena aku sedang bersama temanku dan tidak mau diganggu."
"Apa susahnya meluangkan waktu sepuluh menit saja, setelah itu aku pasti pulang."
"Memangnya ada apa kamu ke sini?" tanya Adrian langsung karena tidak mau banyak basa-basi mendengar kekesalan Alicia.
Alicia langsung mengulurkan tangan kanan menunjuk Melly untuk ia kenalkan pada Adrian. "Ini Melly—wanita yang aku ceritakan semalam,"
Adrian menatap Melly sambil mengingat-ingat obrolannya dengan Alicia semalam hingga dalam hitungan detik tatapan heran itu berubah jadi kekesalan ketika teringat ide konyol Alicia tentang wanita yang bisa disewa hingga ia langsung melayangkan protes.
"Kamu gila atau apa, Al? Kenapa malah membawa wanita ke sini?"
"Sudah aku bilang, aku ingin membantumu lepas dari masalah," jawab Alicia.
"Aku juga sudah bilang, itu urusanku dan bukan masalah, jadi tidak usah kamu merepotkan diri mencari wanita sewaan untukku."
Dari obrolan Alicia dan Adrian, Melly menyadari ternyata belum ada kesepakatan antara mereka untuk menggunakan jasanya.
"Jadi kedatanganku hari ini sia-sia?" tanya Melly pada Alicia.
"Tentu saja," balas Adrian.
"Tidak!" balas Alicia.
Melly menatap keduanya bergantian karena jawaban yang tidak sama hingga ia bingung harus mendengarkan jawaban siapa.
Alicia dan Adrian kembali saling tatap untuk menyampaikan keinginan masing-masing.
"Mas, satu Minggu ini Tante Maya terus meneleponku untuk membahas hubungan kita."
"Tolak saja panggilan itu jika kamu tidak mau membahasnya atau kamu bisa memblokir nomor mamaku agar dia berhenti meneleponmu."
"Mas, jika aku tidak punya sopan santun pada Tante Maya, aku sudah melakukan itu sejak lama. Tapi aku masih punya adab dan etika pada orang tua, jadi aku tetap menanggapi telepon darinya."
"Sebenarnya masalah perceraian kita sudah selesai sejak kamu pergi dari rumah ini, tapi karena kamu terus saja menanggapi ucapan mamaku, masalah perceraian kita jadi tidak pernah selesai, karena kamu seolah memberi harapan kita bisa kembali rujuk."
"Masalah bukan ada padaku tapi padamu."
"Kenapa ada padaku?" Adrian langsung melayangkan tatapan heran. "Sejak awal aku selalu menolak pembahasan perceraian kita dan dengan tegas berkali-kali Aku mengatakan di depan mamaku, kita tidak bisa kembali bersama, lalu di mana salahku?"
"Salahmu karena kamu masih saja sendiri dan tidak memiliki kekasih ataupun wanita Yang bisa kamu kenalkan pada Tante Maya, jadi dia berpikir hubungan kita masih bisa diperbaiki."
"Sudah aku bilang, urusan pasangan adalah urusanku tidak perlu kamu atur."
"Jika tante Maya tidak tidak meneleponku terus-terusan, itu memang masalahmu. Tetapi masalahnya Tante Maya sering meneleponku hanya untuk membujukku agar bisa rujuk denganmu, jadi itu bukan masalahmu saja."
Melly hanya bisa diam di tengah-tengah perdebatan Adrian dan Alicia tanpa bisa ikut campur atau menengahi.
"Sekarang aku beri jalan keluar dengan membawa wanita sewaan kamu malah menolak dan dengan entengnya menyalahkan aku," protes Alicia.
"Memangnya kamu pikir dengan membawa wanita sewaan untukku masalahnya akan selesai?" tanya Adrian tak mau kalah.
"Tentu saja akan selesai karena Tante Maya tidak akan menyuruh aku untuk berusaha memperbaiki hubungan kita lagi."
"Justru itu akan memperpanjang masalah untukku."
"Memperpanjang bagaimana? Justru itu jalan keluar satu-satunya."
"Coba kamu pikirkan baik-baik, jika sekarang aku mengenalkan wanita pada mamaku, pasti di lain waktu mamaku akan menanyakan hubungan aku dengan wanita itu, bahkan sangat mungkin mamaku menyuruh aku menikahi dia. Apa itu bukan memperpanjang masalahku?"
"Masalah itu bisa kita pikirkan nanti, Mas, yang terpenting sekarang kita akhiri satu masal ini."
"Aku tetap tidak mau." Adrian langsung berbalik badan untuk meninggalkan Alicia.
Melly dengan cepat memegang pergelangan tangan Adrian agar tidak pergi. "Jangan pergi dulu jika belum menemukan kesepakatan," pintanya.
Adrian tersenyum kecut mendengar ucapan Melly yang sepertinya akan sependapat dengan Alicia.
"Tidak ada kesepakatan antara aku dan kamu," ucap Adrian.
Melly tersenyum kecut mendengar ucapan Adrian. "Seharusnya sebagai pria kamu tidak menjadi pengecut seperti ini."
"Apa maksudmu pengecut?" tanya Adrian sedikit kesal dibilang pengecut.
"Seharusnya kamu coba dulu menyelesaikan masalah kalian dengan apa yang Alicia usulkan."
"Jika ucapanmu ini hanya agar kamu mendapat bayaran, aku akan membayarmu. Kirimkan saja nomor rekeningmu pada Alicia, nanti aku akan mentransfer uang untukmu agar tidak ikut campur urusanku."
Adrian menarik tangannya dari genggaman Melly lalu melangkah pergi.
"Dia memang menyebalkan!" umpat Alicia kesal.
"Sepertinya dia tipe pria yang tidak terlalu perduli dengan orang lain," tebak Melly tanpa mengalihkan tatapannya dari punggung Adrian yang semakin jauh.
"Bukan hanya pada orang lain, tapi pada orang dekatnya pun dia tidak pernah peduli sama sekali. Itu sebabnya aku bercerai dengannya," timpal Alicia.
••••••
Saat ini waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Adrian sedang duduk di salah satu sofa yang ada di kamarnya. Matanya terus menatap wajah Lita yang sudah tidur lelap, tapi kepalanya terus memikirkan ketakutan Lita selama tinggal di rumah ini.
Adrian tidak tahu separah apa saat kedua orang tuanya mengusir Lita dulu. Tetapi dari ketakutan dan kepanikan Lita pagi tadi, ia yakin kejadian itu pasti sangat menyakitkan hingga menjadi trauma untuknya.
Dari ketakutan yang kepanikan itu, Adrian merasa mengajak Lita tinggal di sini bukanlah pilihan yang tepat, hingga otaknya terus berpikir akan kemana ia mengajak mereka tinggal.
"Apa aku harus menyewa apartemen lalu tinggal di sana bersama Lita dan Dava?" gumam Adrian tanpa mengalihkan tatapannya dari wajah Lita.
Adrian beranjak bangun dari sofa lalu duduk di tepi kasur dekat Lita karena ia ingin bicara sambil menggenggam tangannya. "Benar, sepertinya membiarkanmu tetap tinggal di sini akan membuatmu ketakutan terus-menerus. Lebih baik aku mencari apartemen untuk kita tinggal bersama," ucapnya.
Adrian mencium punggung tangan kita sambil memantapkan hatinya untuk keputusan yang baru saja ia buat. "Kali ini aku tidak akan lengah lagi. Kamu akan tetap bersamaku di manapun selama suamimu belum kembali. Aku akan tetap menjagamu," ucapnya.
Adrian menurunkan tangan Lita lalu membelai lembut kepalanya sambil mengingat momen pagi tadi saat menenangkan Lita dari ketakutannya. Ketakutan yang membuat ia sangat iba dan merasa bersalah.
"Lita, jika boleh aku egois menuruti kemauanku, aku ingin membawamu pergi jauh dari suamimu untuk membentuk kehidupan baru bersama anak-anak," ucap Adrian.
Adrian kemudian melirik Dava yang juga tertidur pulas di samping Lita. "Maafkan papamu karena baru mengetahui keberadaanmu, hingga kamu harus merasakan hidup serba kekurangan," ucapnya.
Adrian kemudian beranjak bangun dari duduknya karena ia harus tidur di kamar lain sebab Lita tidak mau tidur di kamar yang sama dengannya.
••••••
Malam ini Adrian memilih pulang cepat dengan membatasi pasien yang ia terima di beberapa rumah sakit, karena ia ingin cepat-cepat bersama Lita dan Dava di rumah. Tidak lupa ia membeli beberapa makanan dan camilan untuk melengkapi kebersamaannya.
Senyum bahagia tak hilang sedikit pun dari wajah Adrian selama perjalanan karena perasaannya benar-benar seperti seorang ayah dan suami yang sedang ditunggu anak-istri di rumah hingga ia tidak mau melambatkan laju sedikit pun.
Begitu tiba di rumah, Adrian berlari kecil memasuki rumah tanpa menghilangkan senyum bahagianya.
Baru saja Adrian melangkah menaiki tangga, tiba-tiba ia mendengar suara tawa dari dapur hingga ia menghentikan langkah dan menajamkan pendengaran.
"Itu seperti suara Dava," gumam Adrian.
Adrian membatalkan niatnya menaiki tangga untuk ke kamar utama. Ia mengalihkan langkah menuju dapur karena yakin Adrian dan Lita ada di sana.
Begitu tiba di dapur senyum Adrian berubah jadi tawa bahagia ketika melihat makanan di atas meja yang ia yakini masakan kita.
"Seperti inikah rasanya menjadi suami dan ayah yang kepulangannya selalu ditunggu anak-istri?" batinnya haru.
Adrian melanjutkan langkah untuk berada di antara Lita dan Dava yang sedang tertawa.
"Aku pulang," ucap Adrian lalu duduk di samping Dava.
"Om," panggil Dava ceria.
Adrian mengusap-usap kepala Dava sambil duduk lalu menatap makanan yang sudah tersedia di meja.
"Kamu yang memasak?" tanya Adrian pada Lita yang duduk tepat di depannya.
"Bukan," jawab Lita sambil menggeleng."
Senyum bahagia Adrian seketika hilang mendengar jawaban Lita. "Lalu siapa yang memasak makanan-makanan ini?"
"Wanita paruh baya yang katanya ART di rumah ini."
"Oh ...." Adrian mengangguk mengetahui ART-nya yang memasak.
"Tuan bawa makanan apa?" Lita bertanya sambil melirik ke paperbag yang ada di dekat kaki Adrian.
Adrian langsung mengambil paperbag lalu ia taruh di atas meja. "Aku membawa lasagna yang tidak terlalu pedas untukmu," Adrian mengeluarkan satu porsi lasagna tepat di depan Lita.
"Waaah," seru Lita antara kagum dan girang karena senang bisa memakan makanan kesukaannya lagi.
Adrian tersenyum melihat ekspresi Lita persis seperti Dava ketika mendapatkan mainan yang dia sukai. "Aku sangat menyukai wajah kekanak-kanakan itu," batinnya kagum.
"Apa aku boleh makan lasagna dulu baru makan nasi?" tanya Lita.
"Kamu boleh makan yang mana pun."
Lita langsung beranjak bangun dari kursinya hanya untuk memeluk Adrian dari belakang. "Terima kasih, Tuan. Tuan baik sekali," pujinya kegirangan.
Dava juga ikut turun dari kursinya hanya untuk ikut memeluk Adrian. " Terima kasih, Om. Om baik sekali," pujinya ikut-ikutan.
Sungguh, pelukan Lita dan Dava mebuat Adrian benar-benar terharu hingga matanya berkaca-kaca menahan air mata.
"Bukan kalian yang harus berterima kasih, tapi aku lah yang berterima kasih pada kalian untuk momen bahagia ini, " batin Adrian haru.
Adian malu terlihat menangis di depan Lita dan Dava maka, ia beranjak bangun sambil berkata, "Tunggu aku mandi sebentar, baru kita makan sama-sama."
"Iya," balas Lita dan Dava bersamaan.
Adrian langsung berjalan tanpa melihat Lita dan Dava karena takut mata memerahnya terlihat dan ia ketahuan menangisi momen yang menurut mereka pasti sangat sepele.