Renjiro Sato, cowok SMA biasa, menemukan MP3 player tuanya bisa menangkap siaran dari masa depan. Suara wanita di seberang sana mengaku sebagai istrinya dan memberinya "kunci jawaban" untuk mendekati Marika Tsukishima, ketua kelas paling galak dan dingin di sekolah. Tapi, apakah suara itu benar-benar membawanya pada happy ending, atau justru menjebaknya ke dalam takdir yang lebih kelam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amamimi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Frekuensi Nostalgia
Suasana di gudang olahraga terasa seratus kali lebih pengap dari lima menit yang lalu.
Tsukishima Marika berdiri mematung di depannya, masih memeluk erat buku sketsa biru tua itu di dadanya. Wajahnya yang tadi merah padam kini berangsur-angsur pucat. Ia menatap Ren dengan mata terbelalak, seolah baru saja melihat hantu.
"Ka-kamu..." Marika menelan ludah, berusaha mengembalikan wibawanya yang hancur berantakan. "Lupakan yang kamu lihat. Mengerti? Lupakan semua gambar itu."
Ren, yang masih sedikit syok karena reaksi Marika, hanya bisa mengangguk kaku. "Tentu. Aku tidak akan bilang siapa-siapa. Sumpah."
"Bagus." Marika merapikan poninya yang sebenarnya tidak berantakan, sebuah gestur gugup yang sangat tidak biasa. "Daftar inventarisnya... taruh saja di meja OSIS besok. Aku... aku ada urusan."
Tanpa menunggu jawaban Ren, Marika berbalik badan dan berjalan cepat—hampir berlari—keluar dari gudang, meninggalkan Ren sendirian di tengah tumpukan matras dan aroma debu yang pekat.
Ren menghela napas panjang, menatap pintu yang baru saja tertutup. Jantungnya masih berdebar kencang. Getaran di sakunya sudah berhenti, tapi sensasinya masih terasa di kulitnya.
Ia membereskan sisa pekerjaannya dengan pikiran yang tidak fokus. Pikirannya terus kembali pada rona merah di wajah Marika. Pada suaranya yang panik. Pada tatapan matanya yang... rapuh. Itu adalah sisi Tsukishima Marika yang tidak pernah ia tahu ada. Sisi yang tidak pernah ditunjukkan oleh siapapun di sekolah.
Saat ia akhirnya melangkah keluar dari gerbang sekolah, matahari sudah hampir tenggelam, mewarnai langit dengan semburat ungu dan oranye tua. Udara musim gugur terasa dingin menggigit kulitnya.
Ren berjalan menuju stasiun, kali ini langkahnya terasa ringan, meski tubuhnya lelah. Dia tidak langsung naik ke peron. Dia perlu tempat yang lebih sepi. Dia berjalan ke ujung stasiun, ke bangku di dekat taman kecil yang jarang dilewati orang.
Dengan tangan gemetar, ia mengeluarkan MP3 player butut itu. Benda itu terasa hangat di telapak tangannya, atau mungkin itu hanya perasaannya saja.
"Oke," bisiknya pada diri sendiri. "Apa... apa yang akan dia katakan sekarang?"
Ia memasang earphone. Menarik napas dalam-debu. Dan menekan tombol play.
Awalnya hanya ada suara statis. Kresek... kresek... Suara yang familier. Lalu, suara itu memudar, digantikan oleh keheningan. Selama beberapa detik, Ren mengira tidak ada apa-apa.
Kemudian, terdengar suara helaan napas yang panjang. Sangat panjang dan... lega.
"Haaaaah..."
Itu suara Marika dewasa. Kali ini, tidak ada nada lelah. Yang ada hanya nada lembut penuh nostalgia.
"Gudang olahraga itu... Aku sudah lupa betapa banyak debu di sana."
Ren tersenyum kecil. Wanita ini benar-benar ada di sana bersamanya, dari sepuluh tahun di masa depan.
"Kamu pasti kaget sekali tadi," lanjut suara itu, diiringi tawa kecil yang tertahan. "Aku juga. Maksudku... aku yang 'di sana', yang masih 17 tahun. Aku panik setengah mati saat kamu menemukan buku sketsa itu."
Ren mendengarkan dengan saksama. Ini berbeda dari pesan pertama. Pesan pertama adalah instruksi. Ini... ini terasa seperti pengakuan.
"Kamu tahu, Ren-kun... tidak ada yang pernah melihat buku itu selain keluargaku. Di sekolah, semua orang mengenalku sebagai 'Tsukishima si Robot', si ketua kelas yang kaku dan sempurna. Aku... aku membiarkan mereka berpikir begitu. Lebih mudah begitu. Daripada menunjukkan sisi 'kekanak-kanakan' ku dan ditertawakan."
Suara Marika dewasa terdengar sedikit bergetar.
"Aku ingat hari itu. Aku pikir kamu akan menertawaiku. Aku sudah siap menghajarmu kalau kamu berani mengejek gambarku. Tapi kamu... kamu tidak."
Hening sejenak. Ren bisa mendengar suara denting es batu di dalam gelas dari seberang.
"Kamu bilang, 'Gambarnya bagus.' Cuma tiga kata. Sangat datar, khas kamu sekali." Wanita itu tertawa lagi, kali ini lebih lepas. "Tapi kamu tahu? Tiga kata sederhana itu... adalah hal terpenting yang kudengar di tahun kedua SMA-ku."
Jantung Ren berdesir aneh. Dia hanya mengatakan apa yang ada di pikirannya. Dia tidak tahu kata-katanya punya beban seberat itu.
"Tiga kata itu yang membuatku... mulai berpikir. Bahwa mungkin 'Sato-kun si pemalas' yang selalu tidur di kelas Matematika... mungkin tidak seburuk itu. Mungkin dia hanya... belum menemukan sesuatu yang menarik untuk dilakukan."
Ren menunduk, memandangi kerikil di bawah sepatunya. Dia merasa wajahnya memanas. Dipuji oleh seorang wanita dewasa—meskipun wanita itu adalah Marika—terasa sangat memalukan sekaligus... menyenangkan.
"Maaf, aku jadi nostalgia," kata Marika dewasa, suaranya kembali normal. "Kenangan hari itu... sangat penting bagiku. Itu adalah pertama kalinya aku merasa... dilihat. Sebagai diriku sendiri, bukan sebagai ketua kelas."
Ren meremas MP3 player di tangannya. Dia mulai mengerti. Suara ini tidak hanya memberinya "kunci jawaban" untuk sebuah misi. Suara ini berbagi perasaan dengannya. Dia tidak sedang bermain game. Dia sedang... berinteraksi dengan kenangan paling pribadi milik seseorang.
"Ah," kata Marika tiba-tiba. "Aku jadi ingat. Saking gugupnya setelah kejadian di gudang itu, dalam perjalanan pulang... aku yang 17 tahun mampir ke mesin penjual otomatis. Dan membeli minuman yang paling konyol. Cream soda melon."
Ren mengerutkan kening. Cream soda melon?
"Konyol, kan? Aku bahkan tidak begitu suka soda. Tapi hari itu aku merasa sangat kacau sekaligus... senang? Jadi aku membeli minuman paling aneh yang bisa kutemukan. Aku masih ingat rasa manisnya yang aneh itu."
Ren mencatat informasi itu dalam otaknya. Cream soda melon.
"Dengar, Ren-kun," suara Marika dewasa tiba-tiba menjadi serius, sama seperti di pesan pertama. "Aku tahu kamu sekarang pasti merasa punya kekuatan super. Tahu rahasia Tsukishima Marika yang angkuh itu. Tapi..."
Hening lagi. Kali ini hening yang menegangkan.
"Jangan... jangan terburu-buru. Jangan menggodanya soal itu. Jangan gunakan rahasia itu untuk membuatnya patuh padamu. Tolong."
Ada nada putus asa dalam permohonan itu.
"Dia... aku yang dulu... sangat rapuh. Jauh lebih rapuh dari yang terlihat. Perlakukan dia dengan baik, ya? Jangan... jangan membuat kesalahan yang sama denganku."
"Kesalahan?" bisik Ren. "Kesalahan apa?"
Tapi sebelum dia mendapat jawaban, suara statis kembali terdengar. Kresek... KRESEK...
Klik.
Pesan itu berakhir.
Ren duduk terdiam di bangku stasiun yang dingin. Kereta datang dan pergi. Orang-orang berlalu-lalang. Tapi dunia Ren terhenti.
Dia memiliki begitu banyak pertanyaan. Kenapa suara ini terdengar begitu penuh penyesalan? "Kesalahan yang sama denganku"? Apa maksudnya? Apa Marika dewasa... juga membuat kesalahan?
Ren menatap MP3 player di tangannya. Benda ini bukan lagi sekadar pemutar musik. Ini adalah kotak pandora. Sebuah koneksi ke masa depan yang penuh dengan rahasia, nostalgia, dan peringatan yang samar.
Dia tidak hanya mendapatkan "cheat code" untuk mendekati Marika. Dia sedang memegang takdir—atau lebih tepatnya, kenangan—istrinya di tangannya. Dan itu terasa jauh lebih berat daripada sekadar tugas panitia festival.
Dia memasukkan MP3 player itu kembali ke saku, merasa kedinginan. Dia punya misi baru. Misi yang tidak diperintahkan, tapi ia tahu harus ia lakukan.
Mencari tahu di mana mesin penjual otomatis yang menjual cream soda melon.