“Pastikan kau sembuh. Aku tidak menikahimu untuk jadi patung di rumah ini. Mulailah terapi. Atau…” Edward menunduk, berbisik di telinganya, “...aku pastikan kau tetap di kamar ini. Terikat. Tanpa busana. Menontonku bercinta dengan wanita lain di tempat tidur kita.”
Laras gemetar, tapi matanya tak lagi takut. “Kau memang sejak awal… tak lebih dari monster.”
Edward menyeringai. “Dan kau adalah istri dari monster itu.”
Laras tahu, Edward tidak pernah mencintainya. Tapi ia juga tahu, pria itu menyimpan rahasia yang lebih gelap dari amarahnya. Ia dinikahi bukan untuk dicintai, tapi untuk dihancurkan perlahan.
Dan yang lebih menyakitkan? Cinta sejatinya, Bayu, mungkin adalah korban dari semua ini.
Konflik, luka batin, dan rahasia yang akan terbuka satu per satu.
Siap masuk ke kisah pernikahan penuh luka, cinta, dan akhir yang tak terduga?
Yuk, baca sekarang: "Dinikahi Untuk Dibenci"!
(Happy ending. Dijamin!)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35. Sahabat Lama
Laras menghela napas panjang, menatap kosong ke luar jendela. “Aku... gak tahu harus ke mana. Aku gak punya rumah, gak punya siapa-siapa lagi. Orang tua angkatku... kalian tahu sendiri seperti apa mereka.”
Ira menatap Arka sejenak, lalu kembali menatap Laras. “Kalau kamu memang ingin pergi dari sini, mencari hidup baru... aku bisa bantu.”
Laras mengernyit pelan. “Maksud Kakak?”
“Aku punya adik perempuan,” ucap Ira lembut. “Dia bekerja di luar negeri, di lembaga perlindungan wanita dan anak. Mereka bantu para penyintas kekerasan, perdagangan, dan segala macam luka. Tempat itu bukan sekadar kantor—itu rumah, untuk perempuan yang ingin bangkit kembali. Kalau kamu mau, aku bisa hubungi dia. Kamu bisa mulai dari sana... jauh dari bayang-bayang ini.”
Laras terdiam. Dada sesak oleh rasa syukur yang membuncah tanpa bisa ditahan. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa punya tujuan... dan pilihan.
Arka berdiri, wajahnya serius namun suaranya lembut. “Kamu sudah melewati neraka, Laras. Dan kamu bertahan. Itu bukti kamu bukan korban, tapi penyintas. Kau bukan hanya bisa selamat... kau bisa benar-benar hidup.”
(Penyintas adalah orang yang selamat dari suatu bencana, konflik, atau situasi sulit.)
Laras menyimak dalam diam. Mata berkaca-kaca, tapi tak lagi gentar.
“Ikutlah dengannya,” Arka melanjutkan. “Kalau kamu butuh waktu untuk istirahat, belajar, atau bahkan kerja... adik Ira bisa bantu. Tak perlu jadi siapa-siapa. Cukup jadi dirimu sendiri. Itu sudah sangat berarti.”
Laras menunduk, suara lirihnya nyaris pecah. “Tapi aku... gak punya pengalaman apa-apa.”
“Justru itu,” sahut Ira dengan senyum yang menguatkan. “Tapi kamu punya keberanian. Dan pengalaman hidupmu sendiri... itu lebih dari cukup.”
Arka mengangguk. “Kami akan pastikan kamu sampai di sana dengan aman. Dan untuk pertama kalinya, kamu akan hidup di tempat yang tak menuntutmu jadi orang lain.”
Laras memejamkan mata sejenak, menghela napas panjang—seakan melepaskan luka bertahun-tahun, ketakutan, dan rasa tak berdaya yang membelenggu.
Ketika ia membuka matanya, sorotnya berubah. Masih ada sisa luka, tapi juga ada cahaya.
“Baik,” bisiknya. “Aku mau pergi. Mungkin... ini saatnya aku benar-benar hidup.”
***
Beberapa Bulan Kemudian
Siang itu terik, namun angin kota berhembus lembut. Di depan pangkalan ojek sederhana, seorang pria paruh baya tampak celingukan sambil menarik koper kecil beroda. Kemejanya sudah agak kusut oleh peluh perjalanan, tapi wajahnya tetap bersih dan ramah. Namanya Dudi.
Saat ia melirik sekitar, mencari tukang ojek yang tersedia, matanya terpaku pada sosok pria yang sedang duduk di bangku kayu di bawah pohon ketapang, menggulung rokok lintingan.
“Darma?” gumamnya pelan, setengah tak percaya.
Pria itu mendongak. Ada kerutan di dahinya, mencoba mengenali wajah asing yang memanggil namanya.
“Ini aku, Dudi. Dudi...sahabatmu. Tetanggamu dulu.”
Mata Darma melebar. Beberapa detik kemudian, senyum ragu berubah menjadi tawa lebar dan pelukan erat. Dua pria separuh baya itu tertawa, menepuk-nepuk punggung satu sama lain. Seperti masa muda yang tiba-tiba kembali menyeruak.
Tak lama, mereka duduk di warung kopi sederhana tak jauh dari pangkalan ojek. Dua cangkir kopi hitam mengepul di hadapan mereka, sementara angin membawa aroma tanah kering dan debu jalanan.
“Kau ngapain di kota ini, Dud?” tanya Darma sambil menyeruput kopinya.
Dudi menghela napas, matanya menerawang. “Mau nengok anakku. Dia kerja di sini sekarang. Aku udah lama pengin ketemu...”
Lalu, setelah hening sejenak, ia melanjutkan, ragu-ragu, “Tapi... sebenarnya aku juga pengin tahu sesuatu.”
Darma menoleh. “Apa itu?”
Dudi menatap wajah temannya dengan cermat. “Beberapa bulan lalu... ada seorang gadis datang ke rumahku di kampung. Namanya Laras. Dia... dia bilang dia sedang mencari tahu siapa orang tua kandungnya.”
Darma mendadak kaku. Jemarinya yang tadi memegang gelas, berhenti di tengah jalan.
Dudi melanjutkan dengan nada lebih lembut. “Awalnya aku nggak yakin. Tapi setelah dia cerita beberapa hal... aku ingat. Dia anaknya Juna dan Sekar, bukan?”
Darma hanya bisa mengangguk pelan.
Dudi menghela napas panjang. “Aku nggak habis pikir, Dar. Kenapa kau nggak pernah kasih tahu dia siapa orang tuanya? Dia datang dengan mata sembab, penuh luka, bukan cuma di wajahnya... tapi di hati.”
Darma menunduk. Angin seolah ikut hening bersama beban yang tiba-tiba menggantung di antara mereka.
“Aku dengar... kau jual pabrik dan rumah peninggalan almarhum orang tuanya? Itu semua hak Laras, Darma... Kenapa kau lakukan itu?”
Suara Dudi bergetar. “Dia yatim piatu, Dar. Anak itu dititipkan padamu dengan harapan dibesarkan dengan kasih sayang. Tapi kau malah...”
Ia tak melanjutkan. Tapi cukup. Darma tahu maksudnya.
Sekilas ingatan menyergap Darma—dulu, saat Laras masih kecil, ia dan Wati begitu menyayanginya, memperlakukannya bak darah daging sendiri. Tapi segalanya mulai memudar saat Sherin lahir. Anak kandung mereka. Sejak hari itu, perlahan Laras tak lagi dipeluk, tak lagi dicium hangat sebelum tidur. Ia hanya menjadi tangan tambahan di rumah—disuruh, diperintah, dilupakan. Semua yang dulu untuk Laras, kini pindah ke Sherin—pakaian bagus, hadiah ulang tahun, perhatian, pelukan... bahkan cinta pun seolah dialihkan seluruhnya. Kasih yang dulu sempat diberikan, kini dicabut tanpa penjelasan, seolah Laras tak pernah berarti.
Dudi melanjutkan, suaranya nyaris berbisik, “Kau nggak takut? Tuhan itu Maha Melihat, Dar. Anak yatim... itu amanah. Kau nggak takut murka-Nya? Apa kau pikir hidup yang susah, masalah yang datang bertubi-tubi... itu semua kebetulan?”
Darma menunduk semakin dalam. Ia meremas rokok di tangannya, mematikan bara yang masih menyala seakan ingin memadamkan bara penyesalan di dadanya.
“Aku tahu aku salah, Dud,” gumamnya pelan. Suaranya parau, nyaris tak terdengar. “Awalnya kupikir aku bisa rawat dia, bisa terusin usaha orang tuanya sambil jalani hidupku sendiri. Tapi makin lama... aku gelap. Aku pikir, ‘dia masih kecil, mana ngerti soal warisan.’ Aku manfaatkan ketidaktahuannya, Dud. Aku bodoh. Ego dan kebutuhan menutupi akal sehatku.”
Ia menoleh perlahan. Matanya memerah, berkaca-kaca. “Dan sekarang... semuanya hancur. Usaha bangkrut, rumah disita. Tempat kerja gulung tikar. Anakku sendiri...” Ia tak sanggup melanjutkan.
Darma menarik napas panjang, dada naik turun menahan perih. “Mungkin ini bukan sekadar ujian. Mungkin ini memang balasan.”
Dudi hanya mengangguk pelan. “Tuhan nggak pernah tidur, Dar.”
Hening lagi menyelimuti mereka. Kopi mereka sudah dingin, tapi percakapan itu menyisakan panas yang berbeda—panas penyesalan, pengakuan, dan kenyataan bahwa waktu tidak bisa diputar.
Namun di ujung sana, selalu ada kesempatan untuk memperbaiki. Dan Darma tahu, kalau pun ia tak bisa menghapus masa lalu, mungkin ia masih bisa minta maaf—kepada gadis kecil yang dulu seharusnya ia peluk dan lindungi, bukan sakiti.
***
Di dalam kontrakan sempit yang dindingnya lembap dan catnya mengelupas, Sherin duduk terpaku di atas kasur tipis yang hampir rata. Perutnya menonjol besar—kehamilannya sudah memasuki bulan ketujuh. Tak ada gorden yang layak di jendela, hanya kain kusam yang bergoyang ditiup angin. Bau apek bercampur aroma minyak kayu putih menyelimuti ruangan.
Sherin mengelus perutnya perlahan. Matanya kosong menatap langit-langit reyot yang mulai dipenuhi noda air hujan. Setiap gerakan janin membuatnya teringat pada kenyataan: hidupnya telah berubah total—dan bukan ke arah yang ia harapkan.
Dari luar, terdengar suara Darma sedang menghitung uang recehan, hasil dari ngojek sejak subuh. Napasnya berat, lelah bukan hanya karena jalanan, tapi karena beban hidup yang kian menggulung.
Sementara itu, Wati, istri Darma, batuk keras di dapur. Tubuhnya kurus, dan wajahnya tampak pucat saat ia berjongkok, mencuci pakaian kotor milik tetangga. Air sabun menyengat jemarinya yang mulai keriput dan pecah-pecah.
“Sherin, tolong bantu ibu jemur pakaian ini, ya...” pintanya pelan, hampir seperti rintihan.
Sherin mengerutkan alis, lalu menjawab ketus, “Apa ibu nggak lihat aku susah gerak karena perutku ini?”
...🍁💦🍁...
.
To be continued
pantesan dicari sampe lubang semut gk ketemu ternyata ganti identitas🤔
selidiki dulu siapa Laras sebenarnya jangan kamu membenci tanpa mengenalnya,Laras itu baik sudah rela berkorban demi anakmu waktu koma, seharusnya kamu membalas semua kebaikannya bukan malah membencinya
Sherin, darma & istrinya semoga dapat ganjaran setimpal.