Ketika cinta datang dari arah yang salah, tiga hati harus memilih siapa yang harus bahagia dan siapa yang harus terluka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santika Rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Prolog
Wanita Selalu Diberatkan Dengan Dua Pilihan Dalam Hidupnya.
Laki-laki Yang Kamu Cintai atau
Laki-laki Yang Mencintaimu.
Juli 2017, Di Yogyakarta
Jalanan Malioboro tak pernah mengenal sepi. Musik angklung terdengar dari kejauhan, aroma sate dan bakpia terbawa angin, sementara lampu-lampu toko bersinar seolah memanggil setiap wisatawan untuk singgah.
Namun di balik keramaian itu, sebuah Gramed di tepi jalan menawarkan ketenangan yang berbeda. Tidak banyak pengunjung siang itu, hanya beberapa orang yang sibuk memilih buku masing-masing, menikmati oasis kecil dari hiruk-pikuk di luar pintu.
Di sebuah lorong rak novel remaja, berdiri seorang gadis berambut hitam panjang, dengan sweater biru lembut yang membuatnya tampak sederhana namun manis. Alleta Cassandra Sabiru, 16 tahun, menelusuri deretan sampul buku satu per satu dengan mata yang berbinar penuh antusias.
“Hm… yang ini kayaknya bagus,” gumamnya pelan ketika menemukan salah satu novel favoritnya masuk edisi terbaru.
Tangannya meraih buku itu, kemudian satu lagi, lalu satu lagi. Ia tidak pernah bisa menahan diri ketika sudah berada di tempat seperti ini. Buku baginya adalah rumah kedua, tempat ia bisa melarikan diri dari dunia nyata, meski hanya sementara.
Alleta sedikit menunduk untuk membaca sinopsis sebuah novel yang terletak di rak paling bawah. Pipinya mengembung sedikit ketika ia menimbang, “Kalo gue beli ini, uangnya cukup nggak ya buat beli es krim habis ini?”
“Fiks, gue beli ini juga.” Finalnya.
Alleta bangkit dengan senyum kecil, setidaknya akhir pekannya berjalan sesuai rencana. Ia berbalik, siap menuju kasir ketika..
Brukk!
Tubuhnya menabrak dada bidang seseorang yang tingginya jauh diatasnya.
“Aduh…” Alleta meringis sambil mengelus dahinya yang terbentur cukup keras.
Buku-buku yang ia peluk terlepas dan jatuh berserakan di lantai. Dengan cepat, ia jongkok dan mulai meraihnya satu per satu. Pemuda berhoodie hitam yang menabraknya juga ikut menunduk, mengambil buku yang berada paling dekat dengannya.
Hanya ada satu buku tersisa.
Tangan mereka terulur di saat yang sama. Alih-alih buku itu, yang tergenggam justru tangan Alleta.
Waktu seakan berhenti.
Mata cokelat hangat milik Alleta mendongak dan tanpa sengaja bertemu dengan tatapan elang pemuda itu, dingin, tajam, dan sama sekali tidak terlihat menyesal.
Detik berikutnya, Alleta buru-buru menarik tangannya seolah tersengat listrik kecil. Ia bangkit cepat sambil memeluk buku-bukunya ke dada.
“Lain kali kalo jalan liat-liat,” ucapnya ketus, mencoba menutupi rasa kikuk yang tiba-tiba muncul dalam dirinya.
Pemuda itu hanya memandangnya datar. “Lo juga. Udah tau pendek, ngapain jongkok di situ? Jadi nggak keliatan.”
Alleta terbelalak. Bukannya meminta maaf, pemuda itu malah mengejeknya pendek. “Lo…”
Ucapannya menggantung karena pemuda itu sudah melengos pergi begitu saja tanpa menoleh lagi.
Alleta mengepalkan tangan, jengkel bukan main.
Ingin rasanya ia mengejar dan membalas ucapan menyebalkan itu. Namun ia menahan diri, menarik napas panjang, lalu bergegas ke kasir.
Setelah membayar Alleta langsung melangkah ke luar sembari meruntuki hari ini, akhir pekannya yang menyenangkan tiba-tiba berubah hanya karena satu pemuda yang tidak dia kenal.
Keluar dari Gramed, Alleta menendang-nendang angin sambil menggerutu tak jelas. Wajahnya mengerucut seolah seluruh dunia baru saja melakukan dosa besar kepadanya.
“Kurang ajar banget sih manusia tadi! Udah nabrak, buku gue jatuh, gue yang sakit… malah gue juga yang dibilang pendek?!”
Ia mendesah dramatis, seperti pemeran utama drama Korea yang baru saja dikhianati.
Belum selesai dia marah-marah pada udara, sebuah suara santai muncul dari sampingnya.
“Udah beli bukunya?”
Alleta langsung menoleh. Di sana, Tristan, dengan wajah tengil kebanggaannya, berdiri sambil bersandar pada motor sport merahnya. Kaos hitam, jaket denim, senyum menyebalkan, paket lengkap cowok yang tahu dirinya menarik.
“Udah,” gumam Alleta kesal, lalu langsung kembali bercerita, “Lo tau nggak, masa gue dikatain pendek sih? Udah jatuhin buku gue, gak minta maaf, ngejek lagi!”
Tristan mendengarkan sebentar… sebelum terkekeh kecil. “Kan emang lo pendek.”
Alleta memandangnya dengan mata membesar sempurna. “Kok lo ikut-ikutan sih?!”
Tanpa pikir panjang, ia memukul lengan Tristan beberapa kali, tanpa kekuatan, tapi cukup untuk menunjukkan emosinya yang membara.
“Aduh! Hei, hei! Bercanda!” Tristan menahan tawa sambil menggeser sedikit badannya, lalu dari tas kecil yang disembunyikan di belakang punggungnya, ia mengeluarkan satu cup matcha latte dingin kesukaan Alleta.
“Nih. Minum dulu.”
Nada suaranya mendadak lebih lembut, meski senyumnya masih usil.
Mata Alleta langsung berbinar seperti anak kecil dikasih permen.
“Hmm… untung lo kasih ini.” Ia menerimanya cepat dan menyeruputnya tanpa protes lagi. “Udah yuk pulang. Keburu gue ga mood lagi.”
“Tiap hari juga lo nggak mood,” gumam Tristan pelan tapi cukup jelas.
Alleta langsung melotot kecil.
“Lo ngomong apa?”
“Enggak, cantik.”
Tristan menyeringai, senyum yang sering ia gunakan untuk meredakan perang mulut mereka. Ia memberikan helm pada Alleta. Gadis itu memakainya, lalu naik ke jok belakang. Saat motor dinyalakan, Tristan sempat melirik sekilas ke kaca spion, menatap Alleta yang baru saja kembali ceria karena minuman favoritnya.
Angin Malioboro pun mulai berhembus, mengiringi laju motor yang mulai berjalan di jalan raya. Tristan Arkana Raharja, 17 tahun, tinggi 178 cm, sahabat masa kecil yang selalu ada untuknya.
......................
Tidak semua hal yang menyebalkan berakhir buruk, beberapa justru menjadi kisah yang tak terlupakan.