Selama ini Tania hidup dalam peran yang ia ciptakan sendiri: istri yang sempurna, pendamping yang setia, dan wanita yang selalu ada di belakang suaminya. Ia rela menepi dari sorot lampu demi kesuksesan Dika, mengubur mimpinya menjadi seorang desainer perhiasan terkenal, memilih hidup sederhana menemaninya dari nol hingga mencapai puncak kesuksesan.
Namun, kesuksesan Dika merenggut kesetiaannya. Dika memilih wanita lain dan menganggap Tania sebagai "relik" masa lalu. Dunia yang dibangun bersama selama lima tahun hancur dalam sekejap.
Dika meremehkan Tania, ia pikir Tania hanya tahu cara mencintai. Ia lupa bahwa wanita yang mampu membangun seorang pria dari nol, juga mampu membangun kembali dirinya sendiri menjadi lebih tangguh—dan lebih berbahaya.
Tania tidak menangis. Ia tidak marah. Sebaliknya, ia merencanakan pembalasan.
Ikuti kisah Tania yang kembali ke dunia lamanya, menggunakan kecerdasan dan bakat yang selama ini tersembunyi, untuk melancarkan "Balas Dendam yang Dingin."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadhira ohyver, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Pagi itu, rumah terasa berbeda. Tania tidak lagi disibukkan di dapur dengan celemeknya. Di balik pintu dapur yang sedikit terbuka, terdengar suara gesekan wajan dan aroma harum masakan yang menguar ke udara. Tania sudah memberitahukan kepada Ibu Dika bahwa dirinya diterima bekerja, dan cekatan, Ibu Dika langsung bangun pagi-pagi sekali untuk menyiapkan sarapan.
Tania bangkit dari tempat tidur, mengenakan gaun mandi, dan melangkah ke dapur. Dia menemukan Ibu Dika sedang sibuk menggoreng telur.
"Loh, Tania? Kenapa kamu belum siap-siap?" tegur Ibu Dika lembut, menoleh sekilas ke arah menantunya. "Ini hari pertama kamu kerja, jangan sampai terlambat."
Tania menghampiri Ibu Dika, merasa bersalah melihat ibu mertuanya sibuk sendirian. "Ibu, kenapa cuma ngerjain semuanya sendirian? Mana Farah? Kenapa Ibu nggak bangunin?"
Ibu Dika tersenyum tulus, melanjutkan aktivitasnya. "Pagi ini biar Ibu dulu sendiri yang membuatkan sarapan, Tania. Kamu juga belum memberitahukan ke Dika soal kamu diterima kerja, kan? Kita kasih kejutan untuk mereka berdua." Ibu Dika merendahkan suaranya, bersekutu dengan Tania. "Dika sudah bangun belum?"
"Aku tadi udah bangunin, Bu. Mungkin sekarang lagi mandi," jawab Tania.
"Nah, kalau begitu, sekarang kamu juga siap-siap. Dandan yang cantik," ujar Ibu Dika, tatapannya kini serius dan penuh makna. "Ibu tahu kecantikan kamu selama ini cuma tertutupi saja dengan daster itu dan rutinitas ibu rumah tangga."
Tania tersenyum tulus menanggapi ucapan mertuanya, hatinya menghangat mendengar pujian itu. Sekutu barunya ini benar-benar tulus mendukungnya.
"Ibu yakin nggak butuh bantuan aku?" tanya Tania lagi, memastikan.
"Ibu yakin, Tania. Udah, cepetan sana siap-siap!" Ibu Dika mendorong pelan punggung Tania untuk segera keluar dari dapur.
Tania melangkah pergi, dengan senyum tipis di bibirnya. Pagi ini akan menjadi panggung yang sempurna untuk kejutan kecilnya.
Ibu Dika memandangi kepergian Tania hingga menghilang dari pandangan. Wajahnya yang keriput dipenuhi tekad baja.
"Dika, anakku... kamu sudah salah besar meremehkan Tania," pikir Ibu Dika dalam hati, kembali fokus pada wajan di depannya.
"Cukup Ibu saja yang mengalami ketidakadilan karena perselingkuhan ayahmu dulu, Dika. Kali ini Ibu nggak akan biarin Tania merasakan kembali apa yang Ibu rasakan."
"Dan kamu, meskipun anak Ibu, Ibu nggak akan lagi mendukung tindakan bodoh kamu. Kamu benar-benar mirip dengan ayahmu, Dika. Ibu kecewa."
Setelah kepergian Tania, Ibu Dika mulai mengatur sarapan di atas meja makan. Setiap piring, setiap sendok, ditata dengan presisi yang sama persis dengan kebiasaan Tania—sebuah kesempurnaan yang disengaja. Ibu Dika segera duduk di kursinya, memasang topeng rutinitas, seolah Tania-lah yang berada di balik keajaiban pagi itu.
Tidak lama, Farah masuk ke ruang makan, wajahnya masih kusut dengan jejak bantal dan rambut acak-acakan—penampilan yang benar-benar tidak tahu diri di rumah orang. Tanpa peduli etika, ia langsung duduk dan meneguk jus jeruk di hadapannya.
Bersamaan dengan itu, Dika melangkah masuk, mengenakan setelan kantor yang rapi, aroma cologne mahal menguar.
"Pagi, Mas Dika," sapa Farah manja, nadanya dibuat-buat merengek.
Dika membalas dengan kerlingan mata nakal, bibirnya melengkung tipis, teringat kemesraannya semalam di kamar Farah.
Ibu Dika memutar bola matanya diam-diam, muak melihat tingkah laku putra dan wanita simpanannya tersebut.
"Tania mana, Dika?" tanya Ibu Dika, suaranya terdengar netral. "Kok kalian nggak sama-sama turun?"
"Lohh, aku nggak tahu, Bu," jawab Dika, heran, menoleh ke arah dapur. "Tadi setelah bangunin aku, dia katanya mau ke dapur. Ibu udah coba lihat di dapur? Mungkin ada di sana."
"Tadi katanya pamit mau ke kamar mandi," balas Ibu Dika santai.
"Ohh, mungkin dia ke kamar mandi di ruang menggambarnya, Bu," kata Dika, "Udah, ayo kita sarapan duluan aja."
Tepat saat Dika menyelesaikan kalimatnya, bunyi klik-klak sepatu hak tinggi yang berirama terdengar, mendekat dari arah koridor.
Semua mata teralih ke sumber suara.
Tania muncul. Dia mengenakan blouse sutra berwarna zamrud (emerald green) yang memeluk tubuhnya dengan elegan, dipadukan dengan rok pensil hitam yang mempertegas lekuk tubuhnya. Rambutnya disanggul rapi, menyisakan beberapa helai lembut membingkai wajahnya. Riasan wajahnya tipis, menonjolkan fitur wajahnya yang anggun dan mata yang kini memancarkan tekad. Sepatu high heels hitamnya membuat setiap langkahnya penuh percaya diri dan berwibawa. Aura seorang desainer profesional terpancar kuat, menghapus jejak daster dan rutinitas ibu rumah tangga yang selama ini menenggelamkannya.
Ibu Dika berdiri seketika, terkejut dan terpana. Matanya memancarkan kekaguman murni.
Dika pun sama. Mulutnya sedikit menganga, matanya terpaku pada Tania. Dia menelan ludah, merasakan lonjakan aneh di dadanya. Dia tidak pernah melihat Tania berdandan seperti ini—begitu memukau, begitu... asing.
Sementara Dika dan Ibu Dika terpana dalam diam, Farah menatap kesal. Rasa iri membakar ulu hatinya, amarah membara di matanya, menyadari Tania terlihat jauh lebih memukau dan berkelas dari dirinya yang baru bangun tidur. Pagi ini, panggung drama ini jelas dikuasai oleh Tania.
Tania tersenyum tipis melihat reaksi Dika yang terpana, sebuah kemenangan kecil yang memuaskan. Sebelum Dika sepenuhnya sadar, Tania menyapanya dengan suara lembut namun penuh keyakinan.
"Pagi, Mas," sapa Tania. "Maaf, aku lupa kasih tahu kamu semalam, kalau aku sudah diterima kerja di perusahaan Hartadinata."
Dengan langkah anggun, Tania berjalan menuju kursinya, di antara Dika dan Ibu Dika, lalu duduk dengan tenang, menyilangkan kakinya yang jenjang dengan elegan.
Dika masih belum sepenuhnya sadar, matanya masih memandangi visual Tania yang begitu cantik dan memikat pagi ini. Pikiran bisnisnya sejenak tumpul oleh pesona istrinya yang baru.
Keheningan melanda, sampai Ibu Dika menyadarkan Dika dengan selaan nya yang dibuat-buat heboh. "Waahhh, selamat ya, Tania! Kamu sudah diterima bekerja di perusahaan perhiasan! Ibu yakin kamu bisa sukses seperti Dika!"
Suara Ibu Dika yang sedikit keras itu membuat Dika tersentak, wajahnya yang tadi terpana kini berubah menjadi bingung, berusaha mencerna informasi penting itu. "Kamu diterima di perusahaan Hartadinata, Sayang?"
Tania hanya menjawab dengan anggukan dan senyum manis di wajahnya, menikmati kebingungan suaminya.
Dika kemudian bertanya lagi, "Kok bisa, Sayang?"
Ibu Dika kembali menyela, seolah membela menantunya dari tuduhan tidak masuk akal.
"Kenapa nggak bisa, Dika? Istri kamu kan memang punya kemampuan dalam menggambar perhiasan. Tania melamar di perusahaan perhiasan, sesuai dengan bakatnya, tentu saja diterima. Kamu ini aneh sekali!"
"Nggak—maksud aku bukan begitu, Bu," jawab Dika, salah tingkah.
Ibu Dika membalas lagi, dengan nada yang mengakhiri perdebatan. "Sudahlah, lebih baik kita sarapan, jangan sampai Tania terlambat di hari pertamanya bekerja."
Dengan raut wajah bingung, Dika pun memilih memulai sarapannya. Namun, di sela-sela makan, matanya terus melirik ke arah Tania, masih mengagumi penampilan Tania yang memukau.
Hal tersebut tidak luput dari Farah. Di bawah meja makan, Farah yang kesal karena diabaikan dan melihat Dika terpana oleh Tania, mencubit paha Dika dengan keras.
Dika mengaduh kesakitan, tubuhnya tersentak. "Aduh!"
Tania yang khawatir (pura-pura khawatir) menanyakan keadaan Dika. "Mas? Kamu kenapa lagi? Kesemutan lagi?"
Ibu Dika tersenyum geli dari kursinya, menutupi bibirnya dengan serbet. Ia tahu alasan Dika mengaduh kesakitan, dan ia juga tersenyum karena kecerdikan menantunya dalam bersandiwara. Tania dan Ibu Dika diam-diam bersekutu dalam drama pagi itu.
Sarapan mereka telah usai. Piring-piring kotor ditinggalkan, sementara Tania bersegera berpamitan.
"Aku berangkat dulu, Bu, Mas," ujar Tania, suaranya terdengar santai.
Dika, yang masih terpesona dengan penampilan Tania pagi itu, segera menawarkan diri. "Kamu mau pergi sama siapa, Sayang? Gak mau bareng Mas aja?"
Tania tersenyum lembut, menolak tawaran itu dengan sopan. "Terima kasih, Mas. Tapi Luna sudah ada di luar, kasihan kalau dia menunggu terlalu lama."
Dika mengangguk kaku. "Oh, baiklah. Hati-hati di jalan."
Tania melangkah keluar dari rumah itu dengan anggun. Dika terus memandangi kepergian Tania hingga bayangannya hilang di balik pintu. Farah yang melihat Dika terus memandangi Tania, mendengus kesal, amarah membara di matanya. Dika kembali tersadar dan mengalihkan pandangannya dari pintu, pura-pura fokus pada ponselnya.
Di pekarangan, mobil Luna sudah menunggunya. Tania masuk ke dalam mobil, dan mereka pun melaju pergi, meninggalkan rumah yang penuh intrik dan kebohongan.
Di dalam mobil, Tania tersenyum penuh kemenangan, menceritakan kembali drama di meja makan. Luna tertawa terbahak-bahak mendengar kecerdikan Tania dan kekonyolan Dika serta Farah.
"Mereka benar-benar nggak tahu apa yang akan menimpa mereka, Tan!" seru Luna.
"Itu tujuannya," balas Tania, pandangannya lurus ke depan. "Mereka merasa menang, padahal mereka sudah masuk perangkapku."
Mereka tiba di gedung tinggi dan megah PT Hartadinata. Tania turun dari mobil, menatap gedung pencakar langit itu dengan tekad membara di matanya. Ini bukan sekadar pekerjaan; ini adalah markas operasi barunya.
Saat melangkah masuk ke lobi utama yang mewah, ponsel Tania bergetar. Dia melihat ada pesan masuk dari nomor tak dikenal.
Tania membuka pesan itu. Matanya membelalak kaget membaca isinya. Jantungnya berdebar kencang.
Pesan itu berbunyi: "Aku tahu kamu bukan sekadar melamar kerja di sana, Tania. Hati-hati. Permainan baru saja dimulai."
Tania menatap ponselnya dengan bingung, keringat dingin mulai bercucuran di pelipisnya. Siapa yang mengirim pesan ini? Apakah rencananya sudah terbongkar bahkan sebelum dimulai?
Bersambung...