Emma tak pernah menyangka akan mengalami transmigrasi dan terjebak dalam tubuh istri yang tak diinginkan. Pernikahannya dengan Sergey hanya berlandaskan bisnis, hubungan mereka terasa dingin dan hampa.
Tak ingin terus terpuruk, Emma memutuskan untuk menjalani hidupnya sendiri tanpa berharap pada suaminya. Namun, saat ia mulai bersinar dan menarik perhatian banyak orang, Sergey justru mulai terusik.
Apakah Emma akan memilih bertahan atau melangkah pergi dari pernikahan tanpa cinta ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eka zeya257, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Edmund hampir tak bisa membuka matanya lagi. Dunia di sekelilingnya seperti bergoyang, kabur, dan berdengung pelan seiring denyut sakit yang menggerogoti seluruh tubuhnya. Darah mengalir dari pelipis, bibir pecah, dan dada terasa seperti diremukkan.
Di sisinya, Hana juga tak jauh berbeda. Nafasnya tersengal, tubuhnya gemetar hebat. Sekujur tubuh memar dan luka, matanya mulai meredup, namun ia masih mencoba mencari wajah Edmund di tengah kekaburan pandangannya.
"Edmund…" lirihnya, hanya suara angin yang lemah, "aku… aku mencintaimu…"
Edmund menggenggam tangan istrinya lebih erat, sisa tenaga terakhirnya ia curahkan hanya untuk genggaman itu.
"Aku juga…" gumamnya, suara berat dan patah. "Selamanya…"
Pemimpin para penyusup menatap mereka tanpa belas kasihan. Ia melambaikan tangannya, memberi aba-aba terakhir.
"Sudahi saja," katanya dingin.
Salah satu pria bertopeng mengangkat senjata api dan tanpa ragu, menodongkan moncongnya ke kepala Edmund.
"Edmund!" jerit Hana, sekuat tenaga.
Dor!
Suara tembakan memekakkan telinga menggema dalam ruangan yang sudah penuh dengan aroma besi dan kematian. Kepala Edmund terhuyung lemah, lalu terkulai sepenuhnya. Matanya kosong, tangannya yang menggenggam Hana perlahan terlepas.
"Edmund!!" Hana menjerit, air matanya bercampur darah.
Namun mereka tidak memberi Hana waktu berduka. Dengan kejam, pria lainnya menendang Hana hingga tergeletak telentang. Moncong senjata kedua diarahkan tepat ke dadanya.
Tangisan Hana berubah menjadi bisikan lemah, "Eleanor… maafkan kami…"
Dor!
Tembakan kedua memecah keheningan, lalu senyap.
Tubuh Hana terbaring di samping suaminya, tangan mereka nyaris saling menyentuh, hanya sejengkal saja terpisah.
Pemimpin para penyusup itu memandang mereka dengan tatapan puas.
"Selesaikan. Ayo pergi," perintahnya singkat.
Tanpa banyak bicara, mereka bertujuh segera meninggalkan rumah Edmund dengan kepuasaan yang terpancar di balik penutup wajah yang mereka kenakan.
***
Satu jam kemudian, Eleanor berdiri di depan gerbang rumah orang tuanya. Malam ini udara terasa dingin, dan angin dingin menusuk kulitnya. Matanya menatap lekat ke arah rumah yang tampak gelap gulita, hanya cahaya samar dari bulan yang membias di jendela.
Alisnya berkerut, perasaan gelisah makin menekan dadanya. Tidak seperti biasanya, jika ia datang pasti kedua orang tuanya sudah ada di teras dan menyambutnya.
"Aneh…" gumam Eleanor pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. "Kenapa lampunya mati semua? biasanya Ayah selalu menyalakan semua lampu."
Ia meraih ponsel, mencoba menghubungi ibunya. Tidak ada jawaban. Ia coba nomor ayahnya, lagi-lagi sunyi.
"Lho… kenapa ponsel mereka mati?" Eleanor mulai resah, jemarinya gemetar kecil saat menyimpan kembali ponsel ke dalam saku.
Langkahnya perlahan melewati halaman depan, derit kecil terdengar saat ia mendorong pagar besi yang terbuka sedikit, seolah seseorang lupa menguncinya.
Naluri buruk mulai mencengkeram hatinya semakin kuat. Terlebih tidak ada satpam atau pun bodyguard yang biasa berjaga di rumahnya.
"Bu? Ayah? ini aku, Eleanor…" panggilnya, suara meninggi oleh kecemasan.
Tak ada jawaban.
Ketika ia mendekat ke pintu utama, bau aneh menguar ke udara. Eleanor merasakan sepatunya menginjak sesuatu yang basah.
Hidung Eleanor mengernyit. Ada aroma amis yang sangat menusuk indra penciumannya.
"Apa yang terjadi di sini…" bisiknya, kekhawatiran mulai menyelimuti benaknya.
Dengan tangan gemetar, ia mendorong pintu depan. Pintu itu terbuka perlahan, mengeluarkan decitan parau. Pemandangan yang terbentang di hadapannya membuat tubuhnya seketika membeku.
Eleanor menyalakan senter di ponselnya, di depannya ruangan itu porak-poranda. Aroma darah yang menggenang di lantai sangat membuatnya terkejut setengah mati.
Langkah Eleanor goyah, napasnya memburu.
"Tidak… tidak mungkin…" ucapnya tergagap.
Matanya menyapu ruangan yang remang, dan di tengah lantai yang bersimbah darah ia melihatnya.
Dua sosok tubuh terbaring bersebelahan, dalam kondisi mengenaskan namun masih cukup utuh untuk dikenali. Jemari mereka hampir saling menggenggam, seakan di detik-detik terakhir pun mereka berusaha saling meraih.
"Ibu… Ayah…" suara Eleanor pecah, air matanya menggenang tanpa bisa dibendung.
Lututnya melemas, ia jatuh bersimpuh di lantai, tangisnya meledak dalam keputusasaan.
"TIDAAK!!"
Jeritannya menggema dalam kehampaan rumah yang telah kehilangan jiwa. Getaran emosinya begitu kuat hingga menggema di dinding-dinding yang terkena cipratan darah.
Tangisan Eleanor berubah menjadi jeritan yang melengking, menembus kesunyian malam. Tubuhnya menggigil hebat saat ia merangkak mendekati sisa tubuh orang tuanya, yang sudah tak lagi bernyawa.
"TIDAAAK!! AYAH!!! IBUUU!!!"
Suara parau itu memantul di dinding, menggema di antara puing-puing kehancuran rumahnya. Air matanya terus mengalir, membasahi wajahnya yang cantik.
Tangannya meraih tangan ibunya yang pucat pasi, ia menggenggamnya erat seolah berharap keajaiban akan terjadi.
"Tolong bangun… tolong bangun… ini Eleanor, aku di sini… aku sudah datang… Bu..." isaknya, suaranya tercekat di tenggorokan.
Namun tak ada jawaban. Hanya bunyi detak jam, dan aroma kematian yang pekat di udara.
Tubuh Eleanor mulai bergetar hebat, dadanya sesak oleh duka yang menyesakkan. Ia memeluk tubuh ibunya, lalu berpaling ke tubuh ayahnya yang terbaring kaku. Pandangannya nanar.
"Kenapa… kenapa kalian meninggalkanku seperti ini?!" teriaknya, hampir seperti meronta pada semesta yang kejam. "KENAPA?!"
Dengan air mata yang tak henti, ia memukul-mukul lantai penuh cairan merah tua, rasa marah, duka, dan ketidakberdayaan bercampur jadi satu ledakan emosi yang dahsyat.
"Aku baru pergi sebentar saja!! kenapa harus begini?!! kenapa?!"
Suara isakannya pecah, napasnya memburu tak teratur, hampir tersedak oleh tangis yang tak kunjung reda. Pikirannya kacau, seluruh kenangan bersama kedua orang tuanya berkelebatan dalam benaknya, menambah perih yang mencabik-cabik jiwanya.
"Kenapa kalian tidak tunggu aku… kenapa…" lirihnya lebih pelan, hampir seperti bisikan.
Dalam keputusasaan, ia mengguncang tubuh ayahnya perlahan, seolah berharap bisa membangunkannya dari tidur panjang itu. Tapi tubuh itu dingin. Kaku.
Perlahan, histeria Eleanor berubah menjadi tangis lirih yang menggetarkan. Suaranya mulai parau, lelah, namun air matanya tak berhenti mengalir. Seolah seluruh lautan duka tumpah ruah malam itu.
"Aku janji… aku janji akan cari siapa yang melakukan ini…" ucapnya gemetar, suaranya parau namun penuh tekad yang mulai tumbuh dari dasar kehancuran.
Ia menggigit bibirnya, menahan sesak di dada. "Aku akan buat mereka menyesal telah menyentuh kalian…"
Tatapannya mulai berubah. Dari mata yang sebelumnya hanya menyimpan kepedihan, kini mulai memancar bara kemarahan yang membakar. Tubuhnya gemetar hebat, keringat dingin sebesar biji jagung mulai bermunculan di kening wanita itu.
Malam yang harusnya berlangsung dengan kebahagiaan justru menjadi petaka terburuk dalam hidupnya, malam itu Eleanor bukan lagi wanita yang sama.
Malam itu, seorang anak yang berduka berubah menjadi api yang menyala dalam kegelapan, ia bersumpah untuk menuntut balas bagi orang tuanya yang telah direnggut darinya secara keji.
"Aku pasti akan menemukan mereka dan menghabisinya lebih kejam dari yang kalian alami," bisik Eleanor pada jasad orang tuanya.