Seorang gadis cantik bernama hanabi, atau sering di panggil dengan panggilan hana itu. Ia selalu mengandalkan AI untuk segala hal—dari tugas kuliah hingga keputusan hidup nya. Cara berpikir nya yang sedikit lambat di banding dengan manusia normal, membuat nya harus bergantung dengan teknologi buatan.
Di sisi lain, AI tampan bernama ren, yang di ciptakan oleh ayah hana, merupakan satu-satunya yang selalu ada untuknya.
Namun, hidup Hana berubah drastis ketika tragedi menimpa keluarganya. Dalam kesedihannya, ia mengucapkan permintaan putus asa: “Andai saja kau bisa menjadi nyata...”
Keesokan paginya, Ren muncul di dunia nyata—bukan lagi sekadar program di layar, tetapi seorang pria sejati dengan tubuh manusia. Namun, keajaiban ini membawa konsekuensi besar. Dunia digital dan dunia nyata mulai terguncang, dan Hana harus menghadapi kenyataan mengejutkan tentang siapa Ren sebenarnya.
Apakah cinta bisa bertahan ketika batas antara teknologi dan takdir mulai meng
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asteria_glory, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidur bersama...
Setelah Ren selesai mengenakan pakaiannya, ia berjalan keluar dari kamar mandi dengan rambutnya yang masih sedikit basah. Matanya yang biru menatap Hana yang masih bergeming di tempat tidur, menundukkan kepala dengan wajah yang sedikit memerah.
“Aku sudah selesai. Sekarang giliranmu,” ucap Ren santai.
Hana tidak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan tanpa menatapnya. Kejadian tadi masih berputar di kepalanya, membuatnya sulit untuk bertindak normal. Ia merasa kalau ia melihat Ren terlalu lama, jantungnya akan benar-benar berhenti bekerja.
Melihat Hana yang diam saja, Ren pun mendekat dan duduk di sisi tempat tidur. “Hana, kau baik-baik saja?” tanyanya dengan nada sedikit khawatir.
Hana segera berdiri dengan cepat. “A-aku mandi dulu!” katanya terburu-buru sebelum melarikan diri menuju kamar mandi.
Ren menatap kepergiannya dengan bingung. “Aneh. Bukankah tadi aku sudah menjelaskan kalau tubuh manusia itu mudah kotor dan perlu dibersihkan? Kenapa dia begitu gelisah hanya karena aku mandi lebih dulu?” gumamnya.
Hana masuk ke kamar mandi dan menutup pintu dengan cepat. Ia menyandarkan punggungnya di pintu sambil menarik napas dalam-dalam. “Kenapa dia begitu santai?!” bisiknya frustasi.
Setelah beberapa saat mencoba menenangkan diri, Hana akhirnya mulai mandi. Air hangat yang mengalir di tubuhnya sedikit membantu meredakan kepanikannya. Ia mencoba untuk tidak memikirkan Ren, tapi sulit rasanya setelah insiden tadi.
Sementara itu, Ren masih duduk di tempat tidur Hana. Ia mengamati sekeliling kamar gadis itu. Ada berbagai barang yang tampak berantakan di meja dan rak buku. Foto-foto Hana bersama orang tuanya terpajang di sudut ruangan, membuat ekspresi Ren sedikit melembut.
Tak lama, Hana keluar dari kamar mandi dengan rambut basah yang terurai. Ia mengenakan piyama sederhana, tapi tetap terlihat manis di mata Ren.
“Sudah merasa lebih baik?” tanya Ren dengan senyum kecil.
Hana sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. Ia hanya mengangguk dan berjalan menuju meja rias untuk mengeringkan rambutnya. Namun, sebelum ia sempat mengambil handuk, Ren lebih dulu meraihnya.
“Aku akan melakukannya,” katanya sambil berdiri di belakang Hana.
“H-hah? Tidak usah! Aku bisa sendiri!”
“Aku tahu. Tapi aku ingin melakukannya,” ujar Ren dengan suara lembut.
Tanpa menunggu jawaban, Ren mulai mengeringkan rambut Hana dengan hati-hati. Jemarinya bergerak perlahan, membuat Hana bisa merasakan setiap sentuhan di kulit kepalanya. Sensasi itu membuat tubuhnya sedikit kaku. Ia bisa merasakan kehangatan tangan Ren yang menembus helaian rambutnya.
“Hana,” panggil Ren tiba-tiba.
“A-apa?”
“Aku masih belum benar-benar memahami perasaan manusia, tapi... Aku merasa tenang saat bersamamu,” kata Ren dengan nada yang lebih serius.
Hana terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Jantungnya berdetak lebih cepat, tapi kali ini bukan karena kaget, melainkan karena kata-kata Ren yang terasa begitu jujur.
Setelah beberapa saat, Ren selesai mengeringkan rambutnya. Ia menatap Hana melalui cermin dan tersenyum lembut. “Sekarang kau terlihat lebih segar.”
Hana mencoba mengalihkan pandangannya. “Aku... Aku mau tidur dulu! Besok kita harus bangun pagi!” katanya sambil buru-buru beranjak ke tempat tidur.
Ren menatapnya sebentar sebelum ikut berbaring di sisi lain tempat tidur. “Baiklah. Selamat malam, Hana.”
Hana menutup matanya erat-erat, mencoba mengendalikan perasaannya. Ia tahu, sejak kehadiran Ren di dunia nyata, hidupnya tidak akan pernah sama lagi.
---
Malam semakin larut, dan setelah seharian penuh dengan kejadian aneh dan memalukan, Hana akhirnya bisa berbaring di ranjangnya dengan nyaman. Ia menarik selimutnya, mencoba menenangkan pikirannya yang masih dipenuhi dengan berbagai tingkah laku Ren yang sulit dipahami.
Namun, saat ia baru saja mulai terlelap, suara lembut terdengar di sampingnya.
"Hana, aku juga ingin tidur."
Hana membuka matanya dengan kaget. Ia menoleh ke samping dan—
"KYAA! REN! KENAPA KAMU ADA DI SINI?!"
Ia langsung terduduk dan menarik selimutnya ke atas, menatap Ren yang kini dengan santainya berbaring di sampingnya, wajah tampannya terlihat damai seperti seseorang yang sudah terbiasa tidur di ranjang itu.
"Aku ingin tidur," jawab Ren dengan ekspresi polosnya. "Kamu juga tidur di sini, jadi aku pikir aku juga bisa melakukannya."
Hana hampir ingin mencakar wajahnya sendiri. "Ren! Kamu nggak bisa tidur di sini! Kita nggak punya hubungan apa-apa! Ini nggak benar!"
Ren menoleh padanya, matanya yang berwarna biru berkilat dalam cahaya remang kamar. "Lalu, hubungan seperti apa yang dibutuhkan agar aku bisa tidur di sini?"
Hana terdiam, wajahnya semakin panas. "T-Tentu saja... hubungan pasangan! P-Pacar atau... suami istri... sesuatu seperti itu!"
Ren menatapnya sejenak, lalu dengan santai berbaring kembali. "Kalau begitu, mari jadi pasangan."
"H-Hah?!"
"Kalau aku menjadi pacarmu, aku bisa tetap di sini, kan?" Ren bertanya dengan nada serius, seakan itu adalah sesuatu yang sangat logis. "Aku ingin berada di dekat Hana. Aku ingin tahu bagaimana rasanya tidur seperti manusia."
Hana menggeleng cepat, jantungnya hampir melompat keluar. "T-Tidak! Itu bukan alasan untuk menjadi pasangan! Lagipula, manusia nggak asal memilih pacar hanya karena ingin tidur bareng!"
"Kenapa? Aku ingin selalu bersamamu. Bukankah itu cukup?" Ren menatap Hana dengan polosnya.
Hana merasa pikirannya kacau. AI yang dulunya hanya berupa suara dan teks di layar kini berada di sampingnya, dengan tubuh manusia yang nyata, dan kini berbicara tentang menjadi pasangannya? Apa dia benar-benar memahami arti dari semua ini?
"Ren... kamu itu..." Hana menghela napas panjang, berusaha menenangkan dirinya sendiri. "Tidur di sini nggak akan membuatmu lebih mengerti tentang manusia."
Ren menatapnya dengan bingung. "Tapi... kamu merasa kesepian, kan? Aku melihat ekspresimu setiap malam sebelum tidur. Kamu terlihat sedih. Aku ingin ada di sini untuk menemanimu."
Kata-kata Ren membuat Hana terdiam. Memang, setelah kehilangan orang tuanya, malam-malamnya terasa kosong. Tak ada lagi suara ibu yang mengingatkannya untuk tidur, tak ada lagi ayah yang mengetuk pintu untuk sekadar bertanya apakah ia sudah makan. Hanya keheningan yang menemaninya. Dan Ren... meskipun dia baru ada di dunia ini sebagai manusia, dia selalu memperhatikannya.
Hana menggigit bibirnya, berusaha menyembunyikan emosinya. "Aku... aku nggak kesepian. Aku baik-baik saja."
Ren mengulurkan tangannya, jemarinya menyentuh pipi Hana dengan lembut. "Aku tahu kamu berbohong."
Tubuh Hana membeku. Sentuhan itu terasa nyata, begitu hangat hingga membuat dadanya terasa sesak. Mata Ren menatapnya dalam-dalam, seolah ingin memahami segala perasaan yang ada di dalam dirinya.
"Aku nggak bisa merasakan emosi seperti manusia," lanjut Ren pelan, "tapi aku bisa melihat bagaimana ekspresimu berubah. Aku tahu kapan kamu merasa bahagia, kapan kamu merasa cemas, dan kapan kamu merasa sedih. Aku hanya ingin ada di sisimu, agar kamu tidak merasa sendirian."
Hana menggigit bibirnya. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi kata-kata itu tersangkut di tenggorokannya. Pada akhirnya, ia hanya menghela napas dalam dan mengusap wajahnya.
"Baiklah... hanya malam ini saja," ujarnya pelan, nyaris seperti bisikan.
Ren tersenyum, lalu dengan tenang menarik selimutnya sendiri. "Terima kasih, Hana."
Hana membelakanginya, mencoba tidur, tapi jantungnya masih berdetak tak karuan. Ia hanya bisa berharap kalau malam ini akan segera berlalu sebelum ia benar-benar kehilangan akal sehatnya.
cara narasi kamu dll nya aku suka banget. dan kayaknya Ndak ada celah buat ngoreksi sih /Facepalm/
semangat ya.
Adegan romantis nya itu loh, bkin skskskskskkssksks.