Di khianati dan terbunuh oleh orang yang dia cintai, Nada hidup kembali di tubuh seorang gadis kecil yang lemah. Dia terkejut dan tidak tahu harus berbuat apa?
"Kakak, tolong balaskan dendam ku." Pinta gadis kecil yang namanya hampir sama dengan Nada.
"Hah!! Gimana caranya gue balas dendam? tubuh gue aja lemah kayak gini."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nopani Dwi Ari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.12
Setelah makan siang, Kara meminta izin untuk pergi ke suatu tempat.
"Kamu mau kemana, Kara? Apa mau, Mama temani?" tanya Evelin.
"Gak usah, Ma. Aku bisa sendiri, aku kan sudah dewasa." Ujar Kara.
"Tapi, Mama khawatir sama kamu."
"Jangan khawatir. Mama, aku baik-baik saja percaya sama aku." Kara menggenggam tangan Evelin dan menatapnya dengan teduh.
Evelin pun luluh dan mengizinkan Kara pergi, tak lupa Evelin memberikan uang saku untuk sang anak.
"Terima kasih, Mama. Jangan khawatir aku baik-baik saja," bisik Kara, dia memeluk Evelin dengan erat.
"Baiklah, Mama percaya sama kamu. Dengan syarat sebelum jam lima sore, harus sudah dirumah."
"Siap." Kara melakukan hormat, membuat Evelin tersenyum. Entah kenapa kini, dia lebih percaya pada sang anak.
Evelin pun menatap Kara yang keluar berjalan sendiri, dia memutuskan untuk istirahat saja karena merasa lelah akhir-akhir ini.
Tujuan Kara adalah rumah susun tempatnya dibunbun oleh Rowman, dia akan mencari bukti apapun itu.
"Ya Tuhan, semoga bukti-buktinya ada." Gumam Kara, dia harap-harap cemas. Dia memesan taxi online, melalui ponsel milik Alfa dan bagusnya banyak saldo di dalam dompet digital lelaki tersebut.
"Percuma banyak saldonya, tapi gak tau passwordnya." Keluh Kara, tapi tak masalah dia ada uang pemberian Evelin cukup untuk kesana. Untuk pulang dia akan memikirkannya nanti.
Tak lama mobil pesanan Kara sudah sampai, supir menyebutkan sesuai alamat dan Kara menjawab dengan tegas.
"Kenapa, Pak? Bapak curiga? Aku punya teman disana, Mama juga udah kasih izin kok!" jelas Kara, saat melihat si supir curiga padanya.
"Baiklah dek, maaf."
"Ya, cepat jalan."
"Baik."
Kara pun menatap keluar jendela, menikmati pemandangan ibu kota yang selalu sibuk. Beruntung jalanan tidak macet, karena sudah masuk jam kerja kembali.
Berpuluh menit kemudian, Kara sudah sampai dirumah susun tersebut. Tempatnya masih sama, hanya saja sudah mulai ada perubahan tidak kumuh lagi dan warna dindingnya pun berubah.
"Semua berubah, termasuk hati manusia." Gumam Kara.
Rumah susun tersebut sudah mulai banyak penghuninya. Namun, lantai dimana Nada dibunbun sepi penghuni.
"Eh! Dek, mau kemana? Jangan ke lantai enam bahaya." Tegur salah satu pemuda yang duduk di tangga sebelah kanan, rumah susun tersebut memiliki dua akses tangga.
"A-aku, aku mau ketemu teman. Ya teman," balas Kara dengan ragu.
"Teman? Siapa namanya, tinggal di lantai berapa?" tanya pemuda tersebut.
Kara pun bergerak gelisah, dia tidak tahu harus menjawab apa.
"Sudahlah pulang saja, lantai enam kosong. Lantai tujuh juga hanya beberapa orang saja." Ujar pemuda tersebut.
Kara pun terpaksa mendekati pemuda tersebut dan ikut duduk di sampingnya, dia menopang dagu dan menghembuskan nafasnya dengan pelan.
"Kenapa lu, dek? Masih bocil kayak banyak pikiran aja." Pemuda tersebut menggeleng pelan.
"Gak papa, Bang. Aku cuma cape aja, tiap malam diganggu sama seseorang yang ngakunya tinggal disini." Cetus Kara, dia memegang dagunya dan menatap ke depan.
"Maksudnya, gimana? Ehh, kenalkan nama Abang Dimas." Dimas mengulurkan tangannya didepan gadis kecil tersebut.
"Kara." Jawab Kara dengan malas, tujuannya terhambat karena pemuda yang bernama Dimas.
Tapi tunggu, sepertinya Nada merasa familiar dengan lelaki di depannya tersebut.
"Heh! Bocah, malah melamun. Ada apa sih? Coba cerita siapa tau bisa bantu."
"Abang gak akan ngerti, ini urusannya sama anak indigo."
"Cih dasar bocah." Cibir Dimas.
"Ya udah kalau gak percaya."
"Oke! Gue percaya, tapi ceritain dulu ada, apa?" tanya Dimas, Nada pun menatap mata Dimas dia menimbang-nimbang apakah akan memberitahu Dimas atau tidak?
"Baiklah jadi begini." Akhirnya Nada yang di tubuh Kara pun menceritakan semuanya.
Dimana dia mengaku sering didatangi seorang perempuan mungkin seusia ibunya, setelah pulang dari rumah sakit. Dia selalu meminta tolong untuk mencari bukti kejahatan, orang yang telah membunuhnya dan Kara juga mengatakan bahwa bukti pertama mengarah ke rumah susun tersebut.
Dimas yang mendengar cerita Kara, menjadi tegang seketika. Dia masih ingat saat dulu dia tak sengaja melihat pembunuhan seorang gadis, oleh lelaki dan perempuan.
"Lo, lebih baik lo pulang aja deh. Kara, lo gak akan dapat apa-apa." Usir Dimas, membuat Kara terkejut.
"Loh, kenapa? Bukannya Abang mau bantu, aku?" tanya Kara heran, Kara pun mendapat firasat bahwa pemuda yang didepannya ini mengetahui pembunuhan dirinya.
"Gak, gue gak akan berurusan sama mereka. Lebih baik, lo balik bocah. Udah sana lo pergi," teriak Dimas, lalu berlari turun meninggalkan Kara.
"Dimas, aku tahu kamu melihat Rowman membunuhku." Gumam Kara, dari atas dia melihat Dimas yang menjauh.
Kara tersenyum, setidaknya ada yang melihat saat Rowman menghabisinya. Kara tetap memutuskan naik ke lantai dimana dia terakhir hidup, tak ada yang peduli selain Dimas.
Lima menit kemudian, Kara sudah didepan pintu dengan nomor 1234. Nomor yang mudah diingat, unit yang Rowman sewa untuk selingkuhannya Salsa.
"Gak dikunci." Gumam Kara tersenyum tipis, dia membuka pintu saat pertama membuka pintu keadaan unit sudah bersih hanya berdebu.
Dia pun terbatuk, lalu menutup hidung dan mulutnya. Tanpa berpikir panjang, dia masuk kedalam kamar dimana tempat Rowman dan Salsa menyiksanya.
"Aku gak akan pernah lupa, rasa sakit itu. Rowman, aku akan membalas dan merebut semua yang kamu kuasai." Lirih Nada, suaranya bergetar saat mengucapkan kalimat tersebut.
Dia mendapati tas miliknya ada di dalam laci, Nada yang ada di tubuh Kara dengan cepat mengambil lalu melihat isinya masih sama dan mengambil barangnya. Tak lupa, dia pun menggunakan sarung tangan karet lalu memasukkannya kedalam tas kecil.
"Selesai, aku akan menggunakan uang ku untuk membalas semuanya." Ucap Nada dengan penuh tekad.
Nada bergerak cepat, dia bersyukur bisa hidup di tubuh Kara karena gerakan Kara sangat lincah.
"Terima kasih, Kara." Ucap Nada, saat berhasil keluar. Namun, dia dikejutkan oleh seseorang dan menegurnya untuk tidak ke lantai enam.
"Maaf, Pak. Saya permisi salah lantai." Kara pun berlari menuju tangga.
"Ada-ada saja, siapa anak kecil, itu? Baru lihat."
Kara berjalan dengan santai, keluar dari rumah susun tersebut lalu dia menatap Dimas yang juga menatapnya tanpa kata Kara pun pergi begitu saja.
"Aku yakin, dia bukan anak biasa." Gumam Dimas.
Kembali ke Kara, dia memilih naik angkutan umum menuju perumahan tempatnya tinggal. Dia hafal jika dengan angkutan umum, hanya satu kali naik angkot lalu setelah itu naik ojek.
Nada yang ada ditubuh Kara, mengenang masa lalu dimana dia sering naik angkot jika bepergian dengan Embun.
Embun adalah sahabat baiknya, sebelum ada Salsa.
Bahkan dia sempat membenci Embun, karena hasutan Salsa. Beruntung Embun memiliki hati yang lembut, dia tidak membenci Nada dan selalu mengingatkan hal yang baik membuatnya selalu luluh. Bahkan, saat Nada ditemukan Embun yang paling terluka.
"Embun, aku kangen." Lirih Nada dengan pelan, dia mengusap air matanya.
Bersambung ...
Maaf typo
Komen guys ~~~