Bayangkan jika boneka porselen antik di sudut kamar Anda tiba-tiba hidup dan berubah menjadi manusia. Itulah yang dialami Akasia, seorang gadis SMA biasa yang kehidupannya mendadak penuh keanehan. Boneka pemberian ayahnya saat ulang tahun keenam ternyata menyimpan rahasia kelam: ia adalah Adrian, seorang pemuda Belanda yang dikutuk menjadi boneka sejak zaman penjajahan. Dengan mata biru tajam dan rambut pirang khasnya, Adrian tampak seperti sosok sempurna, hingga ia mulai mengacaukan keseharian Akasia.
Menyembunyikan Adrian yang bisa sewaktu-waktu berubah dari boneka menjadi manusia tampan bukan perkara mudah, terutama ketika masalah lain mulai bermunculan. Endry, siswa populer di sekolah, mulai mendekati Akasia setelah mereka bekerja paruh waktu bersama. Sementara itu, Selena, sahabat lama Endry, menjadikan Akasia sasaran keusilannya karena cemburu. Ditambah kedatangan sosok lain dari masa lalu Adrian yang misterius.
Namun, kehadiran Adrian ternyata membawa lebih
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Khodijah Lubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Birthday Bash
“Sebentar lagi Akasia ulang tahun kan, kamu mau dirayain bagaimana ulang tahunnya?” Ibu Akasia membuka pembicaraan di meja makan.
Malam itu keluarga Akasia berkumpul untuk makan malam bersama, ritual yang dibiasakan sejak Ayah Akasia berniat memperbaiki keluarga.
“Nggak usah dirayain bisa nggak, Bu? Kita aja serumah tiup lilin, potong kue, nggak usah macam-macam.” Akasia malas repot.
“Harus dirayain dong, sweet seventeen loh! Apalagi terima rapot semester kemarin nilaimu memuaskan, harus kasih reward lah.” Ayahnya mendukung rencana itu.
Akasia melirik Ayahnya dengan sorot mata penuh rencana, “Kalau dipestain berarti harus undang teman-temanku, termasuk teman cowok di sekolahku. Termasuk juga cowok yang waktu itu mengantar aku ke rumah, apa benar nggak apa-apa?” Ia menembak langsung dengan seringai menggoda.
Ayahnya menelan ludah, dalam hatinya khawatir tapi tidak mau terkesan kolot dan terlalu protektif, “Ya nggak apa-apa, kan ramai-ramai." Jawab Ayahnya berlagak santai.
“Ya udah kali ini Hanif aja deh yang atur pestanya, mau dimana, gimana konsepnya. Kayaknya Hanif pintar.” Akasia menjawab tanpa disangka, Hanif sendiri terkesiap mendengarnya.
“Aku nih Kak?” Heran Hanif.
“Iya, bisa kan?” Akasia menguji kemampuan anak itu.
“Bisa sih, tapi aku nggak yakin Kakak bakal suka.” Hanif merespon.
“Gimanapun hasilnya pasti aku hargai kok.” Akasia tersenyum menenangkan.
...oOo...
Hanif menggoyang-goyangkan kakinya selagi menikmati seplastik batagor di tangannya.
“Sama aja kamu sama kakakmu, sama-sama doyan batagor!” Komentar Endry sambil tertawa melihatnya, “Eh kakakmu nggak tahu kan kita sering ketemu begini?” Tanyanya khawatir.
“Nggak aku kasih tahu kok.” Hanif menjawab.
“Bagus deh.” Endry kali ini duduk di samping Hanif untuk makan seporsi batagor miliknya. “Gimana teman-temanmu di sekolah?” Ia mengecek.
“Udah lebih baik. Mereka nggak berani jahatin aku karena aku selalu dibela Kakak kelas.” Hanif menceritakan, “Kakak sendiri gimana sama Kak Akasia? Ada perkembangan?” Pertanyaan anak itu mengejutkan Endry.
“Perkembangan apa?” Pemuda itu bingung.
“Kakak suka sama Kak Akasia kan? Kalau nggak ngapain dekatin adiknya begini?" Hanif menembak tepat sasaran.
“Aku tuh tulus tau sayang sama kamu.” Endry menegaskan, “Tapi aku juga sayang sih sama Kakakmu.” Ungkapnya malu-malu, “Kamu tahu darimana sih?”
“Hasil pengamatanku aja.” Hanif tersenyum tengil.
“Kok kamu pintar sih?” Endry tak habis pikir.
“Mungkin karena dulu aku sering nonton berita sambil nunggu Mama pulang.” Hanif berpikir, “Mamaku yang dulu.” Ia menekankankan bahwa yang dimaksud adalah Ibu kandungnya. Endry mengangguk paham, tidak tahu harus meresponnya bagaimana.
“Kakak tahu nggak kalau Kak Akasia sebentar lagi ulang tahun?” Hanif mencairkan lagi suasana.
“Oh ya?” Endry terkejut, merasa bersyukur diingatkan.
“Ulang tahunnya akan dirayain meriah, aku ditugasin mengatur semuanya.” Hanif menceritakan.
“Iya ya, ketujuh belas tahun sih ya.” Endry baru teringat usianya.
“Kakak bisa bantu aku, apa aja sih yang Kak Akasia suka? Kayaknya Kak Endry lebih kenal Kak Akasia daripada aku.” Hanif menanyakan.
“Apa ya?” Pikiran Endry kosong, tidak terpikirkan apapun mengenai Akasia. Ternyata benar ia belum mengenal gadis itu, “Dia suka...soto Betawi.” Tiba-tiba makanan itu muncul di pikirannya, teringat saat mereka keluar berjalan-jalan dulu.
“Oke soto Betawi, masukin ke menu.” Hanif mengetik di ponselnya.
“Dia suka batagor, kue cubit, kerak telor, otak-otak, roti bakar cokelat keju.” Endry kembali teringat saat-saat kebersamaan mereka.
Hanif menatapnya dengan wajah datar, “Kok jajanan semua sih Kak?”
“Ya kan Akasia sukanya jajan, mau gimana dong?” Jawab Endry jujur.
“Maksudku dia suka warna apa? Karakter favoritnya apa? Suka film apa? Suka lagu apa?” Hanif menjabarkan.
“Lagu ya, dia suka lagu Letto, Sebenarnya Cinta.” Endry senyum-senyum sendiri mengingat kenangannya tentang lagu itu bersama Akasia, “Dan dia suka makanan manis.” Timpalnya lagi, masih sambil mesem-mesem.
Melihat Endry senyam-senyum dan terkekeh sendiri, Hanif membuang mukanya ngeri. “Ih Kakak serem.” Celetuknya polos.
‘Aku kasih hadiah apa ya ke Akasia supaya terkesan istimewa?’ Endry berpikir, kemudian ia ingat kalung antik yang pernah ia beli, ‘Aku kan punya kalung antik itu, toh aku juga berniat memberi itu ke Akasia. Mungkin ini momen yang tepat.’ Ia tersenyum lega menemukan jawabannya.
...oOo...
“Ayo cepat Akasia, mandi, ganti baju, supaya kita cepat berangkat!” Ibunya sudah berseru mengingatkan dengan panik. Hari sudah sore, perayaan ulang tahun Akasia dijadwalkan malam ini dengan pemilihan tempat dan penyusunan acara oleh Hanif. Semua tanpa sepengetahuan Akasia.
“Aduh deg-degan, konsepnya kayak gimana sih?” Akasia panik sendiri, tidak mengetahui apa yang akan dia hadapi nantinya.
“Santai aja Kak, Kakak minta dikejutkan kan? Kakak mandi aja dulu, nanti baju dan sepatunya aku taruh di kamar kakak.” Hanif menenangkan.
“Ya udah deh! Duh, mana harus make-up dan tata rambut lagi, nggak bisa nih kalau nggak tahu konsep baju dan acaranya.” Keluh Akasia sambil berjalan ke kamar mandinya.
Begitu selesai mandi Akasia terperangah menjumpai gaun dengan rok mengembang panjang berwarna emas berkilauan tergantung di pintu kamarnya, di bawahnya terdapat kotak sepatu yang masih tertutup. ia mengambil dan membuka kotak sepatu itu dengan perlahan, tampaklah sepasang sepatu berhak cantik berwarna senada, emas berkilauan, sangat indah, “Jadi ini yang Hanif persiapkan untuk aku? Bagus juga seleranya.” Gadis itu terkesan. Sekarang ia yakin memilih konsep make-up dan hair-do yang akan ia kenakan.
Adrian terdiam sebagai boneka tetapi berusaha keras menahan debar keterkejutannya melihat perubahan penampilan Akasia. Memang bukan kali pertama Akasia berdandan, tapi kali ini penampilan paling mewah dan menawan yang pernah Adrian lihat. Akasia terlihat serupa putri Raja. Rambutnya sedikit diikat di bagian atas dan dikeriting di bagian bawah. Bibirnya merah merona, kelopak matanya dipulas eyeshadow emas dengan hint warna tembaga di bagian luar untuk menegaskan bentuk matanya. Garis matanya yang indah dibingkai dengan eyeliner berbentuk wings kecil di bagian luarnya. Bulu matanya yang sudah lentik ditegaskan dengan maskara yang membuat tatapannya semakin terlihat menggoda. Dengan gaun mengembang keemasan itu Akasia tampak mirip karakter Belle dalam film Beauty and the Beast. Akasia mendadak terlihat dewasa di matanya, bukan lagi bocah perempuan yang biasanya manja.
Akasia tidak lupa membawa serta boneka Adri di pelukannya dan tas pesta kecil berwarna senada bajunya, emas.
“Kamu...cantik pakai gaun itu.” Gumam boneka Adri yang terdengar di telinga Akasia.
Akasia tersenyum malu, “Terima kasih.” Responnya singkat sebelum membuka pintu kamarnya untuk keluar menemui keluarganya.
Keluarganya yang sudah menunggu di luar kamarnya pun terpana melihat penampilan Akasia.
...oOo...
Akasia memasuki ballroom yang sudah didekorasi, ia terkesima. Hanif memilihkan tempat dan dekorasi yang indah. Gedungnya terlihat megah dengan beberapa lampu kristal yang menggantung, dimeriahkan hiasan bunga-bunga untai putih yang menggelantung melambungkan khayal ke alam dongeng. Berbagai rangkaian bunga tersusun menyambut mereka, menjadi gapura maupun tersusun di vas, ada pula lampu gantung shabby chic putih yang berjejer menyambut. Di bagian pojok utama gedung terdapat panggung pendek di belakang lampu alfabet besar yang bersusun bertuliskan namanya. Di atas panggung terdapat meja bundar yang diletakkan kue ulangtahun bertingkat beraksen bunga-bunga dengan miniatur istana di atasnya, di sebelahnya terdapat singgasana dengan latar dinding yang dijalari semak berbunga, menyisakan tiruan jendela klasik putih bergaya eropa di tengahnya, semua bunga bernuansa merah, putih, kuning, dengan hiasan daun emas. Pencahayaan yang hangat memberi ambiance syahdu yang mewah pada suasananya. Lagu Letto mengalun memanjakan telinga. Akasia melirik Hanif dengan tatapan meminta penjelasan, bocah itu menatap dengan wajah tengilnya.
“Ini kamu sendiri yang memilihkan?” Akasia menyuarakan keheranannya ke Hanif.
Hanif mengangguk, ‘Sebenarnya ada yang bantuin sih, tapi nggak mau kasih tahu ah.’ Pikiran Hanif berkata.
...oOo...
“Duh gue pakai apa ya? Masa pakai kemeja biasa? Nanti gue dikira petugas katering.” Endry terlihat uring-uringan menatapi koleksi pakaiannya yang kebanyakan bergaya kasual, seseorang di seberang teleponnya mendengarkan. Setelan paling formal yang ia punya hanya setelan jas kantoran.
Selena menghela napas mendengarkan keluhan pemuda di seberang teleponnya itu, “Yaudah lu siap-siap aja, nanti gue bawain setelan punya bokap gue sambil kita kesana bareng.” Ia menenangkan sahabatnya itu.
“Benar nih Sel, nggak apa-apa? Terima kasih loh, Sel.” Lagi-lagi Endry menerima bantuan Selena.
Gedung Serbaguna T, gedung mewah ini memiliki restoran di bagian bawahnya dan ballroom serbaguna di bagian atasnya. Terdapat dua tangga setengah melingkar yang menghubungkan lobby utama dengan venue acara.
Satu per satu teman Akasia berdatangan, mengucapkan selamat pada Akasia seraya memberinya hadiah. Mata Akasia mencari-cari, menantikan seseorang untuk muncul.
Endry yang baru tiba di bagian depan gedung merangsek masuk dengan panik, “Eeh, lu ke toilet dulu sana! Ganti baju!” Selena menangkap tangannya, mengingatkannya.
“Eh iya lupa.” Endry segera mencari toilet di gedung tersebut.
“Gue tunggu disini ya, supaya masuknya bareng.” Selena melipat tangannya sambil bersandar ke tembok.
Endry muncul ke depan Selena dengan penampilan menyerupai pemuda aristokrat. Ia sudah mengenakan setelan jas Betawi hitam berembos sulur-sulur mewah berkilau di kainnya, di bagian tepi jas dan garis kantung terdapat aksen list emas yang menambah mewah penampilannya. Kancing-kancingnya pun berwarna emas berkilauan. Selena yang meminjamkan baju tersebut pun terpesona dibuatnya.
“Nah gini dong, kalau begini kan nggak ada yang bisa melebihi lu gantengnya.” Puji gadis itu jujur.
“Bisa aja lu, Sel! Thank you ya jasnya, jadi ngerepotin lagi nih gue.” Endry tersenyum malu.
“Yaudah masuk yuk! Lapar kan lu?” Ajak Selena untuk mempersingkat waktu.
Endry berjalan dengan elegan ke dalam ballroom dengan jas hitamnya yang mewah, Akasia dapat melihatnya jelas dari jauh karena pesonanya menyilaukan. Pemuda itu tampak seperti pangeran di film disney yang terlempar ke kenyataan. Sayangnya Akasia menyadari di samping pemuda itu Selena berjalan mengiringinya dengan gaun model mermaid line berwarna tembaga. Akasia menghela napas kecewa, tapi berusaha memaklumi.
Endry menghampiri Akasia dengan senyum manisnya, ia membawa serta kotak kecil di tangannya yang dilapisi kertas keemasan dan dihiasi pita merah. “Selamat ulang tahun yang ke tujuh belas, Akasia. Ini hadiah buat kamu.” Endry menyerahkan kotak tersebut ke tangan Akasia yang tersenyum tersipu-sipu.
“Selamat ulang tahun ya Akasia, ini kado dari gue.” Selena mendorong Endry menyingkir dan menyerahkan kotak yang cukup besar, “Akasia, ini udah boleh makan kan?” Gadis itu berbisik menanyakan pemilik hajat.
“Eh iya.” Akasia yang jengah hanya bisa mengangguk pasrah.
“Yuk makan dulu Dry, lu dari tadi kelaparan kan.” Serena menyeret Endry untuk ikut dengannya.
Kembali Akasia menghela napas pasrah, ia melirik boneka Adri untuk menguatkan diri.
“Lu kenapa buru-buru tarik gue sih, Sel? Merusak momen lu ah!” Protes Endry, tapi tetap menurut ketika diajak duduk di bangku yang mengitari meja bundar di gedung itu.
“Gue tahu dari tadi perut lu keroncongan. Lu pasti grogi dari tadi, sibuk mikirin baju yang mau dipakai sampai lupa makan, ya kan? Gue ngerti elu. Udah tunggu aja disini, jangan bacot!” Selena menjauh dan kembali dengan sepiring soto Betawi, “Makan ini dulu buat ganjel perut, daripada asam lambunglu naik. Habis itu terserah deh, lu mau boyong Akasia langsung ke pelaminan juga terserah, gue nggak ganggu.” Selena menyuruh dengan ketus, meski sikapnya perhatian.
Endry tersentuh dengan perhatian Selena, merasa bersalah sempat mengomel ketus kepada gadis itu, “Iya maaf, terima kasih ya. Lu juga makan dong!” Ajak Endry.
“Gue lagi mau nyemil dulu, sebentar. Kayaknya ada kue cubit tuh. Lu mau?” Selena menawarkan.
“Iya deh boleh. Nitip yak!” Endry nyengir kesenangan, ia terus melahap soto betawinya.
Tidak berapa lama, terdengar suara menggema di speaker yang tersedia di tempat acara.
“Ayo semua sini kumpul, jangan ngunyah aja! Yang mau ulang tahun mau tiup lilin nih. Yuk kita nyanyi bareng dulu!” MC mengajak para hadirin yang berada di perayaan ulang tahun itu untuk berkumpul ke sekitar panggung, tempat dimana Akasia duduk dengan anggun.
Akasia memejamkan mata dan berdoa sebelum meniup lilin, ‘Wahai Yang Maha Pengasih dan Penyayang, aku cuma mau bersyukur atas karunia-Mu. Semoga kehidupanku akan semakin baik dan bahagia ke depannya.’ Harapnya dalam hati. Ia meniup lilin diiringi gemuruh nyanyian dan tepuk tangan dari teman-temannya yang hadir. Akasia merasa senang dan disayangi banyak orang. Sekarang tiba waktunya potong kue. Akasia memotong kue dengan hati-hati, saat ia kelihatan sedikit kewalahan, Ayahnya turun tangan membantunya.
Akasia mengambil potongan kue pertama dan menaruhnya di pinggir meja, di depan boneka Adri. Selanjutnya ia memotong lagi lalu memberinya ke Endry, seketika para undangan heboh dan menggodanya dengan sorakan. Pemuda itu tersipu dan merasa tersanjung dengan tindakan Akasia. Gadis itu lalu menyibukkan diri memotong kuenya lagi dan mencoba bersikap wajar terhadap sorakan dari teman-temannya.
Menggema alunan lagu ‘Sebenarnya cinta’ di ballroom tempat acara ulang tahun Akasia, melenakan para hadirin hingga sebagian dari mereka berpasangan untuk berdansa bersama di tengah ruangan.
“Ingat lagu ini nggak Kas?” Endry mendekati Akasia untuk berbisik.
“Ingat.” Akasia mengulum senyum.
“Dansa bareng yuk.” Pemuda itu nekat mengajaknya.
“Aku nggak bisa.” Gadis itu berterus terang.
“Sama, aku juga. Asal aja, culun-culun bareng deh.” Respon Endry membuat Akasia tertawa.
“Iya deh, ayo.” Gadis itu menyambut uluran tangan Endry, keduanya menuju ke tengah ruangan untuk berdansa bersama.
Endry memegang pinggang Akasia dengan satu tangan, sementara tangan satunya menggenggam tangan Akasia. Mereka berdua berdansa seirama.
“Tuh bisa dansa.” Akasia terkesan mendapati gerakan Endry yang teratur.
“Ini juga hasil belajar dari nonton film Barbie tau.” Pemuda itu membocorkan dengan cengengesan.
“Dih tontonannya sama.” Akasia menahan tawa, “Tontonannya cewek banget kamu!”
“Habis gimana, kan diputer melulu di TV, jadi sering nonton deh.” Endry membela diri, “Mulai dari Barbie jadi Sugarplum Princess, Odette di Swan Lake, Princess and Pauper. Nggak konsisten tuh si Barbie, maunya jadi apa sih?”
“Hapal banget lagi.” Akasia terkekeh dibuatnya.
“Aku nggak akan heran kalau besok ada film Barbie sebagai Presiden USA atau tukang ketoprak.” Endry menambahkan, membuat Akasia kembali tertawa.
Mereka berdua terlihat serasi, berdansa sambil sesekali tertawa seakan sangat menikmati waktu kebersamaan mereka. Selena melihat dengan pandangan cemburu, ia masih merasa seharusnya ia yang ada disana, berdansa berdua Endry, bukan Akasia. Sementara dalam hati Adrian yang melihatnya dari wujud boneka perasaannya berkecamuk, bercampur aduk. Ia turut senang karena anak perempuan yang disayanginya telah tumbuh dewasa dan menemukan kebahagiaan dalam hidupnya. Di sisi lain ia merasakan rasa tersayat di hatinya, seperti tidak rela Endry yang ada disana. Adrian cuma bisa memandang dengan nelangsa.
semangat /Good/