Uang miliaran di rekening. Tanah luas. Tiga ratus pintu kontrakan.
Anjani punya segalanya—kecuali harga diri di mata suaminya dan keluarganya.
Hari ulang tahunnya dilupakan. Status WhatsApp menyakitkan menyambutnya: suaminya disuapi wanita lain. Dan adik iparnya dengan bangga menyebut perempuan itu "calon kakak ipar".
Cukup.
"Aku akan tunjukkan siapa aku sebenarnya. Bukan demi mereka. Tapi demi harga diriku sendiri."
Dan saat semua rahasia terbongkar, siapa yang akan menyesal?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 34
Anjani melangkah masuk ke dalam mobil SUV hitam itu dengan perasaan yang tak sepenuhnya tenang. Sekilas ia menyapu pandang ke dalam kabin. Semua penumpang adalah pria. Tak ada satupun ajudan perempuan seperti yang menemaninya tadi.
Hatinya makin tak nyaman.
Ia duduk di kursi tengah. Seorang pria duduk di sebelah kiri, satu lagi di kanan. Di depan, ada sopir dan satu penumpang. Total ada empat orang pria di dalam mobil itu.
Anjani menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya. Mobil mulai melaju, perlahan tapi pasti menjauh dari hotel. Ia memandangi jalanan dari balik kaca jendela. Rutenya aneh. Bukan ke arah rumah. Bukan juga jalur ke kantor pemerintahan.
“Ini... bukan arah ke rumah saya,” ucap Anjani dengan nada tenang, namun waspada.
Tak ada jawaban.
Tiba-tiba dari belakang, dua pria yang duduk di sisi kanan dan kiri menunduk ke arahnya. Sebilah pisau dingin dan tajam menempel di lehernya, tersembunyi di balik kerudungnya.
“Jangan bergerak, atau aku akan habisi kamu sekarang juga,” bisik pria di kanan dengan suara dingin.
Jantung Anjani berdegup kencang. Keringat dingin mulai mengucur di pelipisnya.
"Apa maksud kalian ini?! Siapa kalian? Saya tidak pernah kenal kalian!" ucap Anjani dengan suara tertahan, penuh amarah bercampur ketakutan.
“Kami cuma menjalankan tugas. Katanya... kamu terlalu pandai, terlalu banyak bicara, terlalu suka cari muka. Itu menyebalkan untuk orang tertentu,” sahut pria di sebelah kiri sambil tersenyum sinis.
“Kalian mau apa? Uang? Katakan saja... kalian mau berapa? Saya bisa bayar!” Anjani mencoba bertahan, pikirannya bekerja cepat, mencari celah untuk lepas.
“Kami tidak butuh uangmu, Bu Anjani,” pria di belakang kursi sopir menyahut pelan. “Kami cuma ingin kau hancur. Itu saja.”
Seketika, sebuah kain beraroma menyengat menempel di wajahnya. Obat bius. Anjani menjerit dalam hati. Ia mencoba memberontak, tapi tangan pria di sebelahnya mencengkeram kuat. Lelaki itu jelas terlatih, gerakannya cepat dan presisi.
"Tuhan... tolong aku..." doa itu melintas di benaknya, lirih dan penuh harap.
Kesadarannya mulai kabur, matanya berkunang. Dunia berputar. Ia merasa seperti tenggelam dalam gelap.
Di antara detik-detik terakhir sebelum semuanya menghilang, ia teringat sesuatu.
“Bu... kalau ada apa-apa, tekan token ini tiga kali. Kecil, tapi bisa menyelamatkan hidup Ibu,” pesan Jamal terngiang di kepalanya. Jamal, supir setianya, yang pernah berkata begitu saat menyerahkan benda kecil berbentuk gantungan kunci itu.
Dengan sisa tenaga yang ada, tangan Anjani merogoh ke dalam saku gamisnya. Jemarinya gemetar. Napasnya tinggal sepenggal.
Lalu... klik... klik... klik.
Ia menekan token itu tiga kali sebelum kesadarannya sepenuhnya menghilang.
Sebuah alarm nyaring mendadak memecah kesunyian di markas Naga Hitam, membuat para personel yang berjaga langsung siaga.
“Naga 7! User sedang dalam bahaya!” teriak seorang operator dari ruang digital, matanya menatap layar dengan intens.
Jamal yang sedang menggendong bayinya di ruang belakang langsung terlonjak. Bayinya menangis, tapi Jamal buru-buru menyerahkannya pada pengasuh dan meraih alat komunikasinya.
“Cari lokasi user AJ25 sekarang juga!” perintahnya cepat dan tegas.
Operator lain dengan sigap menari di atas keyboard, menelusuri sinyal token penyelamat. “User bergerak ke arah puncak. Titik akurat: Cianjur, sebuah vila di tengah perbukitan.”
“Yang paling dekat, segera bergerak! Jangan tunggu perintah kedua!” pekik Jamal sambil berlari keluar ruangan.
Di Cianjur, seorang tukang sapu berseragam lusuh tengah menyapu halaman vila tua. Mendengar suara di alat komunikasinya, ia memeriksa layar kecil di balik rompinya.
“User terdeteksi. Koordinat cocok. Siap merapat.” Wajahnya berubah serius.
Sapu ia lempar begitu saja ke semak-semak. Ia berlari ke belakang bangunan, membuka selimut plastik sebuah motor trail hitam. Sekejap, ia sudah melaju menyusuri jalan menanjak berbatu.
Tak jauh dari sana, beberapa sosok berpakaian serba hitam dengan penutup kepala mulai bergerak diam-diam. Senyap, seperti bayangan. Mereka menyebar, menuju satu titik yang sama: vila tempat Anjani disekap.
Di Jakarta, Jamal menaiki mobil hitam milik Anjani, tangannya menggenggam kuat setir.
“tunggu Bu kami akan datang" ucap Jamal dan segera memacu kendaraan dengan kecepatan luar biasa.
.....
Mobil Anjani terus melaju dengan kecepatan tinggi.
"Target sudah dapat," ucap seseorang di dalam mobil.
"Sudah, bawa ke sini. Ingat, jangan diapa-apakan dulu. Kalau kalian menyentuhnya, maka akan kupatahkan tangan kalian," ucap seseorang dengan nada tegas.
Jeremi mengambil ponselnya lalu menghubungi Viona.
"Target sudah dapat. Sekarang sedang menuju lokasi," ucapnya.
"Oke, senang-senanglah kalian, tapi jangan mulai dulu sebelum aku datang," ucap Viona.
"Oke, cepat kamu ke sini," ucap Jeremi.
Mobil yang dikendarai Anjani akhirnya sampai di sebuah vila. Beberapa orang penjaga langsung menyambutnya.
Anjani dibopong oleh seseorang keluar dari mobil dan dibawa masuk ke dalam vila, lalu digiring ke sebuah kamar.
"Lumayan cantik, tapi sayang nggak mau dandan," ucap Jeremi sambil memperhatikan wajah Anjani dengan penuh nafsu.
"Apa kamera sudah siap?" tanya Jeremi.
"Sudah, Bos," ucap anak buahnya.
Jeremi menelan ludah saat melihat Anjani yang memiliki kecantikan alami.
...
Jeremi hendak membuka kerudung Anjani ketika tiba-tiba—
“Duarr!”
Terdengar suara letusan keras dari luar vila.
"Bos, ada serangan!" teriak salah satu anak buah Jeremi sambil berlari masuk.
Jeremi mengumpat kesal. “Sial! Ada-ada saja yang mengganggu kesenanganku!”
Di luar, lima orang berpakaian serba hitam tengah bertarung sengit melawan puluhan anak buah Jeremi. Kondisi vila menjadi kacau balau—perabotan hancur, dinding berlubang, dan lantai penuh pecahan kaca.
Pertarungan berlangsung tidak seimbang. Kelima orang berpakaian hitam itu mulai terdesak.
"Dasar bodoh! Berani-beraninya kalian mengganggu kesenanganku!" teriak Jeremi penuh amarah.
Ia mengarahkan senjata apinya ke arah salah satu penyerang yang mengenakan penutup wajah seperti ninja.
Namun sebelum pelatuk sempat ditekan, sebuah mobil off-road menerobos masuk dan menghantam dinding vila, meruntuhkan ruang tamu.
Tiga mobil off-road dan beberapa sepeda motor menyusul di belakang, menambah kekacauan.
Jeremi mulai panik. Melawan lima orang saja mereka sudah kewalahan, apalagi sekarang jumlah musuh sudah seimbang—bahkan mungkin lebih unggul.
....
Semua orang terkapar.
Tubuh-tubuh berserakan di halaman vila—anak buah Jeremi, para penyerang berseragam hitam, semuanya tergeletak lemas, beberapa tak sadarkan diri, sebagian luka parah. Asap masih mengepul dari puing-puing mobil off-road yang terbakar sebagian. Suasana sunyi sejenak, hanya suara api menjilat kayu dan derit angin malam yang terdengar.
Tiba-tiba, dari kejauhan terdengar deru mesin besar. Sebuah truk pengangkut sapi muncul dari balik pepohonan, melaju pelan namun pasti, mengarah ke vila yang kini porak-poranda.
Begitu truk berhenti, seorang pria bertubuh besar turun dari kabin. Wajahnya tertutup topi dan masker kain hitam.
“Masukkan mereka semua!” perintahnya dengan nada datar namun penuh wibawa.
Anak buah pria itu, berpakaian seragam gelap, segera bergerak cepat. Tubuh-tubuh yang masih bernapas dilempar ke dalam bak truk seperti karung. Termasuk beberapa orang dari pihak Jeremi yang masih bernapas, meski nyaris tak sadarkan diri.
“Bakar tempat ini,” ucap pria itu lagi, tenang namun dingin.
Tanpa membuang waktu, salah satu anak buahnya menyiramkan bensin ke beberapa sudut vila. Api dinyalakan, dan dalam hitungan menit, si jago merah mulai melahap dinding-dinding kayu, menciptakan kobaran besar yang menerangi malam.
Sementara itu, seorang perempuan muda muncul dari balik reruntuhan, menggendong Anjani dengan hati-hati. Wajahnya lembut namun tegas, matanya fokus pada misi.
“Ayo, waktunya pergi,” ucap perempuan itu pelan.
Dengan langkah sigap, ia membawa Anjani menjauh dari vila yang mulai runtuh dilalap api, meninggalkan kekacauan yang baru saja berakhir... atau mungkin, baru saja dimulai.
Tapi.. kayanya bakalan lucu kalau si Firman yg dan bucin duluan nantinya 😂😂👍