kisah nyata seorang anak baik hati yang dipaksa menjalani hidup diluar keinginannya, hingga merubah nya menjadi anak yang introvert dengan beribu luka hati bahkan dendam yang hanya bisa dia simpan dan rasakan sendirian...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Widhi Labonee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melawan Akamsi Jumawa
Tiwi mengikuti Umi yang berjalan menyusuri bantaran sungai untuk sampai ke rumahnya. Menjelang sore begini sungai sangat ramai, ada beberapa orang yang sedang mandi atau mencuci baju. Umi menyapa siapa saja yang dikenal, dan hampir semua yang mereka temui Umi kenal. Benar-benar anak perempuan yang extrovert.
Mereka sampai di depan sebuah rumah yang lumayan bagus dibanding dengan kanan kiri yang masih berdinding anyaman bambu. Rumah yang tidak terlalu besar juga tidak terlalu kecil, dengan beberapa tanaman dihalaman yang rapi. Umi mengajak Tiwi masuk kedalam rumah nya. Setelah mengucap salam, dan dijawab oleh seorang wanita yang lebih muda dari ibu Riyanti, dan seorang anak lelaki kecil berdiri menyambut diruang tengah.
“Umi… ya ampun, kok nggak ngabarin kalau pulang bersama temanmu, Emak kan nggak masak apa-apa ini tadi..” omel ibunya Umi yang biasa dipanggil Emak itu dengan nada penuh kasih sayang.
“Ini yang namanya Tiwi itu ya? Ya ampun cantiknya…maafkan Emak ya Ndhuk, rumahnya jelek nggak seperti rumahmu yang buagus, semoga kamu kerasan disini ya…ayo dan segera ditaruh tas nya. Mandi, dan membersihkan diri, ada air kok di belakang, apa mau mandi di sungai?” Tanya Emak heboh.
“Walah Emak ini kalau ngomong sering nggak ada rem nya. Biarkan Tiwi istirahat dulu Mak, iya iya nanti kami pasti mandi .. oh iya Wi, ini adikku, namanya Alif, ayo Lif, kenalan sama mbak Tiwi,” Umi komplain ke emaknya dan sekaligus memperkenalkan sang adik.
Tiwi menjabat tangan Emak dengan takzim, lalu beralih ke Alif. Setelahnya dia ikut Umi masuk ke dalam kamar.
“Emakmu lucu ya, orang nya hebohan,” komentar Tiwi pada Umi.
“Iya, beda sama Bapak, beliau orangnya kalem, nggak banyak bicara, nanti kamu kalau ketemu jangan kaget ya ..”
Kedua gadis remaja itu pun keluar dari kamar. Umi menuju ke dapur, sedangkan Tiwi kedepan rumah. Dia melihat sekeliling rumah, sampai pandangannya beralih pada seorang bapak yang sedang menuntun sepeda motor, dan memasuki halaman rumah ini.
Pria itu memarkir motor yang kelihatan masih baru itu. Lalu dia melihat kearah Tiwi, dan tersenyum.
“Temannya Umi?” Tanya bapak itu.
Tiwi mengangguk sopan.
“Kenalkan, saya Pak Slamet Sukirno, bapaknya Umi,” pria yang ternyata adalah Bapaknya Umi itu mengulurkan tangan.
Dengan takzim Tiwi menyambut dan mencium punggung tangan pak Slamet.
Pria itu kaget, tidak menduga anak yang kelihatan tomboy ini ternyata sangat sopan.
“Sudah lama datangnya? Kok tidak kirim pesan biar bapak jemput tadi,” tanyanya pada Umi yang baru muncul dari dalam rumah.
“Halah, sok sok an mau jemput, lahwong naik motor saja nggak bisa. Bisanya cuma dituntun ..” jawab Umi dengan tertawa.
Pak Slamet pun ikut tertawa," Yang penting kan sudah punya motor Mi, perkara bisa naik, nanti belajar pelan-pelan kan pasti bisa,”jawab sang Bapak sembari berjalan masuk kedalam rumah.
“Mana kunci motor nya? Si Tiwi ini jago naik motor Pak, dirumahnya dia yang dipercayai oleh Bapaknya untuk inreyen motor baru yang mereka beli. Sini, biar aku diajari sama Tiwi saja, nunggu Heru yang ngajarin sama denagn nunggu ayam kencing Pak,” Umi merepet sambil meminta kunci motor jenis Suzuki itu.
“Hati-hati loh, bensinnya penuh kok, tapi jalan kampung sini banyak yang lubang, awas jatuh ya,” ujar Pak Slamet lagi.
“Bereeessss…” jawab Umi yng menyerahkan kunci motor pada Tiwi.
Dengan hati-hati Tiwi mengambil motor yang diparkir itu, dia mulai menyalakan motor itu dan memanasi beberapa saat, kemudian setelah mesinnya tenang, Tiwi memutar motor dan menyuruh Umi naik ke boncengan, lalu dia mulai memasukkan gigi persneling dan menarik tuas gas pelan-pelan. Motor pun melaju dengan santai menapaki jalanan kampung itu.
“Kita muter-muter ya Wi? Eh, ke arah kiri saja dulu… “ Umi memberi aba-aba.
Setelah Tiwi mengikuti instruksi nya, mereka pun memasuki deretan rumah yang lumayan agak rapat, tidak seperti di tempat Umi yang masih banyak lahan kosongnya.
Tiba-tiba ada seorang anak lelaki yang mengendarai motor modifikasi, melihat Umi, dia memutar arah dan mensejajari motor yang sedang dikendarai Tiwi.
“Hai, cewek! Kenalan dong!” Serunya…
Tiwi cuma menoleh sebentar, lalu kembali konsentrasi melihat jalan didepan.
“Heru!! Jangan godain temenku! Jalanan lagi nggak bagus nih. Kalau sampai jatuh aku hajar kamu Her!!” Bentak Umi pada cowok slengean itu.
Hahahahahaha dia tertawa ngakak.
Setelah ketemu tempat yang agak lapang, Tiwi segera menghentikan motornya.
“Apa maumu ?” tanya Tiwi dingin.
Heru yang ditanyai segera mematikan mesin motornya. Dia cukup kaget mendengar nada pertanyaan Tiwi yang dingin itu. Biasanya dia akan mendengar suara manja mendayu menggodanya, karena memang wajah nya bisa dibilang ganteng, hanya saja kulitnya yang sedikit gelap. Jatuhnya kaya cowok Vrindavan lah.. Tapi banyak cewek yang menyukainya di desa ini.
“Eh, eng.. nggak. Cuma mau nyapa aja kok. Emm..kenalin, namaku Heru Pramono, anak Pak Kades disini. Kamu ini temannya Umi ya?” tanya Heru lagi.
“Iya, dia temanku, namanya Tiwi. Kamu jangan berani goda dia ya! Kalau tidak mau di pukul sama dia, karena dia juga jago karate loh!” Umi Malah menjawabnya.
Heru hanya bisa menghela nafas panjang, maksud hati ingin berkenalan langsung, ini malah Umi terus yang nyerobot jawab..
“Kamu itu tukang bohong Her, katanya mau ajarin naik motor, tapi mana pernah kamu ke rumahku. Untung ada Tiwi, dia bakal ngajarin aku, nggak kayak kamu yang omong doang.” Gerutu Umi pada cowok hitam manis itu.
“Iya..iya… nanti aku kerumahmu, pak Slamet pasti aku ajari, tenang saja…”
Setelah dirasa basa basi nya cukup, Tiwi pun kembali melajukan motornya dengan santai. Melihat cara Tiwi yang memegang stang stir dengan sangat santai itu, Heru bisa menilai jika cewek ini sangat jago naik motor.
“Kamu jago juga naik motor, dilihat dari cara kamu megang stir dan memainkan gas, bisa nih kita bertanding…” tantang Heru pada Tiwi..
Cewek tomboi yang memang jago naik motor dari kecil itu cuma tersenyum datar. Tantangan yang tidak perlu dijawabnya. Karena selain medannya tidak memungkinkan, juga ini bukan motor miliknya. Tiwi tidak mau dimarahi pak Slamet jika ketahuan dia kebut-kebutan di kali pertama dia datang di desa ini.
“Oh, siapa takut, ayok ! Kapan? Nanti malam? Sekarang?” tantang balik Umi pada Heru..
Tiwi kaget, nih anak asal jawab saja. Ngawur!
“Sekarang juga nggak apa-apa. Sebagai salam perkenalan buat Tiwi ke kampung sini ..” jawab Heru enteng.
Tiwi mengerem mendadak, dia menatap mata Heru tajam.
“Kamu akamsi. Aku memang cuma pendatang, tapi aku tau sopan santun, apa kata orang sini nanti kalau kamu aku kalahkan?” Ujar Tiwi dingin.
Hahahahahaha… Heru ngakak, dia tidak mengira jika tantangan nya disambut..
Secepat kilat cowok itu memutar motornya ke arah sebaliknya. Entah apa maksudnya.
“Kemana?” Tanya Tiwi pada Umi.
“Siapa? Heru? Nggak tau..kalau kita ya lanjut muter-muter nya .. ayok ..”
Tiwi pun melanjutkan perjalanan muter-muter di sore itu.
Ketika sudah sampai di batas desa, tiba-tiba ada beberapa anak lelaki yang mengendarai motor menghadang. Ada Heru salah satunya disana..
“Hai .. katanya ada yang mau menantang akamsi motoran nih, ayo.. kami sudah siap!” Ujar salah satu anak yang rambutnya diwarna pirang itu.
Tiwi menoleh pada Umi. Gadis gemoy itu turun dari motornya dan mendekati kumpulan anak itu..
“Tadi yang nantang itu si Heru, bukan kami Kuncring !’ ujar Umi sambil memukul motor anak yang dipanggil Kuncring itu.
“Lah, sama aja… udah ayoo.. kami pingin tau apa benar cewek jagoan temanmu itu memang hebat,” balas Kuncring lagi.
Heru langsung mendekati Tiwi yang masih duduk diam diatas motor itu.
“Ayo, cukup satu kali tarikan saja sayang, dari ujung jalan ini ke ujung jalan sana. Siapa yang nyampe duluan dia yang menang. Gimana? Takut?” Olok Heru yang membuat Tiwi sedikit terpancing.
Akhirnya dengan berat hati Tiwi menuruti tantangan Akamsi itu. Juga gegara asbun si Umi menjawab tantangan itu.
Tiwi bersiap di sisi kiri jalan dengan mencoba menarik tuas gas motor pak Slamet yang benar-benar masih standart ini. Beruntung dia specialist membuat motor baru agar tarikannya enteng..
Dan ….
Bruuuummm…. Kedua motor itu sudah melaju meninggalkan lokasi. Dan diujung jalan sana sudah ada yang menunggu.
Hasilnya adalah … Tiwi pemenang nya…
Umi bersorak girang dan melompat-lompat. Heru hanya bisa geleng-geleng kepala. Mengakui bahwa dirinya tidak sejago Tiwi.
Meskipun semalaman mereka dapat ceramah dan omelan panjang dari Pak Slamet dan Emak, tapi setidaknya Tiwi bangga bisa mengalahkan Akamsi yang jumawa itu. Membuktikan jika dirinya masih yang terbaik dijalanan. Sebagai tempat pelarian paling sempurna baginya dari dulu. Dari penatnya segala masalah hidup.
********