Han Qiu, seorang penggemar berat street food, tewas akibat keracunan dan bertransmigrasi ke dalam tubuh Xiao Lu, pelayan dapur di era Dinasti Song. Ia terkejut mendapati Dapur Kekaisaran dikuasai oleh Chef Gao yang tiran, yang memaksakan filosofi 'kemurnian'—makanan hambar dan steril yang membuat Kaisar muda menderita anoreksia. Bertekad bertahan hidup dan memicu perubahan, Han Qiu diam-diam memasak hidangan jalanan seperti nasi goreng dan sate. Ia membentuk aliansi dengan Kasim Li dan koki tua Zhang, memulai revolusi rasa dari bawah tanah. Konfliknya dengan Chef Gao memuncak dalam tuduhan keracunan dan duel kuliner akbar, di mana Han Qiu tidak hanya memenangkan hati Kaisar tetapi juga mengungkap kejahatan Gao. Setelah berhasil merestorasi cita rasa di istana, ia kembali ke dunia modern dengan misi baru: memperjuangkan street food yang lezat sekaligus higienis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laila ANT, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terkontaminasi
"Itu... itu suara Xiao Tao," bisik Li, bibirnya nyaris tidak bergerak, tetapi setiap suku kata bergetar hebat.
"Anak baru di bagian logistik. Penjilat nomor satu Mandor Gui."
Han Qiu menarik Li lebih dalam ke ceruk gelap mereka, tubuh mereka menekan dinding yang lembap dan berbau jamur. Jantungnya yang tadi berdebar karena petualangan kini berdentam dengan irama yang berbeda. Irama bahaya.
Ini bukan sekadar pasar. Ini adalah sarang pasokan rahasia Chef Gao.
Wanita itu tidak hanya mengunci bumbu di istana; dia juga mengendalikan sumbernya di luar. Kacang tanah kualitas upeti yang diminta Mandor Gui... itu pasti untuk Gao. Permintaannya bukan jebakan spontan; itu adalah bagian dari rantai pasokan yang sudah mapan. Mereka baru saja tersandung ke dalam operasi penyelundupan rasa milik musuh bebuyutan mereka.
"Kita tunggu," desis Han Qiu, matanya terpaku pada siluet Mandor Gui yang sedang memeriksa kacang dengan teliti, seolah sedang menilai sebongkah batu giok.
"Biarkan mereka pergi."
Mereka menunggu dalam keheningan yang menyesakkan, napas mereka tertahan, menjadi satu dengan bayang-bayang. Setelah tawar-menawar yang terasa seperti selamanya, Mandor Gui akhirnya membayar, mengambil karung kecil berisi kacang, dan berjalan menjauh bersama Xiao Tao, menghilang ke dalam labirin gang yang lebih gelap.
Hanya setelah langkah kaki mereka benar-benar lenyap, Han Qiu dan Li berani bernapas lagi.
"Oke," kata Han Qiu, suaranya tegang.
"Sekarang giliran kita. Cepat dan efisien."
Ia melangkah keluar dari persembunyian mereka, dan saat itulah dunia nyata menghantamnya.
Bukan seperti hantaman dinding.
Lebih seperti tenggelam perlahan ke dalam lautan pembusukan.
Bau.
Ya Tuhan, baunya.
Di kehidupan modernnya, Han Qiu adalah ratu street food. Ia bisa mentolerir bau got yang samar atau aroma minyak jelantah yang sudah terlalu sering dipakai. Tapi ini... ini adalah dimensi lain dari kotoran. Bau tanah becek yang terinjak-injak ribuan kali, bercampur dengan aroma anyir dari potongan ikan yang sudah kehilangan harapan, bau tajam kotoran keledai, dan di bawah itu semua, nada dasar yang paling mengerikan:
bau kemiskinan yang membusuk.
Matanya mencoba memproses pemandangan itu.
Lentera minyak yang berkedip-kedip hanya menerangi horor dalam detail yang buram.
Lantai pasar adalah lumpur padat. Bukan tanah, tapi lumpur yang entah terbuat dari apa saja. Ia melihat seorang pedagang menyeka tangannya yang kotor ke celemek yang warnanya sudah tidak bisa diidentifikasi, lalu dengan tangan yang sama ia mengambil segenggam sayuran layu untuk ditunjukkan pada pembeli.
Lalat-lalat berpesta pora di atas tumpukan jahe, berdengung puas seolah baru saja menemukan surga. Di sudut lain, seorang anak kecil buang air kecil di dekat tumpukan karung goni.
Sesuatu di dalam perut Han Qiu bergejolak.
Kontaminasi silang.
Kata-kata itu muncul di benaknya, berkedip seperti lampu neon merah.
E. coli. Salmonella. Listeria.
Nama-nama monster tak terlihat dari dunianya yang dulu kini menari-nari di depan matanya.
Rasa mual yang familier mulai merayap naik ke tenggorokannya. Panas. Keringat dingin. Sensasi yang sama persis seperti saat ia terbaring sekarat di ranjang apartemennya, dikhianati oleh semangkuk bakso yang tampak begitu menggoda.
"Xiao Lu? Kau baik-baik saja?" Suara Li menariknya kembali dari ambang kepanikan.
"Wajahmu... lebih pucat dari bubur Gao."
"Aku... aku baik-baik saja," dusta Han Qiu, menelan ludah dengan susah payah. Ia memaksa kakinya untuk melangkah maju, menuju seorang pedagang yang karung-karung kacangnya tampak paling kering.
"Fokus. Kita butuh kacang untuk si Ratu Iblis dulu."
Pedagang itu seorang pria tua dengan satu mata yang keruh, sementara mata lainnya menatap tajam. Kukunya panjang dan hitam, seolah ia baru saja selesai menggali kuburnya sendiri.
"Mau cari apa, Nona Manis?" sapanya, senyumnya memperlihatkan gusi yang ompong.
"Satu kati kacang tanah," kata Han Qiu, suaranya sedikit bergetar. Ia menunjuk karung yang paling atas.
"Yang itu. Kualitas terbaik."
Pria tua itu tertawa serak.
"Tentu saja. Tentu saja. Mata Nona memang jeli."
Ia meraup segenggam kacang dengan tangannya yang kotor.
Han Qiu tersentak mundur secara refleks.
Ia bisa melihat partikel-partikel tanah kering berjatuhan dari sela-sela jari si pedagang, menaburi kembali kacang-kacang yang akan ia beli.
Tidak. Tidak. Tidak. Cuci. Rebus. Sangrai dengan api neraka. Bakteri akan mati. Bakteri PASTI mati. Ia mengulang mantra itu dalam kepalanya.
"Berapa harganya?" tanyanya, berusaha agar suaranya tidak terdengar seperti orang yang akan muntah.
"Untuk kualitas seperti ini?" Pria tua itu menyipitkan matanya.
"Tiga keping perak."
"Apa?!" seru Li di belakangnya.
"Mandor Gui tadi hanya membayar lima keping untuk kualitas upeti! Ini perampokan!"
"Mandor Gui itu langganan," balas si pedagang tanpa gentar.
"Kalian wajah baru. Harga perkenalan."
Han Qiu tidak punya waktu atau energi untuk berdebat. Ia hanya ingin menyelesaikan transaksi ini dan pergi dari neraka sanitasi ini. Dengan tangan gemetar, ia mengeluarkan satu keping perak dan beberapa koin tembaga. Ia meletakkannya di atas meja kayu yang reyot, menghindari kontak kulit sekecil apa pun.
Si pedagang membungkus kacang itu dalam selembar daun kering yang besar dan menyerahkannya. Han Qiu menerimanya dengan ujung jari, memegangnya sejauh mungkin dari tubuhnya seolah itu adalah limbah radioaktif.
Satu tugas selesai. Sekarang untuk amunisi mereka sendiri.
"Kita butuh kacang lagi, yang lebih murah," katanya pada Li.
"Lalu cabai kering, ketumbar, dan bawang."
Mereka pindah ke pedagang lain, seorang wanita gemuk yang sedang mengipasi dirinya dengan malas. Di depannya, terhampar bumbu-bumbu kering di atas tikar jerami. Lagi-lagi, lalat-lalat menjadi pelanggan pertama.
Di sinilah sebuah kesadaran baru menghantam Han Qiu, lebih keras daripada bau busuk di sekitarnya.
Ini bukan hanya tentang membangkitkan nafsu makan Kaisar.
Ini bukan hanya tentang mengalahkan Gao.
Jika ia akan membawa revolusi rasa, ia tidak bisa melakukannya dengan cara ini. Ia tidak bisa mengulangi kesalahan yang membunuhnya.
Makanan jalanan yang ia rindukan, yang ia perjuangkan, harus lebih dari sekadar lezat.
Makanan itu harus aman.
Harus bersih.
Ia tidak hanya akan membawa kerak hitam dan bumbu yang berani ke dalam istana. Ia akan membawa sesuatu yang jauh lebih revolusioner: standar kebersihan modern. Mencuci tangan. Memisahkan bahan mentah dan matang. Memasak dengan suhu yang tepat.
"Yang ini," katanya pada wanita itu, menunjuk tumpukan cabai kering yang tampak paling sedikit dihinggapi lalat.
"Dan kacang yang itu."
Wanita itu menimbangnya dengan timbangan tangan yang sudah karatan.
"Totalnya... dua puluh koin tembaga."
Itu hampir semua sisa uang mereka. Han Qiu menghela napas dan mulai menghitung koin-koin berharga itu ke telapak tangannya.
"Tunggu," kata si pedagang wanita tiba-tiba, matanya bersinar licik.
"Kau lihat, Nona, wajahmu tampak baik. Aku akan memberimu bonus."
Dengan gerakan cepat, ia meraih beberapa umbi bawang putih yang sudah mulai bertunas dan melemparkannya ke dalam bungkusan mereka.
"Anggap saja hadiah."
Han Qiu terkejut dengan kebaikan yang tiba-tiba itu.
"Oh... terima kasih."
Ia menyerahkan koin-koin itu, mengambil bungkusan bumbunya, dan berbalik untuk pergi, merasa sedikit lebih baik tentang dunia. Mungkin tidak semua orang di sini adalah perampok.
"Ayo, Li. Kita sudah dapat semuanya," katanya lega.
Mereka baru berjalan beberapa langkah ketika Li menarik lengannya dengan kasar, memaksanya berhenti.
"Ada apa?" tanya Han Qiu.
"Uangnya," bisik Li tegang.
"Dompetmu."
Han Qiu menunduk. Kantong kain kecil yang diikatkan di pinggangnya... terasa lebih ringan. Anehnya, terasa jauh lebih ringan. Dengan firasat buruk yang menusuk, ia membukanya.
Di dalamnya, koin-koin tembaga yang seharusnya masih tersisa untuk keadaan darurat telah lenyap. Digantikan oleh beberapa kepingan logam tipis dan kasar yang jelas-jelas bukan uang.
"Dia..." Han Qiu terkesiap, menoleh ke belakang.
Pedagang wanita gemuk itu menatapnya, sebuah senyum kemenangan tersungging di bibirnya. Hadiah bawang putih itu... itu adalah pengalih perhatian. Saat Han Qiu lengah dan merasa berterima kasih, rekannya—seorang anak laki-laki kurus yang tadi berjongkok di sampingnya—pasti telah beraksi, menukar isi kantongnya.
Kemarahan yang panas membakar rasa mualnya.
"Pencuri!" serunya, melangkah maju.
"Xiao Lu, jangan!" Li mencoba menahannya.
"Ini bukan tempat kita!"
Tapi Han Qiu tidak mendengarkan. Ia tidak akan membiarkan misi mereka gagal karena tipuan murahan. Ia berjalan kembali ke warung itu, menatap wanita itu dengan tajam.
"Kembalikan uang kami."
Wanita itu tertawa, suara tawanya serak dan mengejek.
"Uang apa, Nona? Kau sudah membayar. Sekarang pergilah sebelum aku memanggil penjaga."
"Penjaga?" Han Qiu mendengus.
"Di pasar gelap ini? Kau lebih mungkin memanggil tikus daripada penjaga."
Ia mencondongkan tubuhnya ke depan, matanya menyala.
"Aku tahu apa yang kau lakukan. Kembalikan sekarang, atau..."
"Atau apa?"
Sebuah suara berat datang dari samping. Pria bermata satu, pedagang kacang pertama tadi, kini berdiri di samping wanita itu. Di tangannya, ia memegang sebilah pisau daging yang berkarat. Di belakangnya, beberapa pedagang lain mulai mendekat, wajah mereka tidak ramah, mata mereka mengawasi dua orang asing dengan pakaian aneh ini.
Mereka telah dikepung.
Jantung Han Qiu mencelos. Ia melirik Li, yang wajahnya sudah seperti kertas. Mereka sendirian, tanpa uang, dan dikelilingi oleh serigala.
"Sepertinya kalian tersesat, anak-anak istana," kata si pria bermata satu, menggesekkan pisaunya ke balok kayu, menghasilkan suara srekk... srekk... yang membuat bulu kuduk merinding.
"Mungkin kalian punya sesuatu yang lain untuk kami. Sesuatu yang lebih berharga daripada beberapa keping tembaga."
Matanya tertuju pada kantong kain di pinggang Han Qiu. Bukan kantong uang yang baru saja dikosongkan, tetapi sebuah kantong lain yang tersembunyi di baliknya. Kantong yang berisi satu-satunya hal yang lebih penting daripada uang mereka.
Bungkusan berisi satu kati kacang tanah kualitas terbaik untuk Chef Gao.