Suatu kesalahan besar telah membuat Kara terusir dari keluarga. Bersama bayi yang ia kandung, Kara dan kekasih menjalani hidup sulit menjadi sepasang suami istri baru di umur muda. Hidup sederhana, bahkan sulit dengan jiwa muda mereka membuat rumah tangga Kara goyah. Tidak ada yang bisa dilakukan, sebagai istri, Kara ingin kehidupan mereka naik derajat. Selama sepuluh tahun merantau di negeri tetangga, hidup yang diimpikan terwujud, tetapi pulangnya malah mendapat sebuah kejutan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miracle, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Canggung
Kara menangis ketika sampai di makam putrinya. Entah ini kesedihan karena kehilangan anak atau Kara yang meratapi nasibnya kini. Ia ingin menangis saja di depan papan nisan Finola.
Kini ia sendiri tidak tahu tujuan yang sebenarnya. Ke mana langkah kakinya ini harus berpijak. Kara punya suami dan rumah, tetapi di sana ia akan dianggap sebagai beban.
"Kara, hari sudah sangat sore. Ayo, pulang," kata Elno.
"Ke mana?" tanya Kara.
"Ke rumah kita," jawab Elno. "Aku sudah bereskan kamar untukmu."
Mendengar perkataan Elno rasanya bagai sembilu yang mengiris hati. Kamar yang diperuntukkan untuknya dan itu khusus yang artinya, Kara akan tinggal di kamar sendiri dan suaminya, Kara tahu Elno akan mengucapkan kata selanjutnya yang lebih menyayat hati.
Kara mengangguk. "Ayo, aku memang butuh tempat untuk merebahkan diri."
"Itu memang rumahmu," kata Elno.
"Aku sangat terkesan kamu masih mengatakan jika itu rumahku."
"Karena rumah itu dibeli dengan uangmu," jawab Elno.
Kara terdiam, ia berjalan cepat keluar dari pemakaman Finola. Keduanya berjalan diam tanpa kata menuju mobil yang terparkir di tepi jalan.
Elno membuka pintu penumpang untuk istrinya. Kara naik di kursi bagian depan, lalu disusul oleh Elno yang duduk di kursi depan setir kemudi.
Mesin dihidupkan. Elno melihat Kara yang belum memasang sabuk pengaman. Ia kembali membuka tali yang membelit tubuhnya, lalu mencondongkan diri meraih sabuk pengaman. Namun, Kara bergeser, dan mengangkat tangan agar Elno tidak mendekat.
"Biar saja. Aku kurang suka mengunakan sabuk pengaman," ucap Kara.
"Pakai, ya, Sayang. Buat keamanan kamu sendiri."
"Biar saja. Kalau terjadi kecelakaan aku bersyukur. Bisa lupa ingatan atau mati sekalipun enggak apa-apa," kata Kara saking kesalnya.
Elno kembali pada posisinya. Ia pun tidak memakai sabuk pengaman. Jika Kara ingin mati atau terjadi kecelakaan, maka ia akan ikut bersama istrinya.
"Kamu masih punya anak," ucap Kara mengingatkan.
Elno diam saja, lalu ia memasang sabuknya. Menghidupkan mesin, lalu mengendarai mobil menuju rumah. Di dalam perjalanan, keduanya masih dalam kebisuan. Kara dalam kesedihan dan Elno dengan kesalahannya.
Jantung Kara berdegup kencang ketika mobil sampai di rumahnya sendiri. Ini bagai dirinya sendiri yang akan menumpang di rumah orang, padahal jelas kediaman Elno sekarang adalah miliknya. Kara bisa mengusir semua penghuninya keluar, tetapi statusnya berkata jika itu tidak tepat.
Ketika Kara dan Elno keluar dari mobil, Sari keluar dengan menggendong sang bayi lucu yang bernama Finola. Sialnya Kara ingin sekali menggapai bayi itu. Ini mengingatkannya pada sang putri yang telah tiada.
"Finola sama Mama dulu, ya. Papa mau mandi. Tadi habis dari makam kakak," ucap Elno.
"Iya, Pa," sahut Sari sembari menirukan suara anak kecil.
"Ayo, kita masuk semua," kata Elno.
Semua masuk dengan Kara membuntuti dari belakang. Sementara Elno dan Sari saling berjalan berdampingan.
"Aku siapkan makan malam," ucap Sari.
"Kamu masak makanan kesukaan aku, kan?" tanya Elno.
"Iya, semua makanan kesukaan kamu untuk malam ini."
Kara berdeham untuk menghentikan percakapan mesra keduanya. Sari dan Elno menoleh ke belakang dan seketika Elno menjaga jarak dari istri keduanya.
"Di mana barang-barangku?" tanya Kara.
"Aku antar kamu ke kamar," kata Elno.
Elno berjalan lebih dulu dan Kara mengekor di belakang. Ruangan atas sama seperti desain yang Kara suka. Ada ruang TV dan perpustakaan kecil. Ada dua kamar di bagian atas dan salah satunya kamar tidur untuk Kara.
Elno membuka kamar yang tidak begitu luas, tetapi karena warna dindingnya putih. Jadi, ruangan itu cukup besar. Ada satu kursi yang muat untuk dua orang duduki dan satu meja bulat menghadap jendela kaca yang terhubung dengan teras kamar. Satu ranjang ukuran king size serta bilik mandi.
"Kamar yang sesuai dengan kemauan kamu, kan? Aku juga buatin lemari pakaian buat kamu yang digeser," kata Elno, lalu membuka lemari yang sudah tersusun baju Kara di dalamnya.
Elno membuka laci kecil di dalam lemari, lalu mengambil beberapa kotak perhiasan. Ia meletakkannya di atas tempat tidur.
"Hadiah untukmu," kata Elno.
"Apa ini sogokan?" tanya Kara.
"Aku membelinya dengan gajiku sendiri. Setiap ada lebih, aku membeli satu perhiasan untukmu."
"Keluarlah dari kamarku," usir Kara.
Elno tersentak mendengarnya, lalu ia menunduk dan berjalan keluar. Kara langsung menutup pintu dan menguncinya. Tubuhnya merosot ke bawah dan Kara kembali menangis.
Kara tahu tangisannya tidak akan mengubah apa pun. Ia ingin tegar dengan menerima semua, tetapi hatinya sakit saat melihat ada wanita lain di sisi suaminya.
"Sakitnya lebih menyayat hati daripada diusir dari rumah. Ibu pasti juga merasa sedih ketika ayah menikah lagi," gumam Kara.
...****************...
Kara selesai membersihkan diri, ia duduk di sofa sembari menatap langit yang sudah gelap. Rumah impian telah tercapai, tetapi bayarannya sangatlah mahal. Ia harus berbagi suami dengan wanita lain dan sayangnya itu adalah teman sekolahnya dulu.
Ketukan pintu membuyarkan lamunan Kara. Ia enggan untuk beranjak dari sofa nyaman yang diduduki, tetapi suara dan ketukan tidak henti menyerukan namanya. Dengan malas Kara berdiri dan berjalan membuka pintu.
"Ada apa?" tanya Kara.
"Kita makan bersama. Ayo, turun," kata Elno.
Saking berlarut dalam kesedihan, Kara menahan diri untuk tidak makan. Bodohnya ia yang sengaja melaparkan diri. Kara mengiakan ajakan Elno. Kemudian bersama-sama turun ke bawah.
Semua ruangan sesuai yang Kara inginkan, tetapi matanya baru tahu jika ada tambahan di lemari pajangan rumah. Di sana tersusun rapi foto pernikahan Sari dan Elno. Ada juga foto bayi mereka yang dibuat seperti kumpulan perkembangan Finola dari umur nol bulan sampai sekarang.
Kara mengambil foto pernikahan suaminya. Pesta pernikahan yang lumayan mewah. Kara tersenyum kecut karena pernikahannya tidaklah seperti Sari dan lebih mengejutkan ada foto keluarga. Elno tidak mengatakan jika ia sudah berbaikan dengan kedua orang tuanya.
Kemudian foto wisuda Elno bersama sahabatnya. Foto Sari yang memakai baju dokter. Sudah Kara duga jika Sari dapat menggapai cita-citanya menjadi petugas kesehatan. Di ujung lemari satu foto yang membuat Kara menitikkan air mata. Itu adalah hasil gambar yang ditangkap dengan kamera ponsel. Elno, Finola dan Kara di rumah sewa mereka.
"Kara, ayo, kita makan," ajak Elno.
Kara meraih foto itu, lalu membuka bingkainya. Ia raih satu-satu pengingat dirinya akan sang putri yang tiada. Kara merobek bagian Elno, meremukkannya, lalu membuangnya ke lantai. Semua itu dilakukan Kara di depan suaminya. Kara menginjak gambar Elno dengan kakinya.
"Biar aku yang simpan sendiri foto kami. Kurasa kami juga tidak punya tempat di sini," ucap Kara.
Bersambung
penuh makna
banyak pelajaran hidup yang bisa diambil dari cerita ini.
sampai termehek-mehek bacanya
😭😭😭😭🥰🥰🥰
ya Tuhan.
sakitnya