"Neng, mau ya nikah sama anaknya Pak Atmadja.? Bapak sudah terlanjur janji mau jodohkan kamu sama Erik."
Tatapan memelas Pak Abdul tak mampu membuat Bulan menolak, gadis 25 tahun itu tak tega melihat gurat penuh harap dari wajah pria baruh baya yang mulai keriput.
Bulan mengangguk lemah, dia terpaksa.
Jaman sudah modern, tapi masih saja ada orang tua yang berfikiran menjodohkan anak mereka.
Yang berpacaran lama saja bisa cerai di tengah jalan, apa lagi dengan Bulan dan Erik yang tak saling kenal sebelumnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Clarissa icha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Tokk,,tokk,,tokk
"Bulan, sudah siap belum?!"
Aku menoleh ke arah pintu yang di ketuk dari luar. Tanpa menjawab, aku yang baru selesai memakai kerudung bergegas beranjak dari depan meja rias untuk membuka pintu.
Mas Erik berdiri tepat di depan pintu kamarku, dia bergeser bagitu aku keluar. Sekilas, dia tampak memperhatikan ku.
"Tidak membawa baju ganti?" Tanyanya.
Pertanyaan Mas Erik membuat ku menghela nafas berat. Dia itu sebenarnya lupa dengan perjanjiannya sendiri atau bagaimana. Untuk kedua kalinya aku dibuat kesal dengan permasalahan yang sama. Entah harus berapa kali aku menjelaskan padanya.
"Sebenarnya aku sedang malas bicara panjang lebar. Mas Erik ingin aku menjelaskan berapa kali supaya paham?!" Tanyaku penuh penekanan. Jujur aku sudah malas membahas rumah tangga kami. Seharusnya semuanya sudah jelas dan tidak perlu ada yang diperjelas lagi.
Mas Erik tampak berfikir sebelum membuka suara. "Aku tidak bisa menolak permintaan Mama, tolong kali kita turuti dulu permintaannya. Di kemudian hari, aku akan mencari cara agar kita tidak perlu menginap." Jelasnya.
Aku terkekeh. Dia tidak bisa menolak permintaan Mama saat menyuruh kami menginap, tapi tetap menjalin hubungan dengan kekasihnya meski sudah ditentang berkali-kali. Seharusnya menolak untuk menginap bukan perkara yang sulit.
"Jangan jadikan Mama sebagai alasan. Ini bukan tentang tidak bisa menolak, tapi bagaimana Mas Erik bisa menjelaskan pada Mama. Mama juga tidak akan memaksa kita menginap kalau kita memberikan alasan yang masuk akal." Aku hampir kelepasan bicara dengan nada tinggi karna merasa lelah harus mempermasalahkan hal yang sama.
Aku menarik nafas dalam-dalam. Ternyata ujian pernikahan ku terletak pada kesabaran yang terus di uji dengan perdebatan.
"Mas Erik menolak satu kamar dengan ku di rumah ini, jadi aku juga berhak menolak satu kamar dengan Mas Erik dimana pun. Termasuk di rumah Mama dan Ibu. Tolong jangan di interupsi, karna aku juga menerima keputusan Mas Erik tanpa memprotes." Pintaku memohon.
Lagi-lagi Mas Erik terdiam seperti sedang memikirkan sesuatu.
"Nanti aku bicara lagi dengan Mama, ayo berangkat dulu." Ajaknya kemudian memimpin langkah.
Sepanjang perjalanan aku memilih diam. Lagipula tidak ada yang perlu kami bicarakan. Kita tidak memiliki bahan pembicaraan selain permasalahan rumah tangga kami.
Mas Erik membelokkan mobilnya di toko kue, tidak jauh dari rumah Mama.
"Ada yang ingin kamu beli?" Tanyanya.
"Tidak. Aku akan menunggu di mobil."
Mas Erik mengangguk kemudian keluar dari mobil. Dia setengah berlari memasuki toko kue. Kurang dari 10 menit, Mas Erik sudah keluar lagi dengan membawa beberapa paper bag di tangannya.
Dia membuka pintu belakang dan meletakkan semua paper bag itu di kursi. Dia berpindah kedepan sembari menyodorkan satu box salad buah berukuran sedang.
"Buat kamu." Ujarnya.
"Makasih." Aku menerima salah buah itu dan langsung memakannya. Tidak peduli meski saat ini sedikit kesal pada Mas Erik, tapi bukan berarti aku harus menolak pemberiannya. Terlebih hanya sebuah makanan.
Perjalanan dari toko kue ke rumah Mama hanya butuh 5 menit. Seorang penjaga rumah membukakan gerbang berwarna hitam yang cukup tinggi. Sejak menikah, baru 3 kali ini aku datang ke rumah orang tua Mas Erik. Meski tinggal di kota yang sama, tapi rumah orang tua Mas Erik terletak dipinggiran kota, jadi butuh waktu selama perjalanan.
"Nanti jangan langsung bilang sama Mama kalau kita tidak jadi menginap." Ujar Mas Erik ketika kami baru turun dari mobil.
"Mas, aku juga tidak sebodoh itu yang baru datang langsung mengecewakan Mama!" Sahutku sewot.
Mas Erik terlihat membuang pandangan sembari menggaruk tengkuknya, kemudian membuka pintu belakang dan mengeluarkan paper bag.
...*****...
Kedua orang tua Mas Erik menyambut kami di depan pintu. Sepertinya mereka mendengar suara mobil Mas Erik dan buru-buru keluar. Aku berjalan sejajar dengan Mas Erik untuk menghampiri mereka.
"Assalamu'alaikum Mah, Pah." Aku mengulurkan tangan Pada Mama.
"Waalaikumsalam." Keduanya menjawab salam dengan ekspresi sumringah.
"Ayo masuk sayang, Mama sudah siapin makanan kesukaan kamu. Kamu belum makan kan?" Tanya Mama sembari merangkul ku masuk ke dalam rumah. Mama sampai mengabaikan Mas Erik. Alih-alih menyambut anak kandungnya lebih dulu, Mama malah fokus bicara padaku. Mas Erik dan Papa sampai tertinggal jauh di belakang.
"Erik memperlakukan kamu dengan baik kan?" Tanyanya pelan.
Aku mengangguk. Entah Mas Erik memperlakukan ku dengan baik atau tidak, aku akan mengatakan pada semua orang jika Mas Erik memperlakukan ku dengan baik.
"Kak Bulan,,, apa kabar?" Erina setengah berlari menuruni tangga mengulurkan tangan padaku.
"Baik Er, kamu gimana kabarnya?"
"Aku juga baik, tapi hatiku tidak baik-baik saja." Jawabnya sambil menyengir kuda.
Mama menepuk pelan lengan Erina. "Fokus kuliah, jangan sibuk pacaran tidak jelas!" Omelnya.
Erina memasang wajah cemberut dan langsung berlari ke arah Mas Erik. "Kak, Mama memukul ku." Adunya sembari bergelayut di lengan Mas Erik.
"Lihat, itu gara-gara kamu terlalu memanjakan adik mu. Kuliah belum selesai sudah pacaran tidak jelas." Tegur Mama.
Mas Erik hanya tersenyum tipis dan mengusap-usap pucuk kepala Erina. "Tunggu sampai lulus kuliah dulu kalau mau dekat dengan seseorang."
Erina mengangguk. "Aku mengerti. Tapi gara-gara aku menutup diri, aku jadi patah hati. Tolong bagi segepok uang supaya aku happy lagi." Pintanya sembari menengadahkan tangan.
"Nanti Kakak transfer." Sahutnya. Erina langsung memeluk Mas Erik.
"Makasih Kakak ku yang baik hati, ganteng dan tidak sombong, aku do'akan semoga Kak Erik dan Kak Bulan memiliki banyak anak." Serunya.
Mama dan Papa mertua meng aamiinkan do'a Erina dengan semangat. Aku memperhatikan raut wajah Mas Erik yang berubah dalam hitungan detik dan menundukkan pandangan. Aku pikir Mas Erik tidak akan merasa bersalah setelah membohongi kedua orang tuanya, nyatanya aku bisa melihat dia merenungi kesalahannya.
"sebaiknya kita makan malam dulu, nanti lanjut lagi mengobrolnya." Ujar Papa, lalu memimpin jalan ke ruang makan.
Mama masih menggandeng ku, sementara Erina berjalan di samping Mas Erik. Hubungan Kakak beradik itu memang sangat dekat. Sampai dulu aku mengagumi kedekatan mereka. Nyatanya setelah menikah dengan Mas Erik, mata dan pikiranku terbuka. Dia mungkin bisa bersikap baik dan sempurna di depan keluarganya, tapi tidak dengan orang lain seperti ku.
Aku bersama Mama dan Erina pindah ke ruang keluarga setelah makan malam. Di meja tertata berbagai macam buah dan kue yang tadi di beli oleh Mas Erik. Sedangkan Papa dan Mas Erik pergi ke teras.
"Kak Bulan. Kak Erik baru saja mentransfer uang. Apa Kak Bulan keberatan?" Tanya Erina sembari menyodorkan ponselnya yang menunjukkan notifikasi uang masuk ke rekeningnya.
Aku menggeleng cepat. "Tidak sama sekali. Aku justru senang melihat Mas Erik tetap peduli pada keluarganya. Lagipula semua,kebutuhanku sudah terpenuhi, kamu tenang saja." Aku tersenyum agar Erina tidak merasa sungkan padaku.
"Kamu jangan terus merecoki Kakak mu, dia sudah berkeluarga. Sebaiknya berhenti meminta uang pada Kakak mu. Biarkan Kakak mu memenuhi kebutuhan Kak Bulan dulu." Tutur Mama menasehati.
Erina mengangguk-angguk paham. "Baik, aku tidak akan meminta lagi."
Kalo perlu latihan mandi bareng dulu di bawah shower🤭