Misca Veronica merupakan seorang pembantu yang harus terjebak di dalam perseteruan anak dan ayah. Hidup yang awalnya tenang, berubah menjadi panas.
"Berapa kali kali Daddy bilang, jangan pernah jodohkan Daddy!" [Devanno Aldebaran]
"Pura-pura nolak, pas ketemu rasanya mau loucing dedek baru. Dasar duda meresahkan!" [Sancia Aldebaran]
Beginilah kucing yang sudah lama tidak bi-rahi, sekalinya menemukan lawan yang tepat pasti tidak mungkin menolak.
Akan tetapi, Misca yang berasal dari kalangan bawah harus menghadapi hujatan yang cukup membuatnya ragu untuk menjadi Nyonya Devano.
Lantas, bagaimana keseruan mereka selanjutnya? Bisakah Cia mempersatukan Misca dan Devano? Saksikan kisahnya hanya di Noveltoon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mphoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sungguh Miris!
"Non Misca di culik, Tuan!"
"Apa!"
Wajah mereka begitu syok mendengar berita yang sangat mengejutkan. Bagaimana mungkin Misca bisa diculik, sedangkan rumah kediaman keluarga Aldebaran pastinya banyak penjaga.
Akan tetapi, semuanya malah kembali dikejutkan oleh suara pecahan kaca yang menyita perhatian. Ternyata itu Cia. Dia sudah berdiri tepat di dekat kamar Devano, selepas mengambil air minum dari dapur.
"Mo-mommy di-di culik? Pa-paman pasti bohong, 'kan? Mo-mommy Misca nggak mungkin di culik. Paman pasti salah liat," ucap Cia, tubuhnya menegang, bibirnya bergetar bersamaan air mata yang terjun bebas di pipi.
Dia masih tidak percaya, lantaran Cia tahu betul tadi itu Misca ada bersama Devano. Lantas bagaimana bisa calon ibunya diculik? Begitulah pikiran gadis kecil yang tak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Badebah! Siapa yang sudah berani menculik milikku, hahh! Siapa!" teriak Devano. Tangannya mengepal kuat dengan rahang mengeres sambil melontarkan tatapan mematikan bagi siapa pun yang melihatnya.
"Dasar tidak becus! Kalian digaji di sini buat apa, hahh? Kenapa bisa kecolongan seperti ini!" tegas Vigor.
Sang penjaga hanya menundukkan kepala. Dia tidak berani menatap wajah kecewa para majikannya yang pasti syok berat atas kejadian malam ini.
"Ma-maafkan saya, Tuan. Saya juga tidak tahu, tapi tadi si Abong dan Botak sudah mengejar mobil tersebut menggunakan motor," jawabnya penuh kehati-hatian.
"Mo-mommy Misca hiks ...."
Tangis Cia pecah. Lagi-lagi dia harus merasakan kehilangan seorang ibu setelah susah payah menemukan kenyamanan bersama Misca.
Irene yang tak tahu harus berkata apa hanya bisa memeluk Cia untuk menenangkannya, padahal jantungnya sendiri hampir lepas saking tak kuat menahan ujian hari ini yang pasti sangat melelahkan.
Devano tak bisa diam aja. Dia langsung berlari meninggalkan rumah menyusul ke titik di mana mobil yang membawa Misca pergi.
Sementara Davino yang mendengar suara kegaduhan pun keluar bersama April. Mereka juga syok berat mengetahui apa yang telah terjadi.
"Astaga, bagaimana mungkin Misca di culik? Bukannya tadi dia sama Devano?" tanya Davino bingung setelah melihat Devano sudah berada di lantai bawah.
"Apa jangan-jangan ini ulah saingan bisnisku?" tebak Vigor. Entah mengapa tiba-tiba saja pikirannya mengarah ke sana.
"Ma-maaf, Tuan, sepertinya bukan. Kejadiannya bermula saat Nona Misca minta izin keluar katanya mau ke warung, tapi saya perhatikan sepertinya Nona Misca habis nangis karena matanya sedikit sembab. Entah bagaimana kejadiannya waktu saya baru saja membukakan pagar, tiba-tiba mobil sigra hitam melintas dan langsung menarik Non Misca ke dalam. Anehnya, saya mendengar Non Misca menyebut nama Candra. Artinya Non Misca mengenal pria itu?"
"Bisa jadi, sebutkan nomor plat mobilnya sama ciri-cirinya. Aku akan menghubungi temanku untuk melacak keberadaan mobil itu!"
Sang penjaga segera memberikan plat mobil yang diingatnya kepada Davino, kemudian dia menghubungi teman yang ahli dalam pelacakan kendaraan.
Sementara April mencoba menenangkan Cia yang sedari tadi tak henti-hentinya menangis. Berbeda sama Nina yang ternyata sudah tertidur lebih dulu.
Kamar Devano yang berantakan menjadi teka-teki bagi Davino. Setelah mendapat penjelasan bibirnya tak sanggup berkata apa-apa lantaran mengetahui kondisi kembarannya.
Devano memang tidak sakit, cuma mentalnya yang harus diselamatkan. Jika tidak hidupnya akan semakin dihantui oleh masa lalu.
***
Di sisi lain Devano kembali menyesali perbuatannya. Kali ini rasa kehilangan sangat melekat di dada. Air matanya tak kunjung berhenti menangisi kepergian wanita yang sangat dicintainya.
"Maafkan aku, Misca. Maafkan aku! Aku sadar, kalau saja aku tidak seegois itu mungkin kamu tidak akan mengalami hal seperti ini. Aku janji, Misca. Aku janji!"
"Aku akan berubah. Aku akan menemui psikiater untuk menyembuhkan rasa sakit ini. Aku tidak mau ada di dalam bayang-bayang masa lalu lagi. Aku mau sembuh. Aku mau bahagia sama kamu dan Cia. Aku mau kita sama-sama. Maafkan aku hiks ...."
Setelah sekian lama Devano menolak untuk melakukan pemeriksaan mental, akhirnya rasa itu timbul karena ketakutan akan kehilangan yang lebih menyakitkan.
Sepanjang jalan kedua mata Devano menyala terang bagaikan seekor elang yang mengintai mangsanya. Arti kehilangan saat ini telah menyadarkan keegoisan yang selama ini dipertahankan.
Sementara di dalam mobil Misca duduk anteng dengan pandangan lurus ke depan tanpa berkata apa-apa. Hatinya masih sangat sakit. Kata-kata yang dilontarkan Devano terus terngiang di dalam ingatan.
"Sesuai perjanjian, aku yakin uwamu atau dirimu tidak akan bisa membayar hutang kalian beserta bunganya pada keluargaku. Ingatlah, besok adalah hari terakhir kalian membayar hutang sebesar 200 juta. Jika jam 10 pagi uang itu tidak ada di depan mata maka kita harus menikah!"
Pria yang duduk tepat di samping melirik puas. Dari dulu dia sangat yakin, melilitkan gadis itu beserta keluarganya dengan hutang adalah jalan satu-satunya untuk memiliki Misca.
Setahun lalu sawah yang dimiliki uwanya mengalami kerugian cukup besar. Hasil panen membusuk akibat hujan yang terus menerus mengguyur sawah hingga banjir.
Maka dari itu keluarga Misca terpaksa menghutang sebesar 80 juta kepada anak dari juragan tanah, bahkan bunganya saja 65 persen hampir melebihi pinjaman yang diajukan.
Itulah kesalahan mereka yang nekat mengambil pinjaman pada seorang rentenir. Perjanjian tertulis apabila uang tersebut dalam waktu 1 tahun tidak dikembalikan beserta bunganya maka Misca harus menikah bersama Candra.
Keluarga Nina memang sudah tahu hal ini, bahkan telah memberikan 100 juta untuk membayar hutang tersebut sisanya tinggal mereka kumpulkan sendiri.
Akan tetapi, keserakahan uwa Misca malah menyepelekan hal tersebut dan memakai uangnya untuk berfoya-foya. Sungguh keterlaluan!
Jangan bilang keluarga uwa Misca sengaja melakukannya agar Candra bisa menikahi gadis incarannya dan memberikan mereka imbalan?
Semua itu mudah sekali ditebak dari ekspresi Candra yang menatap Misca penuh napsu. Sudah lama sang pria menaruh hati, ralat. Lebih tepatnya terobsesi akan keindahan tubuh sempurna yang terbalut oleh kesederhanaan. Namun, sayang sekali sang gadis tidak pernah merespon seakan-akan jijik bertemu dengannya.
"Tidak perlu menunggu lama. Jika kamu ingin menikahiku, nikahi saja aku besok pagi. Aku sudah menyerah. Uang itu terlalu banyak, bahkan untuk menyicil bunganya saja aku tidak sanggup!" sindir Misca, suaranya terdengar lembut, padahal hatinya hancur tak berkeping.
Senyuman di bibir Candra melebar, "Coba saja dari dulu kamu tidak menolakku, mungkin kita sudah bahagia, Say---"
"Jangan pernah menyentuhku sebelum kau resmi menjadi suamiku!"
Candra terkejut, lalu menarik kembali tangan yang telah mengusap paha Misca lantaran mendapatkan lirikan tajam yang hampir membuatnya takut.
"Baiklah, Sayang. Aku akan tahan sedikit lagi untuk sabar menunggu hari esok. Uwamu pun sudah menyiapkan semuanya, jadi kamu tidak perlu capek-capek tinggal duduk manis sambil nikmati acara besar kita yang akan menjadi pusat perhatian warga kampung."
Misca tersenyum getir. Di Jakarta dia direndahkan oleh cintanya sendiri, sedangkan di kampung dijual oleh uwanya. Sungguh miris!
"Tuhan, apakah ini bagian dari rencana-Mu? Aku tahu setiap manusia memiliki takdirnya sendiri dan aku berharap semoga takdirku ini salah!"
...*...
...*...
...*...
...Bersambung...