Nabil seorang anak berkepala besar
bayu ayahnya menyebutnya anak buto ijo
Sinta ibu bayu menyebuutnya anak pembawa sial
semua jijik pada nabil
kepala besar
tangan kecil
kaki kecil
jalan bungkuk
belum lagi iler suka mengalir di bibirnya
hanya santi yang menyayanginya
suatu ketika nabil kena DBD
bukannya di obati malah di usir dari rumah oleh bayu
saat itulah santi memutsukan untuk meninggalkan bayu
demi nabil
dia bertekad memebesarkan nabil seorang diri
ikuti cerita perjuangn seorang ibu membesarkan anak jenius namun dianggap idiot
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Janji Santi
"BRAKKKK!"
Suara meja makan yang digebrak membuat seisi rumah bergidik. Bayu berdiri, wajahnya merah marun, matanya menyala seperti bara.
"SANTIII!"teriaknya, membuat jantung Santi nyaris copot dari tempatnya.
Dari dapur yang sempit dan pengap, Santi berlari tergopoh-gopoh. Tangannya masih berbau bawang, dan wajahnya pucat karena belum makan sejak pagi.
"Kemana makanan? Kenapa nggak ada nasi di meja, hah?!"
Suaranya membelah ruang kecil itu, membungkam bahkan suara tetes hujan yang dari tadi turun deras di luar.
Santi menunduk, menahan gemetar.
"B-Bang… berasnya habis. Aku belum sempat beli…"
"Gila! Uang lima puluh ribu sehari nggak cukup? Kamu boros banget ya, Santi!"
Santi ingin menjelaskan, tapi belum sempat mulutnya terbuka, suara Nunik, adik iparnya, menyeruak dari kamar.
"Boong! Tadi aku liat dia kasih makan Nabil, Bang. Uangnya buat anak itu. Bukan buat beli beras."
Santi menoleh cepat.
"Tadi Sasa minta uang lima belas ribu buat beli kuota. Aku nggak bohong, Bang."
"Alasan! Sejak punya Nabil, kamu jadi boros. Nggak bisa diatur!"
Santi menggenggam ujung bajunya erat-erat.
"Bang… sekarang apa-apa mahal. Kita makan bertujuh, uang segitu nggak cukup."
Bayu tertawa sinis.
"Bukan karena harga naik. Tapi karena kamu ngasih makan anak itu! Itu biang masalahnya."
Santi mendongak. Ada luka menganga di hatinya yang makin mengalir deras.
"Dia anakmu, Bang. Masa kamu tega nggak ngasih makan?"
Suara Bayu berubah tajam seperti sembilu.
"Denger baik-baik, Santi. Dia bukan anakku. Dia anak setan! Aku nggak sudi punya anak kayak tuyul! Anak buto ijo!"
Kata-kata itu menampar lebih keras daripada tangan. Tapi Santi hanya diam. Ia bisa apa? Bahkan untuk menangis pun ia sudah kehabisan air mata.
Bayu mengeluarkan selembar uang lusuh dari sakunya.
"Nih. Dua puluh ribu. Beli beras. Sekarang!"
Uang itu dilempar seperti melempar sisa makanan ke binatang.
Santi tak bergeming. Di luar hujan belum reda, deras dan menggigilkan.
"Tunggu hujan reda ya, Bang…"
"Kalau kamu nggak pergi sekarang, aku lempar anakmu ke jalan! Sekarang, Santi!"
Dengan tubuh gemetar dan pakaian tipis, Santi melangkah keluar rumah. Hujan mencambuk wajahnya, tapi ia tak peduli. Di dalam hatinya hanya ada satu wajah: Nabil. Anak lelaki kecil yang belum bisa berjalan, tapi selalu tersenyum setiap kali ia pulang membawa roti murah kesukaannya.
Sampai di warung, Santi membeli sekilo beras dan sepotong roti seharga dua ribu. Ia tahu Bayu bisa marah kalau tahu, tapi biarlah. Biarlah kalau ia harus kelaparan, asalkan Nabil bisa makan roti itu dan tersenyum, walau hanya sebentar.
Saat ia pulang, tubuhnya basah kuyup. Kaki-kakinya nyaris tak kuat lagi melangkah.
Namun, langkahnya terhenti di ambang pintu.
Nabil tergeletak di lantai. Menangis. Tidak ada yang peduli.
Tak ada satu pun yang menoleh.
Anaknya jatuh, mungkin karena mencoba berdiri lagi seperti yang biasa ia lakukan diam-diam, dengan tangan mungil yang memegang tembok.
Santi berlari dan memeluk Nabil erat-erat.
Air matanya bercampur hujan. Dunia boleh tak peduli pada anak ini. Tapi dia akan selalu mencitai nabil dan sekuat tenaga menjadi pelindungnya,
“Bang… kenapa Nabil nggak dibangunin?” tanya Santi pelan, suaranya tercekat oleh isak.
Bayu hanya mendengus jijik, duduk dengan kaki selonjor.
“Najis aku nyentuh dia. Anak orang mana itu… Lihat Sasa, lucu. Nabil? Wajahnya kayak hantu. Anak setan, bukan anakku. Umur udah empat tahun tapi belum bisa jalan.”
Santi menggigit bibir. Sakit. Terlalu sakit untuk dijelaskan. Tapi ia diam. Menelan semuanya dengan pasrah. Ia hanya bisa berharap… semoga, suatu hari nanti, Bayu dan keluarganya berubah.
Santi menggendong Nabil yang masih terisak, lalu membawanya ke kamar. Ia dudukkan anaknya di kasur tipis yang sudah lama butut, lalu mengeluarkan sepotong roti kecil dari kantong plastik.
“Nih, Nak… makan ya…”
Wajah Nabil seketika cerah. Ia menggigit roti dengan senyum mungil, seolah roti itu adalah kebahagiaan paling mewah yang pernah ia miliki.
Santi memeluknya erat-erat, mencium ubun-ubunnya dengan gemetar.
“Nak… sabar ya. Suatu saat, Bapak kamu pasti berubah…” bisiknya, lebih seperti harapan yang ditujukan untuk dirinya sendiri.
Biar seluruh dunia membenci anak ini…
Biar tetangga mencemooh, biar keluarga sendiri menyingkir…
Santi akan tetap mencintainya. Tanpa syarat.
"SANTIIIII!"
Teriakan Bayu kembali memecah keheningan.
Dengan hati yang masih remuk, Santi keluar dari kamar.
“Apa lagi yang kamu tunggu?! Cepat masak! Atau kamu mau biarkan seluruh rumah kelaparan?!”
Santi mengangguk cepat dan berlari ke dapur. Di sana, ia mulai menanak nasi, menumis kangkung layu, dan menggoreng ikan asin yang sudah nyaris busuk.
Hidungnya menghirup aroma masakan, tapi perutnya tetap kosong.
Satu jam ia berkutat seorang diri. Tak ada yang membantunya. Tapi ia sudah biasa.
Ketika makanan akhirnya tersaji, semua penghuni rumah keluar. Mereka duduk dan makan dengan lahap. Tak satu pun mengajaknya duduk. Santi hanya melihat dari sudut dapur, sambil berharap ada sisa untuk dirinya.
Kalau pun ada. Kalau pun mereka berbaik hati menyisakan.
“Aku malu banget sama tetangga,” keluh Sinta sambil mengunyah.
“Kenapa, Bu?” tanya Nani.
“Tadi Nabil merangkak keluar. Kita dihina. Dibilang pemuja setan karena punya anak kayak gitu.”
“Iya, malu-maluin banget. Mending kita buang aja dia ke panti asuhan,” sahut Adi, suami Sinta, dengan suara dingin.
“Kalau Nabil nggak ada, Santi juga nggak bakal mau masak buat kita,” potong Bayu sambil terkekeh. Mereka tertawa. Tertawa di atas penderitaan seorang ibu dan anaknya.
“Kenapa sih kamu masih sama perempuan kampungan itu?” Nani menatap Bayu sinis.
“Cari aja yang lebih cantik, lebih cocok sama kamu.”
“Nanti aja. Uangku belum cukup,” jawab Bayu ringan, seolah istrinya hanyalah barang yang bisa diganti kapan pun ia mau.
Dan Santi…
Santi mendengar semuanya dari balik pintu dapur. Seolah dirinya tak ada. Seolah dirinya tak pantas dihargai.
Apakah sakit?
Tentu.
Tapi demi Nabil, ia memilih diam.
Ia bisa hidup tanpa Bayu. Tapi tidak bisa hidup tanpa Nabil. Selama Nabil sehat, itu sudah cukup.
Setelah mereka selesai makan, tak satu pun membantu merapikan. Santi yang membereskan semua. Di meja, hanya tersisa satu centong nasi dan sepotong tempe gosong.
Ah, itu saja sudah lebih dari cukup.
Tiba-tiba…
“SANTIIII!”
Santi menghampiri, buru-buru.
“Ya, Bang… ada apa?”
“Mana sisa uang kembalian?”
Santi mengulurkan empat ribu rupiah.
“BRAKKK!”
Meja kembali terguncang. Santi tersentak.
“Kenapa cuma segini? Harusnya enam ribu!”
Santi menunduk.
“Dua ribu aku belikan roti buat Nabil, Bang. Dia suka sekali…”
Wajah Bayu berubah menjadi gelap.
“Dasar anjing kamu, Santi! Aku nggak sudi uangku dipakai buat anak itu. Demi Tuhan, aku nggak ridho!”
Sinta keluar dari kamarnya, diikuti Adi.
“Ada apa sih, ribut-ribut?”
“Ini. Santi lancang. Beli roti buat Nabil tanpa izin!”
“Dasar perempuan udik! Mana ngerti adab. Uang suami tuh harus minta izin!” cibir Sinta.
“Ngapain sih kamu masih ngurus anak cacat itu? Umur 4 tahun belum bisa jalan! Ilernya aja bikin jijik!” Adi menambahkan, seperti biasa, dengan kata-kata tajam yang menusuk.
Bayu menarik Nabil dari kamarnya, kasar.
“Mulai malam ini, kalian tidur di dapur! Itu hukuman buat kalian!”
Santi hanya bisa memeluk Nabil erat-erat. Hatinya hancur, tapi matanya kering. Air mata sudah habis.
“Kalau uang udah cukup, Bay, kamu carilah perempuan baru. Yang lebih selevel,” ucap Nani sambil berdiri di ambang pintu kamarnya.
Dan malam itu, Santi tidur di lantai dapur bersama Nabil. Dingin. Lembab. Tapi ia masih memeluk hangat anak kecil yang dicaci semua orang, namun tetap menjadi alasan Santi untuk hidup.
Kembali ke masa sekarang.
Di sudut ruang rawat yang dingin, Santi duduk memandangi Nabil yang terbaring lemah. Jarum infus menusuk tangan mungil anak itu, membuat dada Santi seperti diremas dari dalam.
Nabil yang sakit… tapi hatinya yang hancur.
Ia menggenggam tangan Nabil perlahan, mencoba menyalurkan sedikit kekuatan. Tapi ia tahu, tubuh kecil itu terlalu rapuh untuk menanggung semua beban dunia.
Air mata mengalir tanpa suara.
Tangis yang disimpan hanya untuk dirinya sendiri.
Tak ada lagi orang yang bisa ia harapkan. Tak ada lagi pundak tempat bersandar. Kini, ia hanya punya satu pilihan: bangkit.
“Aku akan membesarkanmu sendiri, Nak…”
gumam Santi dalam hati, penuh tekad.
“Tak akan kubiarkan siapa pun menindas kita lagi.”
Ia menatap wajah Nabil yang pucat, namun tetap terlihat damai dalam tidurnya.
"Kita hanya punya satu sama lain."
Santi mengelus kepala anaknya perlahan. Bibirnya gemetar menahan tangis, tapi suaranya tetap lembut saat berkata:
“Ayo bangkit, Nak… ayo bangun…”
“Mamah mencintaimu, sayang. Maafkan Mamah… Mamah belum bisa kasih yang terbaik buat kamu…”
Di dalam hati yang penuh luka, tumbuh sebuah janji.
Janji untuk melindungi Nabil. Untuk berdiri di tengah badai, meski harus sendiri.