Galuh yang baru saja diterima di universitas impiannya harus menerima kenyataan bahwa ia akan tinggal di kos campur karena kesalahan administratif. Tidak tanggung-tanggung, ia harus tinggal serumah dengan seorang senior wanita bernama Saras yang terkenal akan sikap misterius dan sulit didekati.
Awalnya, kehidupan serumah terasa canggung dan serba salah bagi Galuh. Saras yang dingin tak banyak bicara, sementara Galuh selalu penasaran dengan sisi lain dari Saras. Namun seiring waktu, perlahan-lahan jarak di antara mereka mulai memudar. Percakapan kecil di dapur, momen-momen kepergok saat bangun kesiangan, hingga kebersamaan dalam perjalanan ke kampus menjadi jembatan emosional yang tak terhindarkan.
Tapi, saat Galuh mulai merasa nyaman dan merasakan sesuatu lebih dari sekadar pertemanan, rahasia masa lalu Saras mulai terungkap satu per satu. Kedekatan mereka pun diuji antara masa lalu Saras yang kelam, rasa takut untuk percaya, dan batasan status mereka sebagai penghuni kos yang sama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 14 Status yang Belum Bernama
Pagi itu, suasana di kosan berbeda. Lebih tenang, tapi juga lebih hangat. Galuh bangun lebih awal dari biasanya. Ia menatap wajah Saras yang masih tertidur di sofa depan TV sisa semalam saat mereka ngobrol berdua sampai larut dan tertidur begitu saja. Rasanya damai. Hati Galuh belum pernah setenang ini.
Ia bangkit perlahan, mengambil selimut dan menyelimuti Saras sebelum berjalan ke dapur untuk membuat sarapan. Hari itu, matahari seolah tak terburu-buru untuk naik tinggi. Sama seperti perasaan Galuh ia tak ingin terburu-buru juga, tapi cukup tahu bahwa pagi ini, hatinya sudah bulat.
“Selamat pagi, chef,” suara Saras terdengar dari belakang.
Galuh menoleh, tersenyum kecil. “Gue bikin roti bakar sama telur dadar. Biasa aja sih, tapi harusnya cukup buat nyuapin lo yang suka skip sarapan.”
Saras mendekat, mengambil cangkir kopi yang sudah disiapkan di meja. “Tumben perhatian banget. Jangan-jangan abis nyatain, lo jadi berubah jadi bucin?”
Galuh tertawa pelan. “Kalau iya, lo keberatan?”
Saras menyesap kopi dengan senyum. “Sedikit pun enggak.”
Mereka duduk berdua, sarapan dengan tawa kecil di antara obrolan ringan. Namun, ada satu pertanyaan yang diam-diam menggelayuti benak Saras sejak semalam. Satu yang belum ia berani tanyakan secara langsung, meski hatinya sudah penuh harap.
Galuh seperti tahu itu. Setelah selesai sarapan, ia membersihkan piring, lalu menoleh ke arah Saras. “Lo pengin nanya sesuatu?”
Saras mengangkat alis. “Kok lo tahu?”
“Dari cara lo ngelamun sambil motong roti,” jawab Galuh, tersenyum tipis. “Gue belajar bahasa tubuh lo.”
Saras terdiam beberapa detik. “Galuh… Kita ini, sekarang… apa?”
Pertanyaan itu melayang di udara, menunggu jawaban.
Galuh menarik napas. “Gue belum ngasih label. Bukan karena ragu, tapi karena gue nggak mau cuma jadi omongan doang. Gue pengin semuanya jelas. Nggak setengah-setengah.”
Saras menatapnya dalam. “Gue nggak minta lo cepet-cepet. Gue cuma… pengin tahu, apakah kita jalan ke arah yang sama.”
Galuh berdiri, lalu menghampiri Saras, memegang kedua bahunya.
“Kita udah di jalan yang sama, Ras. Gue janji, gue bakal tunjukin semua yang lo butuhin. Tapi bukan cuma lewat kata-kata.”
Saras mengangguk pelan. “Oke. Gue tunggu.”
---
Beberapa hari kemudian, mereka kembali ke rutinitas kampus. Tapi ada hal baru yang mulai terasa tatapan orang-orang yang mencium adanya ‘hubungan khusus’ antara Galuh dan Saras. Teman-teman Galuh mulai menggoda, sementara sahabat-sahabat Saras mulai bertanya.
Salah satunya adalah Mita, teman dekat Saras di jurusan.
“Makin deket ya lo sama Galuh?” tanya Mita saat makan siang di kantin.
Saras tersenyum. “Gitu deh. Tapi belum resmi juga.”
“Gila, lo berhasil ngubah Galuh. Itu cowok tadinya kayak es batu, sekarang senyumnya manis banget kalau sama lo.”
Saras tertawa kecil. “Dia masih dingin sih. Tapi pelan-pelan berubah.”
Tapi tidak semua orang senang.
Di tempat lain, Rangga senior fakultas hukum yang dulu pernah mencoba mendekati Saras memperhatikan dari jauh. Ia merasa kesal. Tak hanya karena Saras semakin jauh darinya, tapi karena gadis itu kini terlihat lebih bahagia dari sebelumnya. Bukan dengannya.
“Gue gak bisa diem aja,” gumam Rangga sambil mengepalkan tangan. “Gadis kayak Saras gak pantas sama cowok kayak Galuh.”
---
Malam harinya di kosan, Galuh duduk di meja belajarnya, mencoba fokus pada tugas presentasi. Tapi pikirannya terus kembali ke Saras yang tengah berada di kamar, menelepon ibunya.
Galuh mengintip lewat pintu yang sedikit terbuka. Ia mendengar suara lembut Saras.
“Iya, Bu… Saras baik di sini. Iya, kosannya nyaman. Ada temen juga… namanya Galuh.”
Galuh menunduk, senyum mengembang di wajahnya.
Setelah selesai menelepon, Saras muncul di pintu kamar.
“Nguping, ya?” tuduhnya sambil menyipitkan mata.
Galuh pura-pura sibuk. “Enggak tuh. Gue fokus ngerjain tugas.”
Saras berjalan pelan, lalu duduk di sisi meja.
“Nyokap gue pengin ketemu lo.”
Galuh kaget. “Hah? Serius?”
Saras mengangguk. “Dia penasaran sama cowok yang udah bikin anaknya senyum tiap hari.”
Galuh tergagap. “Gue… belum siap ketemu orang tua.”
Saras tertawa. “Gue juga belum nyuruh lo ngelamar, Galuh. Santai aja.”
---
Namun kehangatan itu mulai terganggu keesokan harinya.
Saat Saras pulang dari kampus sendiri, ia dicegat oleh Rangga di depan kosan.
“Saras,” sapa Rangga dingin.
Saras langsung siaga. “Ngapain lo ke sini?”
“Gue cuma pengin lo mikir lagi. Galuh itu bukan orang yang tepat. Dia punya masa lalu kelam. Lo nggak tahu siapa dia sebenernya.”
Saras mendengus. “Dan lo pikir lo lebih baik?”
“Apa lo nggak takut disakitin lagi?” tanya Rangga, menekan.
Saras menggeleng. “Gue nggak butuh cowok sempurna. Gue butuh orang yang bisa jaga komitmen, Rangga. Dan itu bukan lo.”
Tepat saat itu, Galuh muncul dari arah warung, melihat keduanya dari kejauhan. Ia tak langsung menghampiri, tapi cukup dekat untuk mendengar semua.
Saras melangkah masuk kosan tanpa menoleh lagi ke Rangga. Galuh menunggu beberapa detik sebelum mengikuti.
---
Di dalam kosan, Galuh duduk di sofa. Saras menatapnya dengan sorot lelah.
“Maaf, gue nggak cerita kalau Rangga masih kadang ganggu.”
Galuh menatapnya serius. “Gue tahu. Gue denger tadi.”
“Lo marah?”
“Gue lebih marah ke diri gue sendiri. Kenapa gue nggak dari awal jagain lo lebih baik.”
Saras mendekat, duduk di sampingnya. “Lo udah cukup, Galuh. Lebih dari cukup.”
Galuh menatap matanya, kali ini tanpa ragu. “Mulai hari ini, gue pengen lo jadi milik gue. Resmi.”
Saras terdiam, matanya membelalak kecil.
“Bukan cuma teman serumah. Bukan cuma tempat cerita. Tapi cewek yang bakal gue perjuangin.”
Saras tak menjawab. Ia hanya menarik Galuh ke pelukannya, membiarkan pelukan itu menjawab semuanya.