Tak kunjung memiliki keturunan, Amira terpaksa harus merelakan Suaminya menikah lagi dengan perempuan pilihan Ibu Mertuanya.
Pernikahan Amira dan Dirga yang pada awalnya berjalan harmonis dan bahagia, hancur setelah kehadiran orang ketiga dalam rumah tangga mereka.
"Meski pun aku ingin mempertahankan rumah tangga kita, tapi tidak ada perempuan di Dunia ini yang rela berbagi Suami, karena pada kenyàtaan nya Surga yang aku miliki telah terenggut oleh perempuan lain"
Mohon dukungannya untuk karya receh saya, terimakasih 🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rini Antika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19 ( Surga Yang Terenggut )
Keesokan paginya, Dirga mendatangi kamar Amira untuk mengajak Istri pertamanya tersebut sarapan bersama, apalagi hari ini sudah jatahnya Dirga menemani Amira.
"Assalamu'alaikum," ucap Dirga ketika membuka pintu kamar Amira.
"Wa'alaikumsalam," jawab Amira dengan tersenyum ketika melihat wajah tampan Suaminya.
Senyuman yang mengembang pada bibir Amira seketika menghilang saat melihat seseorang yang berdiri di samping Dirga, karena ternyata Regina ikut juga.
"Sayang, kita sarapan bersama ya," ucap Dirga dengan lembut.
Sebelumnya Amira sudah memikirkan banyak alasan supaya tidak ikut sarapan, apalagi Amira ingin menghindari sarapan bersama Bu Meri, Sinta dan Regina. Namun, baru saja di hadapkan dengan sang Suami, semua kata yang sudah Amira susun buyar seketika.
Apa yang harus aku katakan sama Mas Dirga? Batin Amira.
Amira ingin sekali menolak ajakan Suaminya tersebut, tapi pada saat Dirga melihatnya dengan tatapan memohon, Amira pada akhirnya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.
Dirga, Amira, dan Regina berjalan beriringan dengan Amira di samping kanan Dirga dan Regina di samping sisi kirinya.
Pada saat sampai di ruang makan, semua mata tertuju pada ketiganya.
"Eh menantu kesayangan Mama akhirnya turun juga. Kami sudah menunggu lho," sambut Bu Meri, dan Amira tau betul jika perkataan itu ditujukan kepada Regina.
"Maaf ya Mama sama yang lainnya harus menunggu, tadi Regina sama Mas Dirga ngajak Mbak Amira dulu."
"Ngapain ngajak-ngajak dia. Amira juga bukan Anak kecil lagi," celetuk Sinta sehingga mendapat tatapan tajam dari Dirga.
Amira melirik Regina yang tersenyum bahagia mendapat sambutan dari Ibu Mertuanya, sampai akhirnya Amira menghembuskan napas pelan agar tak sakit hati dengan sikap Ibu mertuanya yang pilih kasih tersebut.
Bersamaan dengan langkah Regina dan Dirga yang mendekat pada meja, Amira merasakan genggaman tangan pada telapak tangannya.
Kepala Amira tertunduk melihat tangan Dirga yang menggenggam erat tangannya, lalu Amira mendongak lagi hingga tatapannya bertemu dengan mata teduh sang Suami.
"Tetap tersenyum," bisik Dirga yang membuat Amira mau tidak mau memaksakan bibirnya tertarik ke atas.
Setelah Dirga mengangguk, Amira kembali berjalan dan duduk seperti biasa.
"Kak, aku kangen sekali sama Kak Amira," ucap Vania dengan memeluk tubuh Kakak iparnya tersebut.
"Kakak juga kangen sekali sama kamu," ucap Amira dengan tersenyum.
"Gak usah lebay, baru juga gak ketemu lima hari," sindir Sinta.
"Sudah-sudah, kalian jangan ribut terus. Sebaiknya sekarang kita mulai sarapannya. Kasihan Menantu kesayangan Mama pasti sudah lapar," ucap Bu Meri.
Pada saat Dirga mengambil piring, Amira dan Regina mengambil piring yang dipegang oleh Dirga secara bersamaan.
Dirga berada dalam dilema karena di satu sisi dia ingin Amira yang melayaninya, tapi di sisi lain dia tidak mau membuat Regina tersinggung.
Ternyata tidak mudah memiliki dua Istri, batin Dirga dengan mengembuskan napas secara kasar.
"Regina, sekarang sudah jatahnya Amira. Jadi, biarkan Amira yang melayani ku," ucap Dirga sehingga membuat Regina mau tidak mau harus mengalah dari Amira.
Lagi lagi kamu membuat aku malu Mas. Sebagai seorang Istri sepertinya aku tidak ada harga dirinya di mata kamu, ucap Regina dalam hati dengan mengepalkan kedua tangannya.
Pada saat Bu Meri ingin membela Regina, Regina langsung memberikan kode supaya Ibu mertuanya tersebut tidak angkat suara, apalagi dia sudah tau jika yang akan Dirga bela adalah Amira.
Hanya dentingan garpu dan sendok yang terdengar di meja makan. Setelah selesai sarapan, Dirga baru membuka obrolan untuk mengutarakan keinginannya membawa Amira pindah rumah.
"Ma, seperti yang Dirga katakan kemarin, Dirga akan mengajak Amira pindah dari rumah ini. Hari ini juga Dirga akan mengajak Amira mencari rumah di sekitar perusahaan."
"Dirga, harus berapa kali Mama bilang kalau Mama tidak akan pernah setuju kalian ke luar dari kediaman Cakra dinata. Kamu tau sendiri bagaimana tradisi keluarga Cakra dinata yang mengharuskan Menantu perempuan tinggal bersama keluarga Suaminya," ujar Bu Meri.
"Maaf Ma, tapi kali ini keputusan Dirga sudah tidak bisa diganggu gugat. Dirga juga sudah mengijinkan Amira bekerja di perusahaan milik saudaranya."
"Sejak kapan si Amira memiliki saudara orang kaya, apalagi sampai memiliki perusahaan? Padahal dia kan cuma orang kampung yang miskin," sindir Sinta.
"Sinta, harus berapa kali Kakak bilang, hormati Kakak ipar kamu," bentak Dirga.
Bu Meri langsung berdiri. Dia tidak terima dengan keputusan Dirga yang ingin melanggar tradisi keluarga Cakra dinata.
"Dirga, jadi kamu ingin melanggar tradisi keluarga demi perempuan mandul itu?" teriak Bu Meri.
"Mama tenang dulu ya. Jangan sampai tekanan darah Mama naik," ucap Regina dengan membantu Bu Meri supaya duduk kembali.
"Bagaimana Mama bisa tenang, sayang. Tradisi yang sudah puluhan tahun keluarga Cakra dinata jaga ingin dilanggar oleh Anak Mama sendiri. Mama takut arwah leluhur kita akan marah jika mengetahui tentang semua ini," ucap Bu Meri dengan menangis.
Amira angkat suara ketika mendengar perkataan Ibu mertuanya yang sudah mengait-ngaitkan masalah dengan arwah leluhur.
"Maaf Ma, setahu Amira, jika seseorang yang sudah meninggal sudah tidak ada sangkut pautnya lagi dengan kehidupan keturunannya yang masih hidup. Hanya ada tiga perkara amalan yang tidak akan pernah putus meski pun kita sudah meninggal dunia, yaitu Sedekah jariyah, ilmu yang berguna, serta do'a Anak yang saleh."
"Kamu gak usah sok tahu Amira. Mama benar, hanya Kak Regina yang perhatian terhadap Mama. Tidak seperti kamu yang selalu membuat Mama pusing. Kamu pasti sengaja kan ingin membuat Mama sakit supaya secepatnya meninggal, jadi kamu bisa menguasai rumah ini," ujar Sinta sehingga membuat Dirga semakin geram.
Brak
Semua yang berada di sana terlonjak kaget ketika mendengar Dirga menggebrak meja.
"Cukup Sinta, jangan pernah menuduh Amira yang tidak-tidak," teriak Dirga.
"Kak Sinta sudah benar-benar keterlaluan," tambah Vania.
"Sinta, Kakak tidak mungkin memiliki pemikiran keji seperti itu," ucap Amira.
"Kamu tidak usah menyangkalnya. Selama ini kamu sudah sering mengadu dan banyak protes. Aku heran, kenapa ada manusia yang tidak bersyukur seperti kamu, sudah enak-enak numpang di rumah ini, malah minta pindah," sindir Sinta sehingga membuat Dirga semakin geram.
"Cukup Sinta. Jangan pernah menghina Amira lagi. Seharusnya kamu sadar diri siapa yang sebenarnya sudah menjadi benalu dan menumpang di rumah ini. Rumah ini rumah Kakak, dan semua milik Kakak adalah milik Amira juga," tegas Dirga.
"Kediaman Cakra dinata adalah warisan dari keluarga Papa, jadi aku juga berhak atas rumah ini," ucap Sinta yang mulai berani melawan Dirga.
Dirga tersenyum sinis mendengar perkataan Sinta, padahal selama ini Dirga yang sudah membanting tulang membiayai hidup keluarganya.
"Sebaiknya kamu tanya sendiri sama Mama, siapa orang yang sudah menyelamatkan rumah ini dari lelang serta perusahaan dari kebangkrutan. Kamu juga sudah harus mulai bekerja supaya kamu tau bagaimana susahnya menghasilkan uang, jadi kamu tidak seenaknya berpoya-poya."
*
*
Bersambung