Dalam hidup, cinta dan dendam sering kali berdampingan, membentuk benang merah yang rumit. Lagu Dendam dan Cinta adalah sebuah novel yang menggali kedalaman perasaan manusia melalui kisah Amara, seseorang yang menyamar menjadi pengasuh anak di sebuah keluarga yang telah membuatnya kehilangan ayahnya.
Sebagai misi balas dendamnya, ia pun berhasil menikah dengan pewaris keluarga Laurent. Namun ia sendiri terjebak dalam dilema antara cinta sejati dan dendam yang terpatri.
Melalui kisah ini, pembaca akan diajak merasakan bagaimana perjalanan emosional yang penuh liku dapat membentuk identitas seseorang, serta bagaimana cinta sejati dapat mengubah arah hidup meskipun di tengah kegelapan.
Novel ini mengajak pembaca untuk merenungkan arti sebenarnya dari cinta dan dampaknya terhadap kehidupan. Seiring dengan alunan suara biola Amara yang membuat pewaris keluarga Laurent jatuh hati, mari kita melangkah bersama ke dalam dunia yang pennuh dengan cinta, pengorbanan, dan kesempatan kedua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susri Yunita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 31. Igauan Amara
Langit malam begitu gelap saat Ben mengantar Dante di depan rumah keluarga Laurent. Dinginnya malam terasa menusuk, tapi itu bukan karena suhu udara, tapi hatinya yang dingin dan hancur membuatnya merasa beku. Pernikahan darurat dengan Mia beberapa jam lalu masih terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Dante menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya sebelum melangkah masuk. Tapi bagaimana caranya? Di dalam rumah ini, ada Amara, wanita yang ia cintai lebih dari apa pun, yang tak tahu apa yang baru saja terjadi.
Saat Dante masuk, rumah terasa sunyi. Alessia dan Nico telah kembali ke kamar Nico setelah memastikan Amara beristirahat. Dante tahu, Amara masih lemah setelah sakit beberapa hari terakhir. Langkahnya pelan, hampir tanpa suara, saat ia menuju kamar Amara.
Pintu kamar itu sedikit terbuka. Dari celahnya, Dante bisa melihat Amara terbaring dengan wajah yang begitu damai. Rambutnya tergerai di atas bantal, tubuhnya yang lemah terlihat kurus, namun ada ketenangan di wajahnya yang selalu ia rindukan. Dante berdiri di ambang pintu, menatap wanita itu dengan perasaan bercampur aduk. Rasa cinta, rasa bersalah, dan ketakutan, semuanya bercampur menjadi satu.
Ia melangkah masuk, menutup pintu perlahan. Dante duduk di tepi tempat tidur, memandangi Amara yang terlelap. Kenangan mengalir deras dalam benaknya, seperti ombak yang menghantam tanpa henti. Ia teringat momen-momen di tepi pantai, ketika Amara meminta izin untuk memeluknya. Suara Amara saat itu masih terngiang di telinga Dante.
“Dante, boleh kah aku memelukmu? Sebentar saja…” Dante tersenyum tipis, namun berat saat harus ingat kembali kehangatan kecil namun manis yang dikatakan istrinya sendiri saat itu.
Dante lalu menyentuh kepala wanitanya itu dengan lembut sambil berkata setengah berbisik, "Kau tahu? Itu baru pertama kali dalam hidup, aku merasakan hatiku seperti dipenuhi oleh taman berbunga saat kau mengatakan itu," katanya.
Dante mencoba menghalau semua ingatan yang hanya memperburuk luka di hatinya itu. Tapi semakin ia mencoba, semakin kenangan itu menghantuinya.
Ia akhirnya berbaring di samping Amara, menjaga jarak, tak ingin membangunkannya. Tapi matanya tetap menatap wajah wanita itu, mengingat setiap detail yang ia sukai. Wajah itu adalah satu-satunya tempat di mana ia merasa seperti dirinya sendiri. Amara adalah rumahnya, dan sekarang, ia merasa telah menghancurkan segalanya.
Dante tidak tidur. Ia tak bisa. Hatinya terlalu gelisah, pikirannya terlalu penuh. Ketika jarum jam terus bergerak maju, Amara mulai gelisah dalam tidurnya. Tubuhnya sedikit bergetar, keningnya berkerut, dan ia mulai mengigau.
Dante segera bangkit, menatap Amara dengan cemas. "Amara…" Ia menyentuh pundaknya lembut, mencoba menenangkannya. Tapi Amara semakin gelisah. Ia berkeringat dingin, tangannya meraba udara seolah mencari sesuatu.
"Jangan! Jangan sakiti dia! jangan sakiti dia! Aku akan pergi, aku janji akan pergi! biar aku saja" Amara mulai meracau. Dante menggenggam tangan Amara ke dadanya.
"Amara, kau sedang bermimpi," Dante terus menenangkan.
Akhirnya, Amara membuka matanya setengah, tapi pandangannya kosong, masih terjebak dalam mimpi buruknya. Ia tiba-tiba meraih Dante dan memeluknya erat. "Ibu…" isaknya, suaranya pecah. "Aku takut, Bu…" lirihnya. Amara menyangka Dante adalah ibunya.
Dante terdiam. Pelukan Amara begitu erat hingga ia bisa merasakan detak jantungnya yang cepat. Tanpa berpikir, Dante membalas pelukannya, membiarkan wanita itu menangis di dadanya. "Aku di sini, Amara," bisiknya. "Kau aman sekarang. Aku tidak akan membiarkan apa pun menyakitimu."
Namun, Amara mulai berbicara dalam tangisannya, kata-katanya keluar seperti pecahan hati yang tak bisa ia kendalikan. “Aku mencintainya, Bu … Aku mencintai, Dante… Tapi semua ini terlalu menyakitkan…”
Dante tertegun, matanya membulat saat mendengar itu. Air mata yang selama ini ia tahan akhirnya jatuh, membasahi pipinya. Ia menggenggam Amara lebih erat, seolah ingin melindunginya dari dunia yang kejam.
Amara melanjutkan, dengan suara yang semakin lirih. “Dia adalah hal paling indah dalam hidupku… Tapi juga yang paling menyakitkan…”
Dante merasa seolah seluruh dunianya runtuh. Kata-kata Amara menusuk hatinya lebih dalam daripada apa pun. Ia tak bisa berkata apa-apa, hanya bisa memeluk wanita itu sambil menangis dalam diam.
Dalam ketidaksadarannya, Amara melanjutkan, “Ibu … maafkan aku … Aku seharusnya mendengarkanmu dari dulu… Aku seharusnya tidak membalas dendam… hingga aku terlalu terluka… Aku terlalu mencintainya… aku harusnya tidak datang padanya, Bu”
Dante semakin remuk mendengar pengakuan itu. Air matanya terus mengalir. Ia mengusap rambut Amara, mencoba menenangkannya meskipun hatinya sendiri hancur berkeping-keping. "Jangan maafkan aku, Amara," gumamnya. "Jangan pernah maafkan aku yang tidak bisa melindungimu… aku telah menyakitimu…"
Amara akhirnya tertidur kembali dalam pelukan Dante. Namun, tubuhnya masih terasa gemetar, seolah mimpi buruk itu belum sepenuhnya hilang. Dante memeluknya erat sepanjang malam, membisikkan janji-janji yang hanya bisa ia dengar.
"Mereka tidak akan menyakitimu lagi," katanya pelan. "Aku akan memastikan itu, Amara. Aku tidak peduli apa yang harus aku lakukan…"
Namun, Dante tahu di dalam hatinya bahwa janji itu sulit untuk ditepati. Tuan Hart dan dunia yang ia tinggali terlalu kejam untuk membiarkan mereka hidup dengan damai. Tapi satu hal yang ia tahu pasti: ia tidak akan menyerah.
Malam itu, Dante menangis bersama Amara, membiarkan semua emosinya keluar. Ia tahu, ini adalah malam yang akan selalu ia ingat, malam di mana ia merasa benar-benar tak berdaya. Tapi juga malam di mana ia bertekad untuk memperbaiki segalanya, apa pun yang terjadi.
Namun, di balik semua itu, satu pertanyaan terus menghantuinya: Apakah aku pantas mendapatkan cintanya? Atau haruskah aku benar-benar melepaskannya demi kebahagiaannya?
Keesokan Harinya
Cahaya matahari pagi menembus celah-celah tirai kamar, perlahan-lahan menyelimuti wajah Amara yang masih terlelap. Dante, yang sepanjang malam tidak tidur, masih duduk di tepi tempat tidur dengan tatapan kosong. Wajahnya pucat, matanya memerah karena terlalu banyak menangis, tetapi ia tidak peduli.
Amara menggeliat pelan, tubuhnya yang lemah tampak sedikit lebih segar dibanding malam sebelumnya. Matanya perlahan terbuka, dan ia melihat Dante yang duduk tak jauh darinya.
“Dante? Kenapa kau ada di sini?” suara Amara terdengar serak, penuh kebingungan. Ia mengerjapkan mata, berusaha mengingat apa yang terjadi.
Dante tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan emosinya. "Bagaimana perasaanmu?" tanyanya lembut tanpa menjawab pertanyaan Amara.
Wanita itu terdiam sejenak, merasakan tubuhnya yang masih lemah. “Aku… sedikit lebih baik. Tapi. Kau … kenapa matamu begitu merah dan sembab? Kau tidak tidur semalam?”
“Tidak apa-apa,” jawab Dante singkat, menghindari pertanyaan itu. “Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja.”
Tatapan Amara mengerut. Ada sesuatu yang berbeda dari Dante pagi ini. Ia terlihat lebih rapuh, lebih lelah, seperti menyimpan sesuatu yang berat di hatinya. Namun, sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, pintu kamar terbuka perlahan... siapakah yang masuk?
bersambung...