NovelToon NovelToon
Pernikahan Penuh Luka

Pernikahan Penuh Luka

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Obsesi / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:3.7k
Nilai: 5
Nama Author: Rima Andriyani

Aku tidak pernah percaya bahwa pernikahan bisa jadi sekejam ini. Namaku Nayla. Hidupku berubah dalam semalam saat aku dipaksa menikah dengan Reyhan Alfarezi, seorang pria dingin, keras kepala, dan kejam. Baginya, aku hanya alat balas dendam terhadap keluarga yang menghancurkan masa lalunya. Tapi bagaimana jika perlahan, di antara luka dan kemarahan, ada sesuatu yang tumbuh di antara kami? Sesuatu yang seharusnya tak boleh ada. Apakah cinta bisa muncul dari reruntuhan kebencian? Atau aku hanya sedang menipu diriku sendiri?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rima Andriyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 15

POV Reyhan

Aku berjalan cepat menyusuri lorong itu, namun langkahku tidak bisa mengimbangi apa yang berkecamuk di dalam dadaku.

Apa yang barusan kulakukan?

Aku mencium Nayla. Aku memeluknya. Dan yang lebih membuatku gila, aku nyaris kehilangan kendali di hadapannya.

Sial.

Tanganku mengepal, rahangku mengeras.

Aku tidak pernah berniat untuk menjadi seperti ini. Tidak pernah berniat membiarkan diriku terseret terlalu jauh. Tapi saat melihatnya berbicara dengan Arlan, tersenyum, tertawa kecil, seperti… seperti semua itu milik mereka, ada sesuatu dalam diriku yang meledak.

Cemburu?

Mungkin.

Tapi itu tidak masuk akal. Aku tidak mencintainya, bukan? Ini hanya urusan dendam. Pernikahan ini pun hanya bagian dari rencana.

Lalu kenapa saat dia menatapku dengan mata terkejut dan tubuhnya menegang dalam pelukanku… aku merasa bersalah?

Kenapa pelukan itu terasa seperti perpisahan yang menyakitkan?

“Apa aku sudah terlalu jauh?” gumamku pelan, hampir tak terdengar.

Aku berhenti melangkah. Menatap pantulan diriku sendiri di kaca besar di ujung lorong. Wajah yang kutatap terasa asing. Mata yang biasanya dingin kini terlihat kacau.

Dan untuk pertama kalinya sejak kematian Papa, aku mulai meragukan segalanya.

Termasuk diriku sendiri.

Apa benar Nayla tahu soal insiden itu? Apa benar ayahnya tidak bersalah? Atau aku hanya buta karena kemarahan dan prasangka?

Aku memejamkan mata, mengusap wajah dengan kasar.

“Apa yang sudah kau lakukan, Reyhan…”

Kini bukan hanya Nayla yang tersiksa oleh pernikahan ini.

Aku pun mulai terperangkap dalam kebohongan yang kubuat sendiri.

Aku memutar arah, kembali menyusuri lorong, tapi bukan ke arah Nayla. Aku butuh udara. Butuh menjauh sebelum aku kehilangan kendali lagi.

Tapi langkahku terhenti.

Bayangan Nayla masih memenuhi pikiranku. Tatapan marahnya. Suara gemetar itu saat dia berkata bahwa aku telah menuduh ayahnya tanpa bukti.

Dan pelukan singkat tadi…

Sial, kenapa aku melakukannya?

Tanganku mencengkeram rambutku, frustasi.

Sejak awal aku pikir semuanya akan sederhana: aku menikahinya, membuatnya menderita, dan saat waktunya tepat, aku akan menceraikannya, meninggalkannya seperti keluarganya meninggalkan papaku.

Tapi ternyata aku terlalu sombong. Terlalu yakin bahwa hatiku kebal.

Ternyata tidak.

Aku mulai melihat Nayla bukan sebagai musuh. Tapi sebagai wanita yang perlahan membuat pikiranku kacau. Membuatku mempertanyakan alasan aku memulainya semua ini.

Dan aku benci itu.

Aku benci bahwa aku mulai peduli.

Aku benci bahwa aku bisa cemburu saat dia dekat dengan Arlan.

Aku benci bahwa saat bibir kami bertemu, yang kurasakan bukan kemenangan, melainkan penyesalan.

Karena aku tahu aku tak pantas mendapatkan kedekatan itu darinya.

Brak!

Aku menghantam dinding dengan kepalan tanganku. Beberapa orang di sekitar menoleh, tapi aku tak peduli. Sakit di tanganku masih kalah dengan sesak di dadaku.

Aku terlalu dalam sekarang.

Dan yang lebih buruk, aku tidak tahu bagaimana cara keluar tanpa menghancurkan kami berdua.

---

Langkahku baru akan berbalik menuju kamar saat aku melihat sosok Mama berjalan cepat menaiki tangga. Tumit sepatunya beradu dengan anak tangga, terburu-buru dan gelisah. Tidak seperti biasanya.

Aku mengernyit.

“Mama?” panggilku, tapi dia tidak menoleh.

Curiga, aku mengikuti diam-diam dari kejauhan. Langkahku diperlambat, menjaga jarak agar suaraku tak terdengar. Mama masuk ke kamar kerja Papa, yang sekarang sudah lama kosong sejak kepergian beliau.

Pintu tak tertutup sepenuhnya.

Aku mendekat. Niat awalku adalah untuk bertanya—tentang Papa. Tentang kematiannya yang selama ini hanya menjadi cerita pahit tanpa penjelasan.

Tapi sebelum sempat mengetuk pintu atau memanggil lagi, suara Mama terdengar jelas.

“Dia mulai curiga... apalagi setelah pertemuannya dengan Arlan. Jangan biarkan Nayla menggali lebih dalam,” ucap Mama. Suaranya dingin. Serius.

Aku menegang di balik pintu.

“Ya, aku tahu, ini bukan rencana awal. Tapi kalau Nayla tahu bahwa sebenarnya suamiku tidak meninggal karena serangan jantung, semua akan berantakan.”

Jantungku berhenti berdetak sejenak. Aku hampir tidak percaya dengan apa yang kudengar. Nafasku tercekat, dan aku mundur satu langkah tanpa sadar.

“Kau harus bereskan ini sebelum Nayla bicara ke Reyhan. Kalau perlu... buat dia tidak bisa bicara sama sekali.”

Tanganku mencengkeram kusen pintu. Tubuhku bergetar. Apa maksud Mama? Papa… tidak meninggal karena serangan jantung?

Apa yang Nayla bilang selama ini... benar?

Pikiranku kacau. Hatiku remuk.

Selama ini aku percaya bahwa keluarga Nayla yang menyebabkan Papa pergi. Bahwa dendamku punya dasar. Bahwa aku punya hak untuk membenci Nayla.

Tapi sekarang...

Kalau semua ini salah?

Kalau Nayla sebenarnya korban?

Tanganku mengepal, dan aku mulai meragukan ibuku sendiri.

Aku mundur beberapa langkah dari pintu, napasku tercekat. Dunia yang kukira telah kupahami mulai runtuh pelan-pelan. Ucapan Mama itu seperti palu godam yang menghancurkan fondasi semua kebencian yang kutanam selama ini.

Tanganku masih gemetar.

Mama... orang yang selama ini kukira paling jujur padaku... menyembunyikan sesuatu sebesar ini?

Seketika aku teringat semua perlakuanku pada Nayla. Semua ucapan kasarku, tatapan benciku, pernikahan ini... semua yang kulakukan karena keyakinan bahwa keluarganya telah menghancurkan hidupku, hidup kami.

Tapi bagaimana kalau semua itu bohong?

Bagaimana jika Nayla selama ini mencoba bertahan dalam badai yang bahkan tak pernah ia sebabkan?

Aku menahan napas. Suara Mama masih terdengar samar dari balik pintu, membicarakan sesuatu tentang seseorang yang harus memastikan Nayla “diam”. Aku tak sanggup mendengarkan lebih jauh.

Aku berbalik dan berjalan cepat menuruni tangga. Dadaku sesak. Napasku berat. Aku harus keluar dari rumah ini, sekarang juga, sebelum aku melakukan sesuatu yang tak bisa kutarik kembali.

Aku menuju halaman belakang, tempat yang paling jauh dari semuanya. Duduk di bangku batu di dekat kolam, aku memejamkan mata, mencoba menenangkan kepala yang dipenuhi suara-suara bertabrakan.

"Apa yang sudah kulakukan pada Nayla..."

Suara itu keluar begitu saja dari bibirku. Lirih. Penuh penyesalan.

Kalau memang benar Papa tidak meninggal karena ulah keluarga Nayla, lalu kenapa Mama berbohong? Kenapa aku dibesarkan dengan kebencian yang ternyata tidak berdasar?

Apakah semua ini hanya permainan?

Dan Nayla... perempuan itu...

Perempuan yang sekarang terjebak dalam pernikahan dengan pria yang tidak hanya menyakitinya, tapi juga terus menghakiminya tanpa ampun. Perempuan yang bahkan masih berani menatapku dengan luka, tapi juga keberanian.

Aku memejamkan mata. Bayangan wajah Nayla terlukis jelas. Sorot matanya yang tak pernah benar-benar mati meski selalu kubungkam dengan kata-kata tajam. Cara dia tetap berdiri meski kutarik jatuh.

Dia tidak layak mendapatkan ini.

Dia tidak pantas menjadi korban dari kebohongan masa lalu yang tidak dia mengerti.

Dan aku... aku pantas dibenci.

Aku berdiri pelan, menghadap langit yang mulai menggelap. Angin sore menyapu wajahku, tapi dinginnya tak sebanding dengan beban di dada.

Jika apa yang kudengar barusan benar, maka segalanya berubah.

Termasuk aku.

Dan aku tidak tahu apakah aku masih bisa menebus semuanya? Aku harus mencari tahu semuanya.

Langkahku pelan kembali ke dalam rumah, meskipun hati ini rasanya ingin pergi sejauh mungkin dari tempat ini. Tapi aku tidak bisa. Belum. Nayla masih di sini. Dan aku harus memastikan dia aman… dari orang yang selama ini kupanggil “Mama”.

Tanganku merogoh saku, menarik ponsel, lalu menekan nomor yang sudah lama tidak kupakai. Nomor milik seseorang yang pernah membantuku mencari informasi soal keluarga Nayla dulu. Seseorang yang bekerja tanpa banyak tanya.

Panggilan terhubung setelah dering ketiga.

“Ya?”

“Ini aku. Reyhan.”

“Lama tak terdengar kabarmu, Tuan Reyhan,” suara di seberang terdengar santai. “Ada yang bisa saya bantu?”

“Aku butuh kau mengawasi seseorang,” ucapku tegas, tanpa basa-basi.

“Siapa?”

“Mamaku.”

Sejenak, ada jeda di seberang. Lalu suara itu kembali terdengar, kali ini tak seformal sebelumnya.

“Kau serius?”

“Aku tidak main-main. Awasi semua gerak-geriknya. Rekam setiap pertemuan, setiap panggilan, dan kalau bisa, cari tahu siapa yang sering dia temui diam-diam. Dan juga—” aku menggertakkan rahangku, “kalau dia berusaha menyentuh atau mengancam Nayla, aku ingin tahu sebelum itu terjadi.”

“Baik. Akan saya atur orang-orang saya.”

“Aku ingin laporan setiap hari. Dan semua harus rahasia. Termasuk dari keluargaku sendiri.”

“Siap.”

Aku mengakhiri panggilan. Nafasku sedikit lebih tenang, meskipun kekacauan di dalam kepala belum mereda. Aku menatap langit yang semakin gelap. Mendung menggantung di ujung sana, seolah ikut menyesakkan langit dan dadaku sekaligus.

Mulai sekarang, aku akan tetap berpura-pura di depan semua orang, terutama di depan Mama. Di depan Nayla juga.

Aku tidak bisa membiarkan mereka tahu aku mulai menyadari semuanya. Belum saatnya. Jika Mama benar-benar menyimpan rahasia sebesar itu, aku harus bermain lebih cermat.

Termasuk berpura-pura masih membenci Nayla.

Ya, biarkan dia tetap mengira bahwa aku masih dingin, masih menjadikannya target dendamku. Itu lebih aman untuknya. Kalau Mama tahu aku mulai memihak Nayla, dia bisa mempercepat rencananya. Dan aku tidak akan membiarkan itu terjadi.

Mulai saat ini, aku akan melindunginya diam-diam.

Bahkan jika itu berarti aku harus terus menyakitinya di permukaan.

Bahkan jika dia semakin membenciku.

Asalkan dia tetap selamat.

Asalkan dia tidak tahu… bahwa satu-satunya orang yang paling ingin kulindungi sekarang… adalah dia.

Nayla.

Aku kembali masuk ke rumah dengan langkah berat. Rasanya seperti orang asing yang baru saja menyusup ke dalam kehidupannya sendiri, semuanya terasa berbeda sejak aku mendengar percakapan Mama tadi. Setiap sudut rumah ini kini terasa dingin, penuh dengan bisikan kebohongan yang tak pernah kusadari sebelumnya.

Namun aku tidak bisa kehilangan kendali. Tidak sekarang.

Aku harus tetap menjadi Reyhan yang selama ini mereka kenal. Termasuk bagi Nayla.

Untuk saat ini, hanya aku yang tahu bahwa semua kebencianku mungkin salah sasaran. Dan sampai aku tahu seluruh kebenaran, aku harus tetap bermain sesuai peranku. Termasuk berpura-pura membenci perempuan yang mulai membuat jantungku berdetak tidak karuan.

Aku menarik napas panjang, membuang semua emosi ke dalam udara. Kemudian berjalan ke ruang makan.

Tapi langkahku terhenti sesaat saat melihatnya.

Nayla sudah duduk di kursinya. Tapi ada sesuatu yang tidak biasa. Dia tampak pucat. Wajahnya sedikit berkeringat meski ruangan ini ber-AC. Tangannya bergetar saat mencoba menuang air ke gelasnya, namun nyaris tumpah.

Aku mendekat perlahan, mataku tak lepas dari gerak-geriknya.

Ada sesuatu yang salah.

“Kenapa kamu di sini lagi?” tanyanya pelan saat menyadari kehadiranku. Suaranya berusaha terdengar tajam, tapi terdengar lebih lemah dari biasanya.

Aku tak menjawab langsung. Hanya menarik kursi dan duduk di seberangnya.

Matanya menatapku sekilas, lalu mengalihkan pandangan. Dia menggigit bibir bawahnya, menahan sesuatu. Tegang? Atau… takut?

Apa dia takut padaku?

Sial.

Tadi aku memang keterlaluan.

Tapi… bukan itu. Tatapannya bukan ketakutan yang muncul karena marah atau trauma. Ini seperti ketakutan karena… kesakitan.

Aku melirik tangannya yang kini mencengkeram sisi meja dengan kuat, seolah sedang menahan sesuatu. Nafasnya juga terlihat berat.

Aku ingin bertanya. Tapi aku harus tetap pada peran yang kupilih.

“Aku belum selesai bicara tadi,” ujarku dingin. “Jadi, aku kembali.”

Dia tidak menjawab. Hanya menunduk, matanya terpejam beberapa detik.

“Kalau kamu mau marah, marahlah. Tapi jangan pura-pura kuat, Nayla,” kataku lagi, dengan nada yang lebih rendah.

Dia menggertakkan gigi. “Aku tidak pura-pura kuat.”

Tapi bahkan ucapannya itu pun terdengar lemah.

Aku memperhatikan wajahnya lagi. Keringat semakin terlihat. Bibirnya sedikit membiru.

Aku bangkit tiba-tiba, membuatnya terkejut.

“Sudah berapa lama kamu sakit?” tanyaku tajam.

“A-apa maksudmu?” Dia mencoba berdiri juga, tapi tangannya terhuyung dan ia harus berpegangan pada kursi.

Refleks, aku menangkap lengannya. Hangat. Terlalu hangat.

Demam?

“Jangan sentuh aku,” desisnya lirih, berusaha melepaskan diri.

Tapi kali ini aku tidak peduli.

“Nayla, kamu kenapa?”

Dia menarik napas pendek, lalu buru-buru menjauh dariku. Tapi tubuhnya oleng, dan dalam hitungan detik, dia jatuh berlutut ke lantai sambil menahan perutnya.

“Nayla!”

Aku berjongkok cepat, memeluk bahunya, panik. Dia menggigit bibir, jelas sedang menahan rasa sakit.

“Apa kamu habis makan sesuatu? Alergi? Maag?” tanyaku, mencoba tetap tenang.

Dia menggeleng lemah, matanya mulai berkaca-kaca.

“Jangan… Reyhan. Aku bisa sendiri. Aku sudah biasa,” gumamnya pelan, seolah bicara pada dirinya sendiri.

Sudah biasa?

Apa maksudnya?

“Aku akan panggil dokter. Kamu nggak kelihatan baik-baik saja.”

“Jangan…” bisiknya.

“Kenapa?”

“Ini hanya keram perut biasa. Kamu urus saja Tuan putrimu itu. Aku tidak butuh bantuanmu.”

“Nayla, ini bukan waktunya untuk main rahasia. Kalau kamu sakit, kamu harus bicara.”

Dia hanya menunduk. Tidak menjawab. Napasnya semakin berat. Aku memeluk tubuhnya, mengangkatnya ke pelukanku.

“Aku bawa kamu ke kamar.”

Dia tidak membalas. Hanya diam dalam pelukanku, tubuhnya terasa ringan namun hangat karena demam.

Dan saat itu, aku sadar satu hal.

Meski dia menolakku sekarang, mulai hari ini, aku tidak akan biarkan dia bertarung sendirian lagi.

Biar aku tetap jadi musuh di matanya.

Asal aku bisa lindungi dia… dari jauh, dari dekat, dari siapa pun, termasuk dari Mama.

Bahkan jika aku harus berpura-pura jadi orang yang dia benci.

Aku akan tetap menjaga dia.

1
Hendri Yani
Luar biasa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!