“Glady, tolong gantikan peran kakakmu ! “ ujar seorang pria paruh baya tegas kepada putri semata wayangnya.
Glady Syakura, berusia 17 tahun harus menggantikan peran kakak angkatnya yang pergi begitu saja setelah menikah dan melahirkan kedua anaknya.
“Peran kakak ? “ tanya Glady bingung yang saat itu hanya tahu jika dirinya hanya membantu kakaknya untuk mengurus Gabriella yang berusia 6 bulan dan Gabriel yang berusia 4 tahun.
***
“APA ?! KAMU INGIN BERCERAI DENGANKU DAN MENINGGALKAN KEDUA ANAK KITA ?! “ teriak seorang pria tampan menggelegar di seluruh ruangan. Saat istrinya menggugat dirinya dengan alasan yang tak masuk akal.
“KAMU AKAN MENYESAL DENGAN PERBUATANMU, PATRICIA ! “
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dlbtstae_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jadi kamu anggap aku apa ?
Keesokan harinya, Gelora bangun dengan perasaan yang masih sama, dipenuhi kemarahan dan kebingungan. Dia tahu bahwa dia harus menghadapi Nathan dan mencari jawaban. Tetapi disisi lain, dia juga harus menerima kenyataan bahwa Glady akan berada di kampus yang sama dengannya. Hal ini semakin membebani pikirannya.
Saat sarapan, suasana di meja makan keluarga Dirgantara kembali tegang. Gelora duduk di kursinya, tampak enggan untuk berbicara. Glady juga terlihat canggung, seolah merasa bersalah karena situasi ini. Ganesha dan Geon berusaha memulai percakapan, namun respon yang mereka dapatkan dari Gelora sangat minim.
"Lora, kita akan membicarakan semua ini dengan baik-baik nanti. Tapi ingat, kami hanya ingin yang terbaik untuk kalian berdua," kata Geon dengan nada lembut.
Gelora hanya mengangguk singkat tanpa melihat ke arah orang tuanya. Setelah sarapan, dia segera bergegas keluar rumah, meninggalkan suasana tegang yang tak kunjung mereda.
Hari itu, Gelora memutuskan untuk kembali mendaftar ke kampus bersama Glady. meskipun perasaannya masih kacau. Di sana, dia mencoba menjalani rutinitasnya seperti biasa, namun bayang-bayang tentang Glady dan Nathan terus menghantuinya. Setiap sudut kampus terasa berbeda, seolah-olah tempat itu tak memberikan rasa nyaman seperti yang dia impikan.
Di akhir mendaftar kuliah, Gelora kembali mencoba menghubungi Nathan, dan kali ini, dia menerima panggilan dari Nathan. Glady memilih duduk di kursi tunggu untuk menunggu Gelora menghubungi seseorang.
"Nathan, kita perlu bicara," katanya dengan nada serius.
"Aku tahu, Lora. Maafkan aku. Ada banyak hal yang harus kujelaskan," jawab Nathan dengan nada penuh penyesalan.
Mendengar suara Nathan, perasaan Gelora bercampur aduk. Di satu sisi, dia ingin mendengar penjelasan Nathan, namun disisi lain, dia tidak yakin apakah dia siap untuk mendengarkan apa yang mungkin akan dikatakan Nathan.
"Aku akan datang ke restoran tempat pertama kali kita jadian nanti malam," tambah Nathan sebelum memutus sambungan telepon.
Gelora menatap ponselnya dengan perasaan tidak menentu. Dia tahu bahwa malam ini akan menjadi malam yang panjang, penuh dengan percakapan yang mungkin tidak ingin dia dengar.
Saat malam tiba, Gelora menunggu di ruang VVIP, perasaannya penuh dengan kegelisahan. Suara pintu yang dibuka dari luar membuatnya semakin tegang. Dia tahu siapa yang berada di balik pintu itu, dan dia tahu bahwa percakapan ini akan menjadi titik balik bagi hubungan mereka.
Namun, saat dia membuka pintu dan melihat Nathan berdiri di sana, perasaan Gelora sedikit melunak. Nathan tampak tampan dan penuh karisma, dan itu membuat Gelora merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, mereka masih bisa memperbaiki semuanya.
"Lora, aku minta maaf," kata Nathan pelan saat dirinya sudah berdiri tepat di hadapan Gelora.
"Aku tahu aku sudah membuatmu kecewa, tapi biarkan aku menjelaskan semuanya."
Malam itu, mereka duduk di ruang tamu dan berbicara panjang lebar. Nathan menjelaskan tentang wanita yang dia temui di bandara, dan alasan mengapa dia tidak mengatakannya sebelumnya. Meskipun masih ada perasaan kecewa, Gelora mencoba mendengarkan dengan hati yang terbuka.
Pada akhirnya, Gelora tahu bahwa dia harus membuat keputusan, bukan hanya tentang Nathan, tapi juga tentang bagaimana dia akan menghadapi situasi dengan Glady di kampus. Hidupnya tidak akan mudah, tapi dia tahu bahwa dia harus kuat dan menghadapi semuanya dengan kepala tegak.
“Jadi kamu anggap aku apa, tan ? “
*
*
*
*
Setelah pertemuan yang berat di restoran, Gelora berjalan pulang dengan langkah-langkah yang terasa sangat berat. Malam itu langit cerah, tapi dalam hatinya, badai sedang bergemuruh. Kata-kata perpisahan yang baru saja diucapkan Nathan masih terngiang di telinganya, menggema di setiap sudut pikirannya, membuatnya semakin tenggelam dalam lautan kesedihan.
Sepanjang perjalanan, Gelora berusaha keras untuk menahan air matanya. Dia tidak ingin terlihat lemah di depan orang-orang yang mungkin melihatnya di jalan. Namun, begitu dia sampai di rumah, semua pertahanannya runtuh. Dia langsung menuju kamarnya, mengunci pintu, dan duduk di sudut ruangan sambil memeluk lututnya. Isakan tangis yang selama ini dia tahan, akhirnya pecah, membanjiri malam yang sunyi itu.
“Akhhhhhh !! “
Kamar Gelora yang biasanya menjadi tempat perlindungan kini terasa menyesakkan. Foto-foto dan kenangan indah bersama Nathan yang dulu menghiasi dindingnya, kini terasa seperti paku-paku yang menusuk hati. Dia menatap foto mereka yang tersenyum bahagia di sudut meja, dan rasanya sulit untuk menerima bahwa semua itu kini hanya tinggal kenangan.
“Kenapa harus seperti ini?” Gelora bergumam di antara tangisnya. Dia merasa hancur, seolah-olah seluruh dunianya runtuh dalam sekejap. Nathan adalah seseorang yang dia percayai sepenuh hati, seseorang yang dia pikir akan selalu ada disisinya. Namun, kenyataan berbicara lain. Kenyataan bahwa hubungan mereka tidak dapat diselamatkan, bahwa cinta yang pernah mereka miliki telah pudar, membuat luka di hatinya semakin dalam.
Malam itu, Gelora menangis tanpa henti. Setiap isakan yang keluar dari bibirnya terasa seperti luka yang semakin menganga. Gelora mencoba mencari jawaban di balik perpisahan mereka. Apakah dia yang salah? Apakah ada yang bisa dia lakukan untuk mencegah semua ini? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalanya, tanpa ada jawaban yang memuaskan.
“Kenapa dia seperti ini padaku ! Kenapa ? “
Dia mencoba mengingat percakapan terakhir mereka, mencoba mencerna setiap kata yang diucapkan Nathan. Dia mengatakan bahwa ini adalah keputusan terbaik untuk mereka berdua, bahwa mereka sudah terlalu banyak berdebat dan saling menyakiti. Tapi bagi Gelora, kata-kata itu tidak cukup untuk menghapus rasa sakit yang dia rasakan. Cinta yang pernah begitu indah, kini berubah menjadi luka yang sulit untuk disembuhkan.
Semakin malam, semakin lelah Gelora. Tubuhnya mungkin merasa lelah, tapi pikirannya tidak mau berhenti bekerja. Setiap kali dia mencoba untuk tidur, bayangan Nathan dan kenangan mereka bersama muncul di benaknya, menghalangi setiap usaha untuk melupakan. Dia terus memutar ulang kenangan-kenangan itu, seolah-olah mencoba menemukan momen di mana segalanya mulai salah.
Jam di dinding terus berdetak, dan malam terus beranjak. Gelora tahu bahwa dia tidak bisa terus seperti ini, tapi dia juga tidak tahu bagaimana harus bergerak maju. Setiap kali dia memejamkan mata, air mata kembali mengalir, membuatnya terjaga dalam kepedihan yang tak berujung.
Ketika fajar mulai menyingsing, Gelora masih terjaga di sudut kamarnya. Matanya bengkak dan lelah, tapi hatinya masih diliputi kesedihan yang mendalam. Dia menatap jendela kamarnya yang mulai diterangi cahaya matahari pagi, tapi cahaya itu tidak mampu mengusir kegelapan di hatinya.
“Apakah aku akan bisa melewati ini?” pikirnya, penuh keraguan. Gelora tahu bahwa hidup harus terus berjalan, bahwa dia tidak bisa selamanya terjebak dalam kesedihan ini. Tapi saat ini, dia merasa tidak ada jalan keluar. Hatinya hancur, dan dia tidak tahu bagaimana cara untuk menyatukannya kembali.
Hari itu, Gelora memutuskan untuk tidak keluar kamar. Dia terlalu lelah, baik secara fisik maupun emosional. Dia menolak makan, bahkan ketika ibunya mengetuk pintu dan memanggil namanya dengan cemas. Gelora hanya ingin dibiarkan sendiri, dalam kesunyian yang menyelimuti kamarnya.
Tangisnya mungkin telah mereda, tapi rasa sakit di hatinya masih membara. Gelora tahu bahwa ini bukanlah akhir dari segalanya, tapi dia juga tahu bahwa butuh waktu lama untuk bisa bangkit dari keterpurukan ini.
Dan untuk saat ini, dia hanya bisa berharap bahwa suatu hari nanti, dia akan menemukan kekuatan untuk melupakan Nathan dan melanjutkan hidupnya. Tapi untuk malam ini, Gelora hanya bisa menangis, berharap air matanya dapat membawa sedikit kelegaan di tengah rasa sakit yang melanda hatinya.
“Melupakan hubungan yang sudah bertahun-tahun, tidak mudah bagiku.. “ katanya lirih. “ tapi aku akan mencobanya, “