Aku terbiasa diberikan semua yang bekas oleh kakak. Tetapi bagaimana jika suaminya yang diberikan kepadaku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aluina_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Sinar matahari pagi yang menyelinap melalui celah gorden di apartemenku terasa berbeda. Dulu, di rumah orang tuaku, pagi hari adalah momen penuh kecemasan. Aku akan bangun dengan perut melilit, memikirkan drama apa lagi yang akan tersaji di meja makan. Tapi di sini, di istana mungilku, pagi hari adalah milikku.
Aku bisa bangun kapan pun aku mau. Aku bisa membuat kopi dengan aroma yang kusuka, bukan yang disukai orang lain. Aku bisa menyetel musik jazz pelan sambil menyiram satu-satunya tanaman sukulen di ambang jendelaku. Kebebasan dalam hal-hal kecil ini terasa seperti kemewahan yang tak ternilai. Ini adalah terapi jiwaku.
Kehidupan baruku berputar pada ritme yang sehat. Aku kembali menemukan diriku yang hilang. Aku mulai melukis lagi, sebuah hobi yang telah lama kutinggalkan. Kanvas-kanvas kecil mulai memenuhi sudut apartemenku, diwarnai oleh emosi yang akhirnya menemukan jalan keluar. Aku juga kembali menghubungi teman-temanku, termasuk Rere, yang menyambutku dengan omelan penuh rindu.
"Ya Tuhan, Arini! Lo ke mana aja sih? Gue kira lo diculik alien!" serunya di telepon suatu sore. "Gue kangen banget!"
Kami bertemu akhir pekan itu. Aku tidak menceritakan semua detail busuk dari pernikahanku, hanya mengatakan bahwa ada masalah keluarga yang rumit dan aku butuh ruang untuk diriku sendiri. Rere, sebagai sahabat sejati, tidak banyak bertanya. Dia hanya memelukku erat dan berkata, "Apa pun itu, gue senang lo kembali. Muka lo lebih cerah sekarang, tahu nggak?"
Perkataannya adalah konfirmasi. Aku sedang menyembuh.
Hubunganku dengan Mas Danu juga memasuki sebuah babak yang benar-benar baru. Dia menepati janjinya. Dia memberiku ruang, tapi tidak pernah benar-benar menghilang. Komunikasi kami berlanjut melalui pesan singkat yang sopan dan tidak menuntut.
Sudah makan siang? Jangan sampai telat.
Di luar hujan deras, jangan lupa bawa payung.
Aku lihat ada pameran seni di galeri dekat kantormu, sepertinya kamu akan suka.
Pesan-pesan kecil itu seperti benang tipis namun kuat yang menjaga kami tetap terhubung. Dia tidak pernah menelepon kecuali darurat. Dia tidak pernah muncul di apartemenku tanpa izin. Dia menunjukkan rasa hormat yang luar biasa terhadap batasan yang kubuat, dan itu justru membuatku semakin menghargainya.
Sekitar sebulan setelah aku pindah, dia mengirim pesan yang berbeda.
Boleh aku traktir kamu makan malam akhir pekan ini? Bukan sebagai suamimu. Bukan sebagai kakak iparmu. Hanya sebagai Danu yang ingin mengenal Arini lebih baik. Tidak ada paksaan. Kalau kamu belum siap, aku akan mengerti.
Aku membaca pesan itu berulang kali. Jantungku berdebar, tapi bukan karena cemas. Melainkan karena antisipasi yang menyenangkan. Aku sudah cukup lama bersembunyi di dalam cangkangku. Mungkin sudah saatnya untuk mencoba keluar.
Boleh. Tapi jangan di restoran mahal. Aku lagi ingin makan sate padang di pinggir jalan, balasku.
Aku sengaja memilih tempat yang sederhana. Aku ingin melihat reaksinya. Aku ingin tahu apakah dia adalah Danu Wijoyo si pengusaha sukses yang hanya bisa makan di tempat mewah, atau Danu yang bisa menikmati hal-hal sederhana.
Responsnya datang beberapa detik kemudian, sebuah emoji tersenyum dan kalimat: Sate padang terenak di kota. Aku tahu tempatnya. Sabtu jam 7 malam.
Malam itu terasa seperti kencan pertama yang canggung dan mendebarkan. Kami duduk di bangku plastik di sebuah kedai sate yang ramai. Aroma bakaran arang dan bumbu rempah memenuhi udara. Di tengah hiruk pikuk itu, kami menemukan dunia kami sendiri.
"Dulu, aku pikir aku tahu siapa Mas Danu," aku memulai, memberanikan diri. "Ternyata, aku cuma tahu 'suaminya Kak Binar'."
Dia tersenyum kecil, senyum yang tulus. "Aku juga. Aku pikir aku kenal Arini, 'adik iparku yang pendiam'. Ternyata aku belum kenal Arini yang sebenarnya. Arini yang ternyata suka makanan pinggir jalan, yang matanya berbinar saat bicara soal seni, dan yang bisa membuatku tertawa."
Malam itu, kami tidak membahas masa lalu yang kelam. Kami berbicara tentang hal-hal ringan. Tentang film favorit, tentang mimpi masa kecil, tentang tempat-tempat yang ingin kami kunjungi. Aku menemukan sisi lain dari dirinya yang tidak pernah kutahu. Dia punya selera humor yang kering, dia suka musik klasik, dan dia ternyata takut ketinggian. Dia bukan lagi hanya sebuah nama dalam drama keluargaku. Dia menjadi manusia seutuhnya di mataku.
Sejak malam itu, "kencan" sederhana kami menjadi rutinitas. Kadang kami hanya berjalan-jalan di taman kota sambil menikmati es krim. Kadang kami menghabiskan waktu berjam-jam di toko buku, saling merekomendasikan bacaan. Setiap pertemuan adalah sebuah langkah kecil untuk membangun kembali kepercayaan, untuk mengenal satu sama lain dari nol.
Dia tidak pernah mencoba menyentuhku, bahkan sekadar menggenggam tangan. Dia selalu menjaga jarak yang sopan, seolah ingin menunjukkan bahwa dia menghargai prosesku. Kesabarannya adalah hadiah terindah yang bisa ia berikan.
Di sisi lain, kabar dari rumah kudapatkan melalui telepon rutin dengan Ibu. Proses perceraian Mas Danu dan Kak Binar berjalan lancar dan diam-diam.
"Kakakmu... dia sudah jauh lebih tenang sekarang, Nak," kata Ibu suatu hari, suaranya terdengar lebih ringan. "Dia sudah mau keluar kamar. Bahkan kemarin dia mulai menggambar sketsa baju lagi."
"Syukurlah, Bu," jawabku tulus. Tidak ada lagi kebencian di hatiku untuknya, yang ada hanyalah rasa kasihan dan harapan agar dia bisa menemukan kedamaiannya sendiri.
"Dia juga mulai terapi," lanjut Ibu. "Dokternya bilang, obsesinya pada anak itu bukan hanya karena penyakitnya, tapi juga karena rasa tidak aman yang sangat dalam. Dia merasa harus terus membuktikan nilainya... pada Danu, pada kita semua. Sekarang, dia sedang belajar untuk menemukan nilai dalam dirinya sendiri."
Mendengar itu, aku merasa lega. Mungkin suatu hari nanti, bertahun-tahun dari sekarang, kami bisa kembali menjadi kakak-beradik. Mungkin tidak akan pernah sama seperti dulu, tapi setidaknya, kami bisa saling memaafkan.
Titik balik dalam hubunganku dengan Mas Danu terjadi tiga bulan setelah aku pindah. Sore itu, dia menjemputku sepulang kerja. Alih-alih membawaku makan, dia justru mengajakku ke sebuah bukit kecil di pinggir kota.
Kami duduk di atas rerumputan, memandangi matahari yang perlahan tenggelam, melukis langit dengan warna jingga dan ungu. Warna senja. Ironisnya, warna yang dulu menjadi sumber penderitaanku, kini terasa begitu damai.
"Arini," panggilnya setelah lama kami terdiam. "Surat cerai itu sudah selesai. Secara hukum, aku dan Binar sudah resmi berpisah."
Aku menoleh padanya. "Lalu... bagaimana sekarang?"
Dia menatapku, matanya yang teduh kini dipenuhi oleh keseriusan. "Sekarang, aku ingin menepati janjiku. Untuk memulai dari awal. Aku tahu aku sudah banyak menyakitimu. Aku membiarkanmu melalui neraka sendirian terlalu lama. Dan maaf saja tidak akan pernah cukup untuk menebusnya."
Dia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam. "Tapi perasaanku padamu... itu nyata, Arini. Semakin aku mengenalmu, semakin aku yakin. Kamu bukan pilihan kedua. Kamu bukan pengganti. Kamu adalah satu-satunya yang kuinginkan."
Hatiku berdesir mendengar pengakuannya yang tulus.
"Aku tidak akan memaksamu. Aku akan terus menunggu," lanjutnya. "Tapi aku ingin kamu tahu, aku siap memberikanmu sisa hidupku untuk membuktikan bahwa aku pantas mendapatkan kesempatan darimu."
Aku menatap matanya, mencari keraguan, mencari kebohongan. Tapi yang kutemukan hanyalah kejujuran yang menenangkan. Aku menatap tangannya yang tergeletak di atas rumput, di antara kami berdua. Tangan yang sama yang dulu kujabat dengan dingin di hari akad nikah kami.
Selama tiga bulan ini, aku telah membangun kembali diriku. Aku telah menemukan kekuatanku, kebahagiaanku. Aku tidak lagi merasa seperti barang bekas. Aku utuh. Dan kini, aku sadar, aku siap untuk berbagi keutuhan itu dengan orang lain. Dengan pria ini. Pria yang telah belajar dari kesalahannya, yang telah dengan sabar menungguku sembuh.
Perlahan, aku mengulurkan tanganku. Jari-jemariku dengan ragu menyentuh punggung tangannya. Dia sedikit tersentak, terkejut oleh inisiatifku. Aku kemudian memberanikan diri, menggeser tanganku hingga jemari kami bertautan. Pas.
Dia menatap tanganku yang menggenggam tangannya, lalu kembali menatapku, matanya berkaca-kaca. Dia tidak berkata apa-apa. Dia hanya mengeratkan genggamannya, seolah tidak akan pernah melepaskannya lagi.
Di sana, di atas bukit yang diterangi sisa cahaya senja, kami tidak berciuman. Kami tidak mengucapkan janji-janji besar. Kami hanya duduk berdampingan, berpegangan tangan, menatap masa depan yang terbentang di hadapan kami.
Di genggaman tangannya yang hangat dan kuat, aku tidak lagi merasa seperti istri setengah pakai. Aku merasa dicintai sepenuhnya, seutuhnya. Dan untuk pertama kalinya, aku melihat sebuah akhir yang bahagia bukan sebagai akhir dari sebuah cerita, melainkan sebagai sebuah awal yang indah. Awal dari kisah kami.
kan jadi bingung baca nya..